Dalam beberapa bulan terakhir, kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ramai diperdebatkan. Pemicu debat adalah pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tentang kenaikan iuran 100 persen bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) kelas I dan kelas II. Bagi banyak pihak, kenaikan 100 persen dianggap tak lazim.
Di 2016, iuran PBPU kelas III awalnya dinaikkan dari Rp 25.500 menjadi Rp 30.000 (naik 20 persen), penolakan juga terjadi, dari masyarakat dan DPR. Jadi, reaksi penolakan bukan soal kenaikan lazim. Bagi sebagian orang, termasuk sebagian anggota DPR, yang penting bagi mereka: “pokoknya tolak” usul pemerintah. Sebab, reaksi menolak keputusan pemerintah merupakan “menu lezat” bagi media massa dan medsos.
Sayangnya pada 2016 pemerintah mengikuti suara publik tanpa reservasi yang berujung kian besarnya defisit JKN. Pemerintah juga tak menerima usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) tentang besaran iuran peserta PBI yang diusulkan Rp 36.000, tapi diputuskan hanya Rp 23.000. Jumlah dana amanat, dana iuran yang terkumpul, tak memadai untuk menggotong kebutuhan biaya berobat seluruh peserta.
Program JKN merupakan instrumen ekonomi untuk memenuhi hak konstitusi rakyat, sesuai Pasal 28H Ayat 1 UUD45. Hak rakyat adalah kewajiban negara. Banyak rakyat, dan sebagian wakil rakyat, juga tak paham bahwa tiada hak tanpa kewajiban. Banyak pihak hanya menuntut hak rakyat. Mereka lupa, bahwa kewajiban rakyat—seperti mengiur JKN adalah untuk terpenuhi haknya.
Data menunjukkan semakin banyak peserta JKN yang menyadari hak manfaatnya dan menggunakan JKN. Di 2018, sebanyak 233 juta klaim diajukan oleh fasilitas kesehatan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJSK), naik dari 94 juta di tahun 2014.
Fakta itu menunjukkan, semakin banyak rakyat menikmati perlindungan hak kesehatan. Defisit BPJSK tak terhindarkan dan terus terjadi, karena konsumsi meningkat sementara pemasukan relatif tetap. Reaksi pemerintah terfokus pada belanja JKN, yang ditengarai tak efisien dan terjadi klaim berlebih. Meski terjadi klaim fasilitas kesehatan yang tak seharusnya, hal itu bukan penyebab utama defisit JKN.
Defisit terjadi karena penerimaan sejak awal ditetapkan di bawah kebutuhan. Pemerintah mengambil risiko politik menutup defisit di akhir tahun. Kurang transparannya manajemen BPJSK, menambah keraguan atas masalah utama defisit. Likuiditas JKN sangat terganggu karena pemasukan jauh lebih rendah dibanding pengeluaran wajib. Utang BPJSK kepada fasilitas kesehatan terus membengkak, menyebabkan hak konstitusi layanan kesehatan sebagian rakyat terhambat. Pertumbuhan industri kesehatan, termasuk obat, mandek. Kualitas layanan kesehatan kian memburuk. Berita defisit dan kesulitan likuiditas fasilitas kesehatan swasta telah meningkatkan pesimisme atas JKN.
Konsistensi dan realita
Keputusan Menkeu menaikan iuran 100 persen untuk kelas I dan II yang lebih tinggi dari usulan DJSN sesungguhnya merupakan kebijakan konsisten dan realistis sesuai jiwa UU SJSN. Kesalahan terbesar terjadi pada awal dimulainya JKN ketika pemerintah tak mengabulkan usulan DJSN. Dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), DJSN diberi tugas dan wewenang mengusulkan besaran iuran.
Pemerintah mengambil risiko “menutup defisit di akhir tahun”. Selama enam tahun JKN mengalami defisit yang terus membengkak dan mengorbankan peserta, fasilitas kesehatan, dan industri kesehatan. Banyak rumah sakit (RS) swasta terpaksa dijual dan banyak klinik tutup karena bayaran kapitasi tak naik selama enam tahun. Kebanyakan rakyat tak paham hal itu. Sebagian pejabat juga pura-pura tidak tahu.
Banyak RS dipaksa bertindak membatasi peserta JKN atau memilih kasus-kasus yang tak menimbulkan defisit. Sebagian RS, khususnya RS milik pemerintah dan jaringan RS swasta besar, memang masih bertahan karena unit bayaran CBG-nya lebih besar. Banyak RS swasta terpaksa menutup belanja operasional dari pinjaman. Hal itu sangat tak sehat dan mengancam pertumbuhan industri kesehatan. Keadaan ini berdampak pada sikap politik. Menurut beberapa survei, sebagian besar dokter tak memilih Jokowi dan Ma’ruf Amin di Pilpres 2019 karena merasa dipaksa bekerja dengan bayaran yang tidak memadai.
Menyiasati defisit yang semakin besar, BPJSK pun semakin “kalap” membuat berbagai aturan yang membatasi hak peserta dan hak fasilitas kesehatan. Bulan lalu, secara sepihak, di beberapa daerah rumah sakit diminta mengembalikan uang dengan alasan permintaan BPKP. Meski belum menolak pasien JKN, para pimpinan RS sudah sangat tertekan dengan perilaku sebagian pejabat BPJS. Untungnya, Menkes mengoreksi keadaan dan meminta BPJSK tidak menuntut pengembalian klaim.
Banyak masalah manajemen dan layanan di lapangan terganggu akibat defisit JKN. Berbagai tudingan muncul, termasuk mereka yang tak memiliki data cukup, ikut mengusulkan “solusi” defisit. Bahkan, muncul juga tawaran bantuan dari perusahaan asuransi China, yang menambah kisruhnya politik JKN. Padahal, akar masalah utama JKN adalah penetapan iuran sejak awal yang tidak memenuhi syarat kecukupan dana.
Nasi telah jadi bubur. Kekeliruan keputusan enam tahun lalu telah menggerogoti kepercayaan publik. Kini, upaya koreksi sebagian, belum akan menyelesaikan JKN, mendapat tantangan politik. Kenaikan berkala untuk mencukupi dana amanat, dana gotong royong berobat, tak dijalankan sesuai konsep. Keberanian tegas tahun ini, sejauh untuk kepentingan seluruh rakyat, akan lebih menjamin hak rakyat. Reaksi penolakan tetap ada, tapi tak akan berlangsung lama. Perhatikan tarif tol yang tiap dua tahun naik. Tak terjadi reaksi serius, meski jalan tol tetap macet.
Manfaat ganda
Kini bola sudah di lapangan. Lawan politik tentu responsif. Mereka menutup mata bahwa 50 persen penduduk termiskin telah dijamin melalui peserta PBI. Fakta kecil peserta PBPU yang memilih turun ke kelas III diungkap. Pilihan kelas III tidak melanggar hak rakyat, sebab layanan medis dasar sama dengan layanan di kelas I dan kelas II. Jumlah mereka juga sangat kecil, tidak sampai 2 persen jumlah peserta JKN. Tetapi, untuk konsumsi politik, menu pindah kelas cukup laku keras.
Apakah benar iuran PBPU memberatkan? Banyak dari mereka yang berteriak keberatan mengiur kelas III, seharga dua bungkus rokok sebulan, sesungguhnya mampu mengiur. Banyak peserta PBPU yang menghabiskan lebih dari Rp 1 juta sebulan untuk rokok, tetapi merasa berat membayar iuran JKN yang hanya Rp 42.000.
Kebanyakan rakyat dan pejabat juga tak memahami bahwa iuran JKN adalah hibah bersama, bukan jual beli. Fatwa Dewan Syariah Nasional No 98/2015, menetapkan akad iuran JKN adalah akad hibah/infak, untuk menggotong biaya berobat bersama. Dengan infak wajib Rp 42.000 – 160.000 per bulan seseorang terlindungi dari biaya berobat sampai Rp 500 juta atau lebih.
Selain itu, niat ikhlas infak/hibah akan mendapat pahala. Itulah manfaat ganda JKN. Pekerja penerima upah bergaji dan pekerja mandiri berupah di bawah Rp 8 juta tidak mengalami penambahan beban iuran. Tidak realistis jika serikat pekerja ikut-ikutan menolak kenaikan iuran.
(Hasbullah Thabrany ; Ketua Indonesian Health Economic Association)