TANTANGAN KABINET BARU
Kabinet Baru, Tantangan Sama
Pengumuman Kabinet Kerja jilid II oleh presiden dan wapres terpilih periode 2019- 2014 dalam waktu dekat ini, pada akhirnya akan menyudahi berbagai spekulasi setelah dramaturgi dan tarik-menarik kepentingan politik yang menguras emosi baik dari parpol pengusung maupun parpol pesaing.
Kementerian bidang perekonomian disinyalir akan lebih dapat sorotan publik. Setidaknya ada beberapa kriteria ideal menurut pasar dan dunia usaha harus dimiliki menteri di bidang ini: memiliki rekam jejak kinerja serta didukung kemampuan manajerial dan komunikasi yang andal, penguasaan dan pemahaman mumpuni bidang ekonomi, industri dan keuangan, berjiwa solutif dan berintegritas tinggi.
Beberapa penambahan atau perubahan nomenklatur baru kementerian seperti kementerian digital dan ekonomi kreatif, kementerian investasi dan kementerian luar negeri yang akan mengurusi perdagangan luar negeri merupakan terobosan baru menyesuaikan perubahan iklim bisnis dan investasi di era milenial dan Revolusi Industri 4.0 yang ditandai disrupsi ekonomi.
Seharusnya Jokowi bersama Kabinet Kerja II dapat langsung bekerja mewujudkan agenda ekonomi mengingat penetapan APBN 2020 dibuat di masa pemerintahannya. Berbeda dengan awal pemerintahan pada 2014 di mana penyusunan APBN 2015 dilakukan pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Modal politik Jokowi di parlemen (DPR) juga besar dan relatif kondusif mengingat kursi pimpinan DPR mayoritas dipegang parpol koalisi pendukung (PDI-P, Golkar, Nasdem, PKB, dan hanya Gerindra di posisi pesaing).
Di awal pemerintahan 2014, kita bisa melihat secara kasat mata bagaimana Jokowi banyak direcoki parlemen sehingga praktis sekitar 1,5 tahun masa bekerja habis untuk menstabilkan tensi dan kegaduhan politik di parlemen. Meski demikian Jokowi-Jusuf Kalla bersama Kabinet Kerja I berhasil menjawab keraguan dengan kerja nyata. Beberapa capaian penting bidang ekonomi layak diapresiasi dan bisa jadi modal penting menjalankan roda ekonomi periode selanjutnya. Defisit anggaran terhadap PDB kian membaik dari 2,59 persen (2015) menjadi 1,93 persen (proyeksi 2019).
Defisit keseimbangan primer membaik jadi minus Rp 34,7 triliun atau 0,22 persen PDB (outlook 2019) dari sebelumnya minus Rp 142,5 triliun atau 1,23 persen PDB pada 2015. Kualitas anggaran belanja negara lebih produktif dan sehat. Semenjak reformasi subsidi energi tahun 2015, anggaran subsidi energi yang selama ini kontroversial dan kontraproduktif diturunkan 58,3 persen dibandingkan 2014 dan diarahkan kepada peningkatan belanja infrastruktur (naik 158,4 persen), pendidikan (naik 35,4 persen) dan kesehatan (naik 96,3 persen).
Pertumbuhan PDB Indonesia meningkat dari 4,87 persen pada 2015 menjadi 5,17 persen di 2018. Pertumbuhan 5,17 persen membuat Indonesia bertengger di peringkat ketiga pertumbuhan ekonomi tertinggi setelah India dan China di G20.
Pertumbuhan ekonomi yang meningkat serta didukung tingkat inflasi terjaga rendah dan stabil (dari 8,36 persen di 2014 menjadi rata-rata 3 persen 2015-2019) dan pertumbuhan konsumsi masyarakat stabil 5 persen, berimplikasi positif terhadap penurunan kemiskinan dari 10,96 persen (2014) menjadi 9,41 persen (Maret 2019), ketimpangan (rasio Gini) turun dari 0,414 (2014) menjadi 0,382 (Maret 2019) serta pengangguran dari 5,94 persen (2014) menjadi 5,01 persen (Februari 2019) setelah tersedia sekitar 11,21 juta lapangan kerja selama periode 2015-2019.
Tantangan 2019-2024
Kondisi makroekonomi dan pengelolaan fiskal negara sudah baik dan harus dipertahankan. Namun pemerintah jangan larut dalam euforia pencapaian ini. Meski kabinetnya baru, tantangan yang dihadapi masih sama (new cabinet but challenges are still the same) yakni pada peningkatan daya saing dan memacu pertumbuhan investasi.
Perlambatan investasi dan penurunan daya saing juga akan menjadi alamat bahaya yang dapat menggerus neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan. Indonesia akan kian tertinggal dari negara lain terutama di ASEAN. Investasi yang mengalir keluar akan berakibat konsumsi rumah tangga menurun dan pengangguran kembali meningkat sehingga berimbas pada stagnasi pertumbuhan ekonomi.
Kabinet Kerja II harus menyingkirkan paradigma lama business as usualdalam kebijakan ekonomi, yang bukan saja membuat kita jalan di tempat, tetapi juga menjerumuskan ke dalam lorong gelap keterpurukan di tengah ancaman resesi dan ketakpastian global. Benar pertumbuhan ekonomi stabil 5 persen patut disyukuri di tengah eskalasi perang dagang AS-China, namun pertumbuhan inipun sebenarnya tak sesuai target ambisius 7 persen Presiden Jokowi bersama Kabinet Kerja I.
Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional malah menurunkan proyeksi pertumbuhan Indonesia menjadi hanya 5 persen di 2019 dari sebelumnya 5,2 persen. Janji Jokowi untuk menaikkan daya saing industri juga belum terpenuhi. Indonesia masih kalah bersaing dari negara tetangga Vietnam, Thailand dan Malaysia, dan malah semakin dikejar negara medioker seperti Bangladesh dan Sri Lanka.
Penerimaan seluruh pemangku kepentingan ekonomi dan bisnis akan baik bila para menteri Kabinet Kerja II memiliki kelugasan dan kecepatan mengeksekusi kebijakan untuk peningkatan daya saing industri sesuai paradigma baru revolusi industri digitalisasi. Menurut Global Competitiveness Index (GCI) yang dirilis Forum Ekonomi Dunia, daya saing global Indonesia pada 2019 merosot lima peringkat ke posisi 50 dari 141 negara.
Indonesia kalah bersaing dari Singapura, Malaysia dan Thailand. Meski Vietnam di posisi 67 namun peringkat itu melesat 10 posisi dari 2018. Sinyalemen masih rendahnya daing saing Indonesia membuat kebijakan ekspor dan impor yang ramah jadi vital. Berbagai aturan regulasi yang tumpang tindih dan sulitnya akuisisi lahan membuat investor yang hengkang dari China sebagai dampak kenaikan tarif dagang dengan AS lebih memilih Vietnam.
Kemudahan, konsistensi dan kepastian aturan dan birokrasi jadi kunci suksesnya. Tak ada waktu bagi menteri-menteri untuk mengeluh dan mencari-cari alasan, faktanya memang berbagai perusahaan dan investasi China lebih memilih Vietnam dibanding Indonesia, bahkan sebelum ada sengketa dagang AS-China.
Beberapa faktor kuat keunggulan Vietnam: aturan dan birokrasi lebih sederhana namun dengan tingkat efektivitas tinggi, adanya kesatuan kebijakan dari tingkat pusat sampai daerah, relatif terbebas dari kepentingan politis, pungutan liar, dan praktik koruptif. Berbeda dengan Indonesia yang masih bermasalah dalam sinkronisasi dan koordinasi (kebijakan) antara pemerintah pusat dan daerah karena daerah memiliki otonomi sendiri (dan khusus) serta antar kementerian dan lembaga. Eksekusi pembebasan lahan di Vietnam lebih mudah dibandingkan Indonesia karena sistem kepemilikan lahan dimiliki negara.
Ketertinggalan Indonesia dari Vietnam tak hanya dalam memburu sumber investasi baru, namun juga dalam mempertahankan investasi existing. Relokasi pabrik mobil MPV merek Xpander milik Mitsubishi asal Jepang pada 2020—setelah tiga tahun berproduksi di kawasan industri Cikarang— adalah bukti nyata kehilangan investasi yang sudah ada.
Apabila tak ada langkah maju dan cepat, sektor industri lain seperti tekstil dan elektronika berpotensi pindah ke negara lain seperti Sri Lanka, Bangladesh bahkan Etiopia. Relokasi Industri itu dimungkinkan terjadi karena kompetitor kian beradaptasi dan berinovasi dalam meningkatkan daya saing industri serta didukung kebijakan ekonomi pemerintahnya yang lebih jelas, birokrasi tak rumit, dan insentif pajak yang langsung dirasakan pelaku usaha.
Peningkatan indeks kemudahan berusaha (Ease of Doing Business) memang mengalami progres kemajuan dari skor 59,15 (2015) menjadi 67,96 (2019). Secara peringkat naik menjadi 73 dari 190 negara pada 2018 dari sebelumnya peringkat 106 pada 2015.
Peningkatan ini buah hasil dari peluncuran 16 paket deregulasi ekonomi pada kurun 2015-2018, terbitnya Perpres No 91/2017 mengenai kemudahan berusaha, relaksasi daftar negatif investasi, perluasan tax allowance dan tax holiday, pemberian insentif untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) serta peluncuran OSS (Online Single Submission) pada 2018 untuk mempermudah perizinan usaha. Meski beberapa kebijakan telah dilakukan, namun tetap saja realisasi investasi masih belum sesuai ekspektasi. Presiden bahkan geram dengan 33 investasi asal China yang tak satupun berlabuh di Indonesia.
Pekerjaan rumah
Kabinet Kerja II wajib melanjutkan proyek pembangunan infrastruktur dengan penekanan pada konektivitas antara kawasan industri dan KEK karena akan kritikal mendukung industrialisasi.
Pengembangan industrialisasi memegang peranan penting dalam mengurangi ketergantungan pertumbuhan ekonomi pada ekspor komoditas dan konsumsi rumah tangga. Pertumbuhan industri manufaktur merosot menjadi 4,07 persen (2018) dari sebelumnya 4,47 persen (2017), jauh dari target Kabinet Kerja I sebesar 8 persen.
Pada lima tahun mendatang pemerintah sebaiknya menyusun peta jalan (road map) dan agenda prioritas untuk merevitalisasi industri manufaktur demi mengurangi ketergantungan pada perdagangan komoditas. Tahun 2000, manufaktur pernah berkontribusi lebih dari 50 persen dari volume ekspor sebelum digeser komoditas terutama akibat terlena bonanza minyak sawit (CPO) dan batubara pada rentang periode 2009-2013.
Tantangan kedua berkaitan dengan politik. Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf bersama Kabinet Kerja II sepertinya baru akan benar-benar fokus membenahi struktural ekonomi setelah 2022.
Dalam rentang dua tahun mendatang, kerja kementerian bidang ekonomi tampaknya lebih menjaga dan membenahi indikator makroekonomi jangka pendek seperti menahan depresiasi nilai tukar rupiah, mengurangi tekanan atas inflasi, menahan aliran keluar dana asing hingga menjaga agar pertumbuhan ekonomi tak turun dari 5 persen.
Celakanya, selepas 2022, berbagai menteri, terutama perwakilan parpol, akan punya agenda politik terselubung sebagai persiapan Pemilu 2024 sehingga bisa mengurangi fokus kinerja kabinet. Mengingat Jokowi tak mungkin terpilih kembali pada pemilu berikutnya, di sinilah diperlukan ketegasan dalam keluwesan memainkan kartu truf politik.
Jokowi harus bisa meyakinkan para menterinya agar terus fokus bekerja produktif karena capaian dan keberhasilan mereka juga diperhatikan seluruh rakyat dan jadi tolak ukur di kontestasi pemilu berikutnya.
Kondisi perpolitikan luar negeri, khususnya AS, juga memberi dampak pada ekonomi Indonesia. Dalam hal ini, hasil pilpres AS 2020, juga akan banyak berpengaruh pada ekonomi global dan dampaknya pada perekonomian Indonesia.
Tantangan ketiga adalah, pentingnya kian meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar kementerian dan lembaga negara. Kementerian harus saling mendukung dan melepas ego sektoral. Soliditas kerja dalam koridor arah dan visi yang sama terutama ditujukan pada peningkatan kualitas SDM dan produktivitas pekerja agar berdaya saing tinggi.
Kualitas dan produktivitas akan jadi aspek kritikal di tengah derasnya arus persaingan era Revolusi Industri 4.0. Segala perbedaan opini sebaiknya diselesaikan pada rapat kerja kabinet dan bukan di ruang publik agar tidak membingungkan masyarakat dan pasar.
Terakhir, perhatian pada pengelolaan utang negara. Kebijakan fiskal negara memang sudah baik, namun harus menaruh perhatian lebih pada peningkatan nilai utang negara yang telah mencapai Rp 4.418 triliun atau 29,98 persen PDB pada 2018 dari sebelumnya Rp 3.165 triliun atau 27,43 persen PDB pada 2014.
Utang negara harus dikelola secara berhati-hati dan produktif. Posisi utang negara per Agustus 2019 Rp 4.680 triliun atau 29,8 persen dari PDB. Memang rasio utang masih di bawah target pemerintah yang maksimal 30 persen dari PDB.
Namun ada baiknya rasio ditekan u ke angka 20-25 persen PDB untuk memperkecil risiko potensi gagal bayar serta agar tak membenani pemerintahan periode selanjutnya tanpa mengganggu target pencapaian pembangunan nasional Kabinet kerja II.
(Santo Rizal Samuelson ; Pemerhati Ekonomi & Politik Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar