Ketika Bangun di Pagi Bulan September
Belakangan ini tadinya saya sering resah sulit tidur dengan dugaan bahwa anak-anak muda masa kini, istilah mutakhirnya ”zaman now”, kian konservatif. Asupan utama mereka agama. Moral menjadi tolok ukur segalanya, sampai ke karya seni dari sastra, seni rupa, sampai sinema.
Saya menyesali kebodohan diri sendiri. Betapa ahistoris saya selama ini. Mana mungkin teknologi informasi yang berkembang pesat dan mengubah segalanya tak berdampak revolusioner terhadap anak kandungnya, generasi Z, generasi milenial, atau apalah sebutannya.
Mereka bangkit dengan teks-teks mengejutkan. Segar, kocak, satiris, tajam. Kuasa kata dalam domain baru kebudayaan yakni budaya digital, seperti wahyu, telah menentukan diri jatuh kepada yang berhak. Generasi yang punya kebiasaan mencium tangan orang yang lebih tua ini pamit bergerak.
Lebih dari 200 tahun lalu setelah Abad Pencerahan meletus Revolusi Prancis. Terjadi transformasi dari feodalisme, aristokrasi, dan monarki ke prinsip-prinsip baru yang lebih egaliter, menyejajarkan hak semua warga, terkenal dengan istilah liberte, egalite, fraternite (kebebasan, persamaan, persaudaraan). Hari-hari tidak lagi menjadi seperti hari-hari sebelumnya.
Selanjutnya sejarah mencatat bagaimana perkembangan dan kebaruan teknologi selalu membawa disrupsi sosial. Revolusi Industri membawa gelombang modernisme yang bersemangat pembebasan. Terdapat andil besar penemuan mesin cetak Gutenberg yang menjadikan intelektualitas merata, asal orang tidak buta huruf dan tidak malas baca.
Tumbuh bersama semangat, pemikiran, dan teknologi zamannya, tiap generasi memiliki karakter berbeda-beda. Hingga saat ini masih bergentayangan generasi yang neuron otaknya dibentuk oleh krida otak olahan media cetak. Nasionalisme mereka, seperti diteorikan Ben Anderson, terbentuk oleh media cetak yang kemudian membuat mereka memiliki imajinasi berbangsa.
Tak ada anak muda yang tidak memberontak. Para ahli psikologi perkembangan tolong jelaskan ini pada para orangtua, komisi-komisi yang berurusan dengan anak, serta penguasa. Tiap generasi diberkati dan dikutuk oleh tugas dan panggilan zaman masing-masing. Generasi masa kini jangan dengarkan nasihat generasi sebelumnya. Kata-kata bijak umumnya merupakan produk teologi orang kalah.
Generasi baby boomers, lapisan paling uzur dari generasi-generasi yang ada sekarang, juga mengabaikan apa kata orang tua dan para pemimpin pada zamannya. Mereka melanggar tabu dengan semboyan make love not war. Dewa mereka Bob Dylan, Simon and Garfunkel, The Doors. Bacaan mereka Ezra Pound, Theodore Roszak, tak ketinggalan Marshall McLuhan yang ramalannya terbukti benar bahwa dunia bakal terhubung dan menjadi desa besar atau global village.
Abaikan generasi itu. Pemilik zaman ini adalah generasi yang mampu mengatasi superioritas teknologi digital, bukan sekadar menjadi pecandu dan konsumen. Bukti telah ada. Gadis remaja dari Swedia, Greta Thunberg, menyerukan sesuatu yang tak dipikirkan oleh para kepala negara yang hadir dalam Sidang Umum PBB di New York, juga kepala negara yang tak pernah hadir.
Bangun pada pagi bulan September tahun ini sebenarnya terasa hampa, tumben tak begitu terdengar isu kebangkitan PKI. Mesin penguasa agaknya tengah memproduksi dan mereproduksi ancaman-ancaman lain melalui para buzzer-nya. Untuk mengendalikan gerakan perlawanan, penguasa perlu menciptakan musuh bayangan.
Untung kehampaan seketika terisi dengan kesegaran teks-teks mahasiswa dalam menyikapi kondisi masa kini. Mereka menggugat DPR. Mereka menyatakan diri tak hendak melengserkan Presiden Jokowi.
Saya suka itu. Sesuai dengan amanat konstitusi, Jokowi harus tetap Presiden. Menurut pandangan saya, Pak Jokowi hanya perlu membaca tidak saja surat-surat yang harus ditandangani, tetapi juga Robespierre, Montesquieu, Adorno, Fukuyama, ditambah para pemikir pada era post truth.
Dalam historisisme, orang baik dan tidak baik tidaklah begitu penting. Nasib kita sama-sama ditentukan sebagian oleh sejarah. Mereka yang tidak paham sejarah akan digilas oleh sejarah. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar