Krisis Papua yang dipicu oleh ujaran rasialisme yang baru saja terjadi  telah menambah daftar panjang kegagalan negara mengelola keberagaman bangsa.
Dikotomi mayoritas-minoritas, inferior-superior melembaga dengan kuat dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Atribut ras, etnis, agama dan orientasi seksual sebagai suatu ‘identitas’ sudah ‘dimanipulasi’ sebagai pemicu konflik yang melemahkan kohesi masyarakat. Seperti contohnya krisis di Wamena yang terjadi 23 September lalu, sudah membangkitkan sentimen etnis dan agama. Kerusuhan menewaskan 33 orang dan mengakibatkan eksodus ribuan pendatang ke Jayapura dipicu oleh berita penghinaan berbau rasialis seorang guru pendatang kepada muridnya yang orang asli Papua (OAP). Aksi rasialisme ini memicu kemarahan OAP dan mengakibatkan kerusuhan, pembunuhan terhadap warga pendatang dan perusakan rumah dan fasilitas umum; suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan dari aspek hukum dan kemanusiaan.
Konflik dan kesenjangan
Krisis di Wamena  dapat dimaknai melalui berbagai sudut analisis. Pertama, kerusuhan tersebut dinarasikan publik secara sederhana sebagai sebuah konflik antara OAP dengan pendatang. Pemicunya karena kesenjangan dan marginalisasi OAP selama ini. Narasi ini secara tidak langsung melanggengkan stigma bernuansa rasialis bahwa OAP identik dengan kejahatan dan kekerasan. Kedua, dari narasi tersebut, pemerintah berusaha membuat konter-narasi. Pemerintah membantah analisis di atas dan mengatakan hubungan antara pendatang dengan OAP tidak ada masalah dan tetap harmonis. Hal ini bisa dibenarkan karena dari berita yang berkembang banyak kasus di mana OAP justru yang melindungi dan menyelamatkan para pendatang dari amuk masa. Pemerintah justru menuduh  OPM dan kelompok Benny Wenda sebagai aktor kerusuhan di Wamena ini.
Analisis pemerintah yang hanya mengandalkan ‘satu variabel’ untuk menjelaskan suatu fenomena krisis di Papua yang sangat kompleks cenderung tidak memadai dan justru melupakan akar masalah sebagai pemicu dari krisis itu yaitu ada masalah ketidakadilan. Masalah di Papua harus dipahami dari kaca-mata orang Papua sendiri dan bukan direpresentasikan orang luar. Perlu proses belajar untuk berempati terhadap pengalaman hidup orang Papua yang hidup di tanah kelahirannya sendiri dalam kondisi miskin, tidak berdaya, dihina, dan melihat orang lain ‘lebih berhasil’ secara sosial ekonomi. Dalam konteks migrasi, memang benar peran pendatang penting untuk membangun ekonomi di Papua tetapi pertanyaannya seberapa ‘terintegrasinya’ OAP dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi dalam roda ekonomi yang digerakkan oleh para pendatang tersebut? Bisa jadi OAP hanya sebagai ‘penonton’ dan kemampuannya sebagai pembeli pun juga terbatas.
Rasialisme kembali bermain dalam konteks ekonomi yang memarginalkan OAP. Stigma bahwa OAP malas, tidak bisa mengatur uang dan masa depan, kurang cakap dan tidak disiplin bisa jadi menjadi faktor utama dari keengganan pendatang mempekerjakan OAP tersebut. Ironisnya, ‘segregasi karena stigma rasialis’ ini cenderung dibiarkan. Kurang ada upaya yang maksimal untuk mengintegrasikan OAP dalam kegiatan sosial ekonomi di tanah kelahirannya sendiri. Ketertinggalan OAP dianggap suatu hal yang ‘given’. Padahal, sumber ketertinggalan OAP khususnya yang tinggal di daerah pegunungan disebabkan oleh multi faktor: isolasi wilayah sehingga mereka tidak mempunyai akses ke sarana pendidikan berkualitas; akses ke listrik dan internet sebagai sumber informasi juga terbatas; interaksi dengan orang di luar daerah mereka sendiri sebagai sarana tukar informasi dan pengalaman tidak maksimal dan sebagai akibat dari kemiskinan akses kepada makanan bergizi untuk membangun kognitif mereka juga terbatas.
Narasi rasialisme
Secara garis besar, rasialisme di Papua memang suatu hal yang pelik. Rasialisme dan stigmatisasi bukan saja jadi domain antara pendatang dengan OAP tetapi juga antara sesama OAP (pegunungan dengan pantai).  Dari studi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), diketahui bahwa orang gunung menstigmakan orang pantai ‘menjual Papua’ demi kepentingannya sendiri dan tidak setia pada perjuangan meraih referendum. Di sisi lain orang pantai merasa lebih pintar daripada orang gunung.
Sejarah kolonialisme banyak  berperan untuk mengkonstruksikan  OAP sebagai ‘liyan’ (others). Orang asli Papua terstratifikasi dalam lapisan masyarakat yang bawah. Stigmatisasi bernuansa rasialis bahwa OAP digeneralisasi sebagai penggemar minuman keras sebagai salah satu contoh, bisa dirunut dari zaman kolonialisme ini. Dari studi CSIS,  motif kolonial untuk memperkenalkan alkohol pada penduduk lokal adalah sebagai upaya agar OAP tidak banyak menuntut dan berontak. Kebiasaan minum OAP berlangsung sampai sekarang telah diturunkan antar generasi melihat fungsi adiktif dari alkohol tetapi ada juga alasan lain. Seorang informan mengatakan lari ke alkohol sebagai bentuk kaget budaya. Contohnya, orang pegunungan yang turun ke perkotaan tidak bisa adaptasi dengan kehidupan di kota tersebut dan sulit berkompetisi dalam masa transisi dalam ‘perbedaan peradaban’ ini. Orang menjadi pemabuk karena frustasi.
Melihat fakta di atas, perlu investigasi yang kritis dan mendalam untuk melihat akar suatu masalah sebelum melakukan suatu stigmatisasi rasialis. Penilaian yang keliru akhirnya  berdampak pada proses penyingkiran OAP di tengah kelompok etnis lainnya karena dianggap memiliki suatu perilaku atau kebiasaan yang dinilai ‘menyimpang’. Ironisnya rasialisme di Papua tumbuh subur karena prasangka negatif ini cenderung menjadi suatu hal yang dipercaya secara absolut tanpa melakukan sesuatu pembuktian.
Hierarki sosial
Rasialisme OAP juga terkait dengan aspek perbedaan secara fisik (rambut keriting dan kulit hitam) sehingga mereka cenderung diposisikan dalam hierarki sosial yang rendah. Secara teoretis, hierarki terkait dengan kepentingan kelas (class), atau dalam hal ini etnis tertentu, baik secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Perbedaan fisik semata tidak seharusnya menghasilkan suatu aksi yang memarginalkan etnis lain. Hierarki di masyarakat yang dikonstruksikan berdasarkan atribut kelas dan etnis sarat dengan kepentingan, kompetisi, dan ancaman.
Keengganan mempekerjakan OAP dalam roda ekonomi di Papua bila dikontekstualisasikan secara teoretis selain karena prasangka negatif ada tujuan mempertahankan kepentingan kelompok sendiri (in-group) dan kelompok lain dianggap sebagai sebuah ancaman. Allport (dalam Diler, 2007) mengatakan ‘kita cenderung menghargai eksistensi diri kita sendiri dan menyerang kelompok lain yang dianggap sebagai ancaman’. Di sini ras atau rasialisme ‘ibarat sebuah ‘topeng’ yang menyembunyikan  makna sesungguhnya dari suatu hubungan ekonomi, politik dan sosial (Miles, dalam Solomos dan Black, 1996). Perbedaan fisik dan prasangka  negatif itu cenderung dipergunakan untuk pertahankan segregasi antar etnis tersebut.
Harus diakui bahwa upaya menghilangkan rasialisme di Papua bukan suatu hal yang mudah. Rasialisme di Papua telah mengalami proses transformasi, dari suatu positioning yang memarginalkan OAP di mana ‘menjadi beda’ merupakan suatu alat dan strategi perjuangan meraih ‘kebebasan’. OAP tidak lagi merasa menjadi korban yang pasif.
Solusinya, persoalan di Papua baik dalam aspek ekonomi, politik dan hak asasi manusia (HAM) tetap menjadi hal yang mendesak (urgent) untuk diselesaikan. Selain itu, media perlu membantu untuk membentuk narasi positif tentang OAP  serta memperkenalkan budaya Papua ke wilayah lain di Indonesia dan di luar negeri. Perlu juga terobosan lebih giat untuk menempatkan OAP di lapangan kerja di ruang publik di luar tanah Papua, seperti menjadi pramugari, pemain sinetron, pembaca berita, dan model. Terakhir, kebijakan afirmatif yang ‘membela’ kepentingan OAP serta upaya menciptakan ruang interaksi lintas etnis dan agama perlu terus digalakkan dengan semangat keadilan, kesetaraan dan keberagaman.

Vidhyandika D Perkasa ; Ketua Department Politik dan Perubahan Sosial, Centre for Strategic and International Studies (CSIS)