Selasa sore, 22 Oktober 2019, saya ngerumpi sambil ngopi di Bentara Budaya Jakarta. Di sana ada budayawan, peneliti politik, dan wartawan. Topik bahasan tak lepas dari drama dua hari di Istana. Sepanjang Senin dan Selasa, Presiden Joko Widodo memenuhi janjinya memperkenalkan calon menteri yang akan membantunya. Sejumlah tokoh diundang ke Istana. Namun, tak semuanya jadi menteri. Bupati Minahasa Selatan Tetty Paruntu salah satunya.
Namun, yang paling menarik perhatian adalah kedatangan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bersama Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo. Seusai bertemu Presiden Jokowi, Prabowo mengatakan, dirinya diminta Presiden untuk membantu di sektor pertahanan atau jadi Menteri Pertahanan. Prabowo kemudian memang dilantik sebagai Menteri Pertahanan. Masuknya Prabowo menambah barisan jenderal di Kabinet Jokowi. Ada Luhut Pandjaitan, Fachrul Razi, Moeldoko, Tito Karnavian, Terawan Agus Putranto yang kemudian pangkatnya dinaikkan menjadi letnan jenderal.
Prabowo adalah rival Jokowi di Pemilu Presiden 2019. Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin meraih 85.607.362 (55,50 persen). Jokowi-Amin menang di 21 provinsi. Adapun Prabowo-Sandiaga Uno meraup 68.650.239 (45,50 persen) dan menguasai 13 provinsi. Kompetisinya keras. Polarisasi terjadi. Republik seperti terbelah dengan isu yang menyentuh sentimen primordial. Sejumlah pendukung capres ditahan atau jadi tersangka.
Keputusan merekrut Prabowo sebagai Menteri Pertahanan paling tidak menunjukkan sentralnya kekuasaan Jokowi. Presiden tampaknya mau menunjukkan betapa otonomnya dia membentuk kabinet. Dengan hak prerogatif yang dimilikinya, Jokowi mengambil langkah politik berani dengan merekrut rivalnya dan menyerahkan posisi strategis sebagai Menteri Pertahanan. Prabowo pun menyambut baik tawaran Jokowi. Demi persatuan, demikian argumennya.
”Apakah kini sedang terjadi demokrasi dol tinuku (jual beli)?” saya bertanya ke budayawan yang menemani saya minum kopi. Dia menjawab, ”Dari perspektif kita bisa saja ditafsirkan demikian. Tapi dari perspektif Presiden, boleh jadi dia melakukan langkah politik yang signifikan.”
Pendukung Prabowo memang tak boleh dianggap enteng. Selisih suara keduanya hanya sekitar 10 persen. Dengan tambahan Gerindra di parlemen, kekuatan koalisi di pemerintahan jadi sangat dominan dengan menguasai 427 kursi atau 74,26 persen. Di luar pemerintah, Partai Keadilan Sejahtera dan PAN yang menyatakan sikap politik secara tegas ada di luar pemerintah untuk merawat demokrasi. Partai Demokrat belum resmi bersikap. Semua partai pengusung dapat jatah kursi, termasuk wamen. Projo pun ikut dapat wamen.
Indikasi demokrasi dol tinuku mulai tampak dari revisi UU MPR, DPR, DPD. Pemerintah dan DPR sepakat semua partai dapat kursi pimpinan MPR. Kursi pimpinan MPR membengkak jadi 10 orang. Langkah ini dirasionalisasi sebagai perwujudan permusyawaratan Indonesia.
Realitas politik kedua tampak dari revisi UU KPK. Meski mendapat reaksi dari publik, pemerintah dan DPR kompak merevisi UU KPK. Tekanan publik ke Presiden Jokowi untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) pun mengendur. Sepi.
Apakah demokrasi dol tinuku atau demokrasi transaksional akan terus berlanjut? Publik masih harus menunggu. Masih ada isu amendemen konstitusi dan pemindahan ibu kota. Masih ada revisi UU Ketenagakerjaan yang pasti memicu penolakan dari buruh, tapi diharapkan pengusaha. Ada juga keinginan Presiden membuat undang-undang besar, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM yang berupaya omnibus lawOmnibus law dalam arti sebuah UU yang merevisi puluhan UU.
Apa yang sedang dilakukan Presiden Jokowi atau Jokowi Way adalah eksperimen politik besar untuk persatuan nasional, tetapi juga berisiko. Langkah politik Jokowi bisa dipandang sebagai langkah populisme akomodatif terhadap elite. Beda dengan periode pertama pemerintahannya yang menegaskan posisi Presiden bersama rakyat. Namun, ada juga yang menafsirkan sebagai era pragmatisme politik. Apakah Jokowi Way akan sukses membawa Indonesia jadi lebih baik, sejarah yang akan menentukan. Apakah rekonsiliasi elite akan diikuti di akar rumput, sejarah pula yang akan mencatatnya? Apakah demokrasi akan berjalan tanpa oposisi, sejarah politik kontemporer Indonesia menyatakan, tak demikian.
Oposisi tetap bisa muncul di luar maupun dari dalam pemerintah, dan berujung perombakan kabinet. Kapan? Tentu jelang rekonfigurasi politik jelang Pemilu 2024 atau ketika kepentingan kelompok terganggu. Atau bisa lebih cepat.
Fenomena politik mutakhir memang mempertontonkan gejala demokrasi dol tinuku. Ini membenarkan sebuah teori bahwa politik didefinisikan sebagai siapa mendapat, apa, kapan, dan bagaimana mendapatkannya. Dan, politik hanya soal kepentingan. Tak ada kawan dan lawan abadi di politik selain kepentingan itu sendiri.
Semoga saja persamaan kepentingan itu untuk Pancasila dan NKRI. Dan bukan sekadar berebut kue kekuasaan. Terlepas dari kontroversi yang ada, biarlah kabinet Jokowi bekerja…. ***