Dengan modal politik yang besar disertai pengalaman pemerintahan selama lima tahun, sangat wajar banyak kalangan berharap kabinet Presiden Jokowi jilid kedua akan lebih efektif.
Namun kekhawatiran tetap ada mengingat partai-partai yang menyokong Presiden, termasuk menteri-menteri yang mewakili mereka, mungkin akan lebih fokus pada pemenangan Pemilu 2024, terutama pada tahun keempat dan kelima pemerintahan.
Secara umum, kabinet dapat dikatakan efektif bila selama lima tahun masa kerjanya dapat menghadirkan setidaknya empat keadaan. Pertama, mencapai tujuan yang telah ditargetkan, terutama agenda prioritas. Dalam pidato awal setelah pelantikan, Presiden kembali menegaskan lima agenda prioritasnya yakni pengembangan SDM, pembangunan infrastruktur dan konektivitasnya dengan ekonomi lokal, penataan regulasi untuk penciptaan lapangan kerja dan usaha kecil/menengah, reformasi birokrasi, dan transformasi ekonomi.
Kedua, hadirnya stabilitas politik dan keamanan. Dua aspek ini selama lima tahun pertama pemerintahan Jokowi cukup baik. Namun sejumlah peristiwa mutakhir, terutama pasca-pilpres seperti kerusuhan 21-22 Mei, demonstrasi mahasiswa dan masyarakat pada September, hingga serangan terhadap Menkopolhukam Wiranto, memberikan isyarat bahwa situasi politik dan keamanan bisa menjadi tantangan yang tidak mudah di periode kedua pemerintahan Jokowi.
Ketiga, hadirnya stabilitas dan kemajuan ekonomi. Di periode pertama, jelas Jokowi tak mampu memenuhi janjinya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi 7 persen. Namun, setidaknya stabilitas ekonomi terjaga. Meski masih banyak keluhan masyarakat soal lapangan kerja, harga sembako, dan jumlah orang miskin, ekonomi cukup stabil dengan inflasi di bawah 4 persen dan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen.
Target Presiden di periode kedua cukup ambisius yaitu meletakkan awal dan dasar yang kokoh agar di 2045 (satu abad kemerdekaan Indonesia) pendapatan per kapita bangsa kita bisa berada di posisi sekitar 22.000 dollar AS per tahun, lebih dari lima kali lipat dari sekarang.
Keempat, kabinet efektif bila mampu melaksanakan transisi secara damai ke pemerintahan berikutnya. Pasca-Jokowi setelah 2024, dapat dianggap sebagai transisi yang sesungguhnya generasi kepemimpinan nasional, dari generasi transisi pasca-reformasi 1998 kepada generasi yang sepenuhnya baru yang didominasi tokoh-tokoh muda dari kalangan milenial.
Bila empat hal itu dapat dihadirkan secara konsisten oleh pemerintahan Jokowi jilid II, maka struktur dan komposisi kabinet yang dia bentuk dapat dianggap telah bekerja efektif.
Prasyarat kabinet efektif
Untuk mencapai tujuannya, ada sejumlah prasyarat bagi efektivitas kinerja kabinet dan pemerintahan secara umum. Pertama adanya prioritas agenda yang jelas. Prioritas agenda pemerintahan lima tahun ke depan telah ditetapkan Presiden. Realitas politik mengharuskan Presiden menggabungkan sejumlah elemen dalam kabinetnya, terutama elemen partai dan non-partai. Masalah yang dihadapi para menteri dari partai biasanya adalah keraguan soal kapasitas/profesionalitas dan integritas serta loyalitas.
Maka, Presiden harus mengangkat menteri dari partai berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan terlebih dulu, baru menyerahkan ke partai untuk menunjuk perwakilannya. Untuk loyalitas, Presiden harus menekankan leadership (kepemimpinan) yang kuat sekaligus memastikan koordinasi berkala dengan partai agar perbedaan fokus kerja menteri dapat berkurang. Sedangkan menteri non-partai biasanya potensial mengalami masalah dukungan politik, terutama dari partai.
Untuk itu, Presiden dapat memilih menteri non-partai yang diperkirakan tak memiliki resistensi politik yang tinggi. Namun, bila Presiden memang butuh satu figur non-partai maka dukungan politik haruslah berasal dari Presiden sendiri sehingga partai yang resisten harus berhadapan dengan Presiden.  Kepemimpinan Presiden jadi kunci di sini.
Karena agenda prioritas jadi tujuan sekaligus alat evaluasi Presiden, sebaiknya jabatan menteri yang langsung menjadi eksekutor agenda prioritas diberikan kepada orang non-partai. Selain menjamin agar tak ada gangguan fokus kerja, ini juga bisa menghindari kemungkinan saling cemburu antarpartai terkait posisi menteri dari partai lain. Agenda prioritas tentulah akan memperoleh prioritas anggaran dan perhatian pula. Bila digawangi orang partai, potensi saling sikut antarpartai bisa terjadi. Ini harus dihindari Presiden.
Tradisi memberikan posisi sejumlah menteri tertentu hanya kepada orang non-partai sudah berlangsung sejak pemerintahan SBY. Posisi seperti menkeu biasanya diberikan kepada figur non-partai dan terbukti hasilnya baik. Tradisi ini perlu dilanjutkan dan diperluas kepada sejumlah agenda prioritas yang telah ditetapkan Presiden.
Prasyarat kedua kabinet efektif adalah dukungan politik yang cukup. Berbeda dengan pemerintahan jilid I, dukungan politik untuk Presiden Jokowi jilid II sudah langsung tersedia sejak awal dalam jumlah cukup. Lima partai pengusung Jokowi dalam pilpres memiliki lebih dari 60 persen kursi di DPR. Dengan masuknya Gerindra di kabinet, maka bukan hanya kekuatan kursinya lebih dari cukup, dari segi jumlah partai juga sudah cukup aman.
Dengan dukungan enam partai, bila sewaktu-waktu ada satu partai yang tak bisa bersama pemerintah dalam isu kebijakan tertentu, dukungan politik Presiden masih tersisa lima partai. Jumlah ini tetap cukup untuk memuluskan agenda Presiden di legislatif. Dalam manajemen koalisi, ketergantungan Presiden pada PDI Perjuangan (PDI-P) bisa dikurangi karena ada Golkar dan Gerindra yang memiliki kekuatan kursi yang hampir seimbang dengan PDI-P.
Prasyarat ketiga, dukungan publik yang cukup. Sejak jadi walikota Solo, hingga gubernur DKI dan presiden periode pertama, Jokowi dikenal sebagai “man of the people”. Memimpin dengan metode blusukan adalah pengejawantahannya.
Namun menjelang akhir periode pertamanya, muncul sejumlah kontroversi, terutama soal revisi UU KPK dan pendekatan yang cenderung represif pada sejumlah elemen masyarakat bersuara kritis. Ada tanda-tanda dukungan publik tak sekuat awal pemerintahan Jokowi jilid I. Maka, prasyarat ketiga ini apakah otomatis tersedia atau tidak masih tanda tanya. Survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) awal Oktober menunjukkan tingkat kepuasan publik kepada Jokowi di angka 67 persen. Ini memang masih cukup baik.
Tetapi sebagai presiden “man of the people” yang memasuki periode kedua, seharusnya angka itu lebih tinggi. Bandingkan dengan SBY ketika memasuki periode kedua. Kala itu, sekitar Oktober-November 2009, tingkat kepuasan publik di angka 85 persenan. Bila angka dukungan publik kurang tinggi, sulit bagi Jokowi “mengadu kepada publik” atau going public strategy ketika dia berhadapan dengan kekuatan parpol.
Prasyarat keempat, ketersediaan birokrasi yang mendukung. Prasyarat ini bukan hanya belum tersedia, tapi, seperti pengakuan Jokowi sendiri di pidato awal setelah pelantikan, birokrasi masih jadi masalah. Salah satu kunci efektivitas kabinet ada di birokrasi. Bila Jokowi tak segera bisa benahi, birokrasi bisa jadi malah jadi penghalang utama agenda prioritas yang telah ditetapkan. Dengan demikian, empat prasyarat kabinet efektif itu belum secara otomatis tersedia, meskipun potensinya besar.
Kepemimpinan
Maka kunci utama terletak pada kepemimpinan Presiden, yang sekaligus prasyarat kelima. Kepemimpinan ini harus bersifat transformatif dan melakukan minimal dua fungsi utama.
Pertama, fungsi politik. Presiden harus memastikan dukungan politik selalu tersedia bagi semua struktur pemerintahannya, termasuk dan terutama menteri dari non-partai. Ini penting karena mereka pelaksana utama agenda prioritas Presiden. Bila perlu Presiden menunjuk figur senior untuk jadi negosiator politik utama yang memastikan soliditas koalisi dan potensi dukungan politik lainnya.
Kedua, fungsi teknokratis. Presiden sebaiknya memimpin sendiri upaya koordinasi dan evaluasi antar elemen terutama antara kantor Presiden, para menteri (kabinet), dan berbagai jaringan yang memberi masukan/saran kepada pemerintah (Presiden). Selain itu Presiden juga harus memastikan koordinasi dan evaluasi juga berjalan secara vertikal antara pemerintah pusat dan semua pemda, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Tanpa koordinasi vertikal ini, delivery kebijakan/program akan mengalami hambatan untuk sampai ke masyarakat.
Apa yang dikhawatirkan Presiden bahwa pemerintah hanya bisa sending, tak delivered, seperti disinggung dalam pidato setelah pelantikan, bisa terjadi. Presiden pernah berkata, di periode II ia tak ada beban. Itu artinya fokus Presiden hanyalah pada mendengarkan suara dan harapan rakyat, lalu mengubahnya menjadi kebijakan publik yang benar-benar untuk publik.
(Djayadi Hanan ; Direktur Eksekutif LSI; Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina)