Kita tidak bisa menyelesaikan masalah dengan level berpikir yang sama, seperti ketika masalah tercipta. Nasihat Albert Einstein ini sangat relevan bagi pasangan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presidan Ma’ruf Amin yang baru saja dilantik. Presiden pun dalam pidatonya telah menyatakan urgensi mengembangkan cara dan nilai baru dalam menghadapi dunia yang penuh risiko, dinamis, dan kompetitif.
Meski lingkungan global penuh tantangan, Presiden Joko Widodo optimistis Indonesia mampu menjadi negara maju pada 2045 dengan produk domestik bruto 7 triliun dollar AS. Sebagai negara kelima terbesar, rerata pendapatan penduduk disebut sebesar Rp 320 juta per kapita per tahun atau Rp 27 juta per kapita per bulan. Apakah mungkin?
Proyeksi serupa pernah dikemukakan PwC dalam terbitan berkala berjudul The Long View: How will the global economic order change by 2050?”. Dalam laporan ini, Indonesia diproyeksikan menjadi negara terbesar keempat dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat pada 2050.
Ulasan sejenis pernah disampaikan McKinsey Global Institute pada September 2012 dalam laporan berjudul The archipelago economy: unleashing Indonesia’s potential”. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri rilis laporan yang memproyeksikan Indonesia pada 2030 akan menjadi negara ketujuh terbesar dunia. Sebagai proyeksi dengan metode ekstrapolasi, perhitungan ini selalu mengandung asumsi. Dalam situasi serba dinamis ini, asumsi bisa dengan cepat berubah.
Perubahan permanen
Dua tahun terakhir, perekonomian global berubah begitu cepat dan penuh kejutan. Laporan triwulanan Dana Moneter Internasional (IMF), World Economic Outlook edisi Oktober kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan global menjadi 3 persen. Setahun ini telah terjadi koreksi empat kali, menunjukkan betapa tak pastinya situasi. Sebagai perbandingan, puncak pertumbuhan global terjadi pada 2017 sebesar 3,8 persen. Setelah itu, siklus perekonomian terus merosot.
Sebagaimana dijelaskan dalam laporan IMF, pelambatan global terjadi secara seragam di hampir seluruh dunia. China pada akhir tahun ini diperkirakan hanya akan tumbuh 6,1 persen dan tahun depan 5,8 persen atau terendah dalam 30 tahun terakhir. Kinerja sektor manufaktur yang merosot dan perang dagang disebut sebagai akar masalah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi terus menyusut.
Bank Dunia dalam terbitan berjudul ”Weathering Growing Risks” (10/2019) juga menunjukkan kawasan Asia Timur dan Pasifik pada semeseter I-2019 hanya tumbuh 6 persen, padahal periode yang sama tahun lalu bisa tumbuh 6,5 persen.
Dua penyebab utamanya adalah penurunan permintaan global dan peningkatan hambatan perdagangan. Tantangan global ini telah menimbulkan efek beragam bagi setiap kawasan, tetapi hasil akhirnya konsisten, yaitu siklus pertumbuhan yang melambat.
Bagi negara berkembang seperti kita, pelambatan pertumbuhan global telah memukul penerimaan ekspor yang disertai dengan penurunan kemampuan membayar kewajiban dalam valuta asing. Dengan demikian, peluang resesi juga muncul meski tak sebesar di negara maju. Dengan kata lain, pelambatan global juga diikuti peningkatan risiko yang secara konsisten terjadi di hampir semua negara.
Bagi presiden dan kabinet baru, tantangan global begitu nyata dan implikasinya pada perekonomian domestik juga tak bisa diremehkan. Potensi pertumbuhan tergelincir di bawah 5 persen tahun ini cukup besar. Maka, tugas pertama pemerintah baru adalah merumuskan kebijakan kontra-siklus agar mampu menangkal pelambatan.
Pertama, mengintensifkan kebijakan fiskal agar dalam ruang yang semakin sempit mampu memberikan stimulus bagi perekonomian. Efektivitas pemanfaatan anggaran menjadi salah kunci kemampuan fiskal menyangga perekonomian. Salah satu kendalanya, penerimaan pajak yang masih jauh dari target. Oleh karena itu, jika anggaran diproyeksikan ekspansif, harus menambah porsi utang. Artinya, profil risikonya akan meningkat.
Kedua, meningkatkan investasi, baik asing maupun domestik. Realisasi omnibus law di bidang penciptaan lapangan kerja ataupun pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) perlu dipercepat agar investasi segera terdorong.
Majalah The Economist (12-18/10/2019) mengangkat laporan khusus berjudul ”The world economy’s strange new rules”. Ada banyak anomali sejak krisis ekonomi 2007-2009. Salah satunya, tak berlakunya hubungan terbalik antara inflasi dan pengangguran. Selama ini, prinsip yang dikenal sebagai Kurva Phillips dengan sahih menunjukkan jika inflasi rendah, pengangguran tinggi, dan sebaliknya.
Sekarang, di Amerika Serikat, pengangguran 3,5 persen merupakan rekor terbaik sejak 1969, tetapi inflasi juga rendah, yakni 1,4 persen.
Inflasi merupakan indikator pertumbuhan ekonomi: jika rendah berarti tak ada banyak kesempatan kerja. Sementara, untuk mendorong pertumbuhan, diperlukan stimulus moneter (penurunan suku bunga) dan fiskal (insentif pajak).
Sayangnya, keduanya sudah tak bisa dimainkan lagi karena suku bunga sudah nyaris nol, sedangkan utang pemerintah terus meningkat. Situasi ini, di sisi lain, meningkatkan peluang resesi.
Ada dua penyebab penting terjadinya situasi ini, yaitu peran teknologi semakin intensif dalam ekonomi serta perubahan mata rantai pasok global. Keduanya telah berkontribusi penting pada perubahan peta perekonomian global secara permanen.
Salah satu pertanyaan kunci untuk lima tahun mendatang adalah apakah kita mampu memanfaatkan perubahan mata rantai pasok global ini dan mengadopsi teknologi dalam meningkatkan efisiensi perekonomian domestik. Selesainya proyek Palapa Ring pada periode sebelumnya bisa menjadi salah satu modal penting mendorong peningkatan akses guna menopang kegiatan ekonomi.
Meski demikian, kunci utama sebenarnya terletak pada kemampuan kita mereformasi birokrasi agar lebih efisien serta menciptakan kelembagaan yang memadai bagi investasi berupa penyederhanaan perizinan secara progresif. Konsolidasi kementerian dan lembaga terkait investasi serta implementasi regulasi yang merelaksasi perizinan bisa dijadikan terobosan awal pemerintah baru.
Pekerjaan saat ini akan menentukan nasib Indonesia Emas atau seratus tahun kemerdekaan. Pak Jokowi dan tim, selamat bekerja untuk Indonesia!
(A Prasetyantoko, Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta)