Tidak ada yang bisa menghentikan dan menggoyahkan fondasi negara besar China. Demikian pernyataan tegas Presiden China Xi Jinping pada peringatan 70 tahun China berdiri, 1 Oktober 2019 di Lapangan Tiananmen, Beijing. Ucapan ini bermakna luas, tidak saja bertujuan domestik.
Dengan panggilan internasional, China siap melaju untuk tujuan perdamaian global. Jika ada yang mengganggu, China siap menghadang termasuk siap berperang jika itu harus jadi pilihan. AS adalah sasaran utama pesan itu.
Kebangkitan ekonomi China turut memakmurkan dunia. Mesin pertumbuhan global, demikian Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan. Namun, negara yang bangkit dari sejarah kekacauan internal dan kolonialisme yang mempermalukan dirinya ini belum meraih respek tinggi. China itu menakutkan, demikian dituliskan Peter Navarro, penasihat dagang Presiden AS Donald Trump.
Kediktatoran dan otoritarianisme kerap menjadi kata dari Barat. China terbiasa dengan ini. Pemimpin terhormat sekalipun, seperti Kanselir Angela Merkel setiap kali berbicara soal China, setuju berelasi tetapi menjaga jarak. “Hak asasi manusia, demokrasi, kebebasan, dan solidaritas membentuk fondasi model sosial yang harus kita perjuangkan secara yakin di seluruh dunia,” demikian Merkel pada simposium internasional yang diselenggarakan Konrad Adenauer-Stiftung, Berlin, 15 Februari 2008.
Merkel tak luput untuk meniupkan isu hak asasi setiap kali berkunjung ke China, termasuk pada awal September 2019 lalu. Tentu AS juga konstan memegang prinsip superioritas demokrasi. Ini berhadapan dengan moto “sistem kediktatoran demokratis” berbasis nilai-nilai China, yang dipromosikan oleh Xi Jinping.
Perang ideologi tidak akan selesai. Tentu China melihat hipokritisme oleh mereka yang menjual demokrasi. Negara-negara demokrasi itu melakukan ekspansi lewat kolonisasi modern dan hegemonik, ingin menguasai. Ketika Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menyudutkan terkait hak asasi, China langsung membalas.
“Kami juga menasihati AS agar melihat saksama catatan hak asasi di dalam negerinya, uruslah dulu masalahmu,” demikian kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Lu Kang. Dia mengatakan, tudingan AS itu bersayap, jualan ideologi. “China sepenuhnya menjamin hak asasi dan banyak pencapaian soal ini,” kata Lu.
Ketika masih menjabat, Presiden Hu Jintao memang kerap mengingatkan bahwa asas sosialisme China hanya kuat dengan penegakan hak asasi dan pencegahan korupsi. China akan melanjutkan perjalanan negaranya dengan sistemnya sendiri.
Lalu China terbelalak dan tidak melupakan krisis ekonomi yang menerpa AS dan Eropa. Kapitalisme liberal telah menggoyang ekonomi negara demokrasi akibat penipuan di sektor keuangan Barat, yang juga tak luput dari penggelapan pajak. Situasi warga dimana kaum kaya makin kaya terjadi di Barat, seperti dituliskan ekonom Perancis, Thomas Piketty. China tak melupakan faktor-faktor ini dan terpikir soal rivalitas ideologi.
Perebutan pengaruh
China melihat momentum rivalitas ini. Sebuah negara yang bangkit secara ekonomi, dan secara lahiriah ingin ekspansif dan hegemonik. Untuk itu, dia akan berniat untuk kuat secara militer. Ini adalah sifat lahiriah dari politik negara adi daya (super power politics), seperti dikatakan pakar hubungan internasional, John Mearsheimer dari University of Chicago.
Maka di luar rivalitas ideologi, perang berikutnya adalah perebutan pengaruh di kawasan. Tambahan pula sekian lama China merasa dikepung dengan keberadaan pasukan AS di Taiwan. China terintimidasi dengan hal itu dan ingin menegaskan otoritas, antara lain di Laut China Selatan. Ini simbol keinginan kuat China untuk mengusir AS dari wilayahnya.
Lebih jauh, China kini sudah berani mengatakan berhak dan terpanggil menjalankan tanggung jawab internasional. Maka dari itu, muncul program pembangunan infrastruktur bersakala global. Ini dijalankan lewat program One Belt One Road (OBOR), inisiatif Presiden Xi Jinping. OBOR dengan sendirinya akan berkembang menjadi ajang perang baru. Uni Eropa pun membalas itu dengan program “Strategi Ketersambungan Asia“.
Ada potensi konflik pada program OBOR versus program Eropa. Tentu AS tidak akan diam soal OBOR bahkan berkampanye memojokkan OBOR. Hingga niat China mengejar teknologi paling modern telah dihadang antara lain lewat perang dagang, yang dicanangkan Presiden AS Donald Trump. Ini berhadapan dengan impian China untuk memamerkan kehebatan sosialisme berbasis misi damai dan kepentingan bersama secara global.
Untuk itu China telah mengubah paradigma militer, dari pertahanan domestik ke serangan ke luar teritorialnya. Dengan visi globalnya, China mengupayakan kejayaan lebih luas di darat, laut, dan udara.
Untuk itu, telah dipamerkan rudal balistik antar-benua Dongfeng-41 (DF-41) pada 1 Oktober 2019, pada hari peringatan 70 tahun China berdiri, dilengkapi dengan parade militer. Dongfeng itu sendiri artinya “angin timur”. “Kini China yang sosialis telah berdiri tegak di dunia.Tidak ada kekuatan yang bisa menggoyahkan fondasi sebuah negara besar ini,” demikian Xi Jinping di Lapangan Tiananmen, Beijing.
Makna ucapan ini tidak sesederhana kalimat itu sendiri. Negara ini ada dalam fase tidak lagi memikirkan dirinya dan telah beranjak pada panggilan internasionalnya. Ini tergambarkan juga pada ucapan Xu Chen, Presiden Bank of China USA di New York, AS, pada 17 September 2019. “Sekitar 2.500 tahun lalu, filsuf Konfusius memunculkan ide yang paling banyak dikutip,” kata Xu.
“Perbaiki dulu diri sendiri, lalu kelola keluarga, dan kemudian pemimpin daerahmu, itu jalan paling pasti untuk membuahkan keadilan dan kedamaian dunia,” kata Xu. Dalam konsep Barat itu berarti, “Dari hal-hal kecil, hal besar akan diraih.”
AS adalah sasaran
Ketika Presiden Xi mengatakan tidak ada yang bisa menghadang, AS adalah sasaran jelas. Ini telah tertanam juga pada benak warga China akibat hiruk-pikuk perang dagang. Ucapan ini simbolik, dan saat bersamaan dimunculkan rudal balistik yang disebut-sebut paling canggih, DF-41 saat parade diiiringi pidato Presiden Xi.
“Kami ingin menggunakan senjata pembunuh besar ini (DF-41) untuk mencegat Amerika,” kata Kolonel Yue Gang, seorang pensiunan Tentara Pembebasan Rakyat China. “Meski kami tidak perlu repot untuk bersaing denganmu, kami sekarang sedang mengembangkan senjata unik sehingga Amerika tidak takabur memandang kami.”
Rakyat China memang boleh berbangga hati. “China telah melewati masa lalu dengan kehancuran dan badai. Saya sangat bangga pada negaraku, kami bisa lebih berbicara di panggung internasional,” kata seorang pensiunan, Guo Fucheng (67).
Parade militer dan pamer senjata terbaru ini adalah wujud China yang akan menantang siapa saja yang ingin meredamnya. Setelah relasi relatif tenang dengan AS sejak Presiden Bill Clinton, George W Bush, dan Barack Obama, seperti pernah dinyata Graham T Allison dari Harvard University, Trump menjuluki China pencuri teknologi.
Jarang China melakukan parade militer dengan ungkapan tegas. Kali ini, ketegasan muncul dan merupakan ekspresi nyata pada siapa saja penghambat China.
Presiden Xi sekaligus mendorong sentimen nasionalisme dan rasa bangga diri. China telah bangkit dari seabad didera Barat di bawah Dinasti Qing, termasuk oleh kolonialis Inggris dan Jepang. Namun, Presiden Xi pun mengingatkan, ke depan China tidak bisa lengah sebab asing terus menggoyang.
Kali ini Presiden Xi menyebutkan langsung soal Hong Kong, yang digoyang lewat aksi-aksi protes. Ini dipandang sebagai hasil hasutan Barat.
“China berkomitmen pada strategi penguatan negara dengan dua sistem berbasis perdamaian. Kami akan mempertahankan stabilitas jangka panjang Makau dan Hong Kong, juga melanjutkan pembangunan di selat dan akan terus mengejar upaya unifikasi negara,” lanjut Xi.
Barat tidak usah khawawatir dan tidak usah mengatur China. Semuanya akan bisa dikendalikan dengan cara kami sendiri. Itu kurang lebih makna penuturan Presiden Xi. Asing tidak akan menemukan keinginannya untuk menggoyang China dengan menggoyang Hong Kong. Itulah makna implisit dari ucapan Presiden Xi saat parade militer. (Bersambung) ***