Ada dua hal menarik terjadi pada pelantikan presiden/wapres RI 20 Oktober 2019. Pertama, sebelum pelantikan, Ketua MPR mengingatkan bahaya yang dapat timbul jika negara kuat, namun kekuatan masyarakat sipilnya lemah.
Kedua, dalam pidato pelantikannya, Jokowi menyatakan kita harus jadi negara maju dan lima besar ekonomi dunia di 2045. Untuk itu, menurutnya, tugas dan pekerjaan utama birokrasi dan aparatur negara bukan sekadar membuat dan melaksanakan kebijakan. Mereka juga harus bisa pastikan rakyat benar-benar merasakan dan menikmati hasilnya.

Ada satu benang merah dari penyataan kedua pemimpin lembaga negara itu. Keduanya menyiratkan satu hal yang sama. Kita butuh negara kuat agar bisa masuk dalam papan atas ekonomi dunia. Namun negara yang kuat saja tak cukup. Kita juga butuh negara demokratis yang mampu menyejahterakan kehidupan rakyat kita.
Pasca-reformasi, kita menganut dan mengembangan sistem politik demokrasi. Lima periode pemilu cukup demokratis telah kita lewati. Prasyarat dan kondisi untuk menghadirkan negara demokrasi, juga terus kita kembangkan. Namun, sejumlah kalangan masih khawatir keriuhan demokrasi bisa membahayakan keutuhan dan sustainabilitas NKRI. Kompetisi dan polarisasi politik saat dan pasca-pemilu dikhawatirkan bisa menyebabkan kemampuan dan kegesitan negara bersaing di kompetisi global jadi tak maksimal.
Kekhawatiran itu masuk akal. Sebab, kita sebuah negara-bangsa dengan keragaman luar biasa, baik dari sisi geografis, etnis, agama maupun kelas sosial. Dalam sistem demokrasi, para pengemudi negara kita tentu tak bisa lagi semena-mena melakukan tindak kekerasan atas nama penyatuan keragaman itu. Namun, eksistensi negara juga bisa terancam jika keragaman itu terus memicu beragam konflik dan pembelahan.
Negara merupakan entitas politik sentral yang bisa memengaruhi dan menentukan beragam dimensi kehidupan kita. Karena itu, negara yang dikelola tanpa prinsip-prinsip demokrasi bisa menyengsarakan rakyatnya. Namun, kita juga akan sulit membangun tatanan masyarakat demokratis, tanpa kehadiran dan sustainabilitas negara.
Keterkaitan erat antara negara dan demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Dasar konstitusi sebuah negara akan sangat menentukan format sistem demokrasi yang dianut dan sejauh mana negara mampu mewujudkan nilai-nilai demokrasi. Sebaliknya, model sistem demokrasi dan proses demokratisasi yang berkembang di sebuah negara juga akan sangat menentukan watak, perkembangan dan sustainabilitas negara itu.
Fondasi kapasitas negara
Negara memiliki sejumlah bentuk kapasitas. Tiga diantaranya kapasitas untuk memaksa (coercive capacity), kapasitas administratif (administrative capacity) dan kapasitas ekstraktif (extractive capacity) (Hanson and Sigman, 2013; Lindvall and Teorell, 2016; Gomide et al, 2018).  Pola dan model pengelolaan tiga jenis kapasitas yang dijalankan aktor-aktor politik yang mengendalikan dan mengemudikan lembaga negara itu akan sangat menentukan watak rezim politik negara: cenderung demokratis atau sebaliknya otoriter (Andersen et al, 2014).
Di negara semi atau non-demokratis, ketiga jenis kapasitas ini sering dieksploitasi secara koruptif dan kolutif oleh mereka yang menguasai lembaga negara. Di negara demokratis sekalipun, potensi itu juga bisa saja terjadi. Demokratis tidaknya sebuah negara, kuncinya ada pada kecenderung para elite politik di lembaga-lembaga negara dalam mengelola tiga jenis kapasitas itu.
Teori kapasitas negara (theory of state capacity) yang diformulasikan Lindvall dan Teorell mengindikasikan, para pemimpin lembaga negara dan aparatus birokrasi negara adalah aktor kunci penentu sejauh mana outcomes yang diinginkan rakyat bisa diwujudkan.
Kita bisa memiliki negara yang kuat sekaligus sistem demokrasi yang tangguh dan sustainable melalui tiga hal berikut. Pertama, memastikan proses penguatan (kapasitas) negara oleh elite dilakukan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Kedua, memastikan proses formulasi instrumen kebijakan negara, termasuk regulasi dan pengelolaan ragam sumber daya negara yang mereka jalankan benar-benar dilakukan secara transparan dan akuntabel. Ketiga, memastikan mereka benar-benar men-deliver produk-produk politik yang secara nyata memberikan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara menyeluruh, bukan untuk sebagian elite saja.
(Nyarwi Ahmad ; Pengajar Departemen Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM)