Katanya, anak kedua itu adalah anak yang pandai, berani, dan sayang sama orangtua. Benarkah demikian adanya?
Berani dan pandai
Pernyataan di atas itu keluar dari mulut teman saya, seorang ibu dengan dua anak. Katanya, anaknya yang kedua itu pemberani, pandai luar biasa, dan sayang sama orangtua. Anda masih ingat tulisan saya beberapa minggu lalu mengenai kakak beradik yang berbeda perangainya?
Nah, anak kedua dalam tulisan saya yang lalu itu juga seorang bayi perempuan yang berani. Bahkan, belum lama ini ibunya berbicara dengan saya bahwa anak keduanya yang berusia tiga bulan itu kalau marah mengepalkan tangannya dan memukul-mukul seperti petinju.
Cerita di atas itu menginspirasi saya untuk menyemangati diri sendiri di tengah perjalanan tahun 2019 yang buat saya penuh tantangan. Sejujurnya tulisan ini dibuat saat saya sudah hampir menyerah. Saya sempat bersuara lirih dan memohon kepada Yang Mahakuasa agar diberi kesempatan untuk rehat sejenak dari masalah yang bertubi-tubi datangnya.
Di tengah kelelahan dan kekesalan itu, saya teringat dengan percakapan teman saya di atas soal anak kedua. Percakapan itu terjadi di suatu siang, saat kami sedang menyantap serabi dengan kuah coklatnya yang manis.
Saya lahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Seingat saya, saya bukan orang pemberani. Saya sangat tertekan karena teman-teman saya merisak dan saya tak berani melawan. Jadi, kalau sekarang isu perisakan banyak diberitakan, saya bisa merasakan itu.
Sampai hari ini, saya selalu berkhayal, seperti apa sih rasanya menjadi anak yang ”pemberani” itu. Berani merisak tanpa merasa bersalah. Berani mempertontonkan hati yang begitu tega melihat orang disengsarakan oleh perbuatannya. Berani berkelahi. Berani menantangi siapa saja. Berani melanjutkan hidup tanpa rasa bersalah melihat korbannya gantung diri dan merasa layak melakukan itu semua. Berani melawan orangtua, bahkan menampar ibunya seperti yang saya lihat dalam sebuah unggahan video di media sosial.
Kalau bicara soal pandai yang katanya salah satu sifat anak kedua, saya jauh dari pandai. Untuk soal ini, saya tak mau menuliskan lagi. Saya percaya, kebodohan saya sudah saya tuliskan beberapa kali selama hampir 15 tahun saya mengisi kolom ini, dan saya percaya Anda akan bosan membacanya. Nurani saya langsung nyeletuk. ”Bodoh itu memang bukan untuk diumbar. Malu sama otak, say.”
Tidak tahu diri
Maka, sama seperti sifat pemberani yang tak saya miliki, saya juga sering berkhayal, apa rasanya jadi orang yang pandai. Bisa punya indeks prestasi sampai 4,0, bisa berbahasa sampai enam bahasa asing, bisa menjadi ahli keuangan yang hebat banget, yang pada usia sangat muda menjadi menteri, menjadi wakil rakyat dengan kekayaan miliaran. Saya jauh dari itu semua. Seperti jauhnya timur dari barat.
Katanya juga, anak kedua paling sayang sama orangtua. Nah, untuk hal yang satu ini seharusnya ditanyakan kepada orangtua saya. Mereka yang pantasnya menjawab, namun sayangnya keduanya sudah meninggal dunia. Tetapi, kalau dari saya yang menilai dengan standar penilaian yang saya buat, saya sama sekali tidak layak disebut sebagai anak yang sayang kepada orangtua.
Sayang menurut standar saya adalah anak yang bisa memberikan orangtuanya rumah yang besar, bukan dengan uang haram. Anak yang mampu membuat orangtuanya bangga bisa menjadi presiden. Anak yang perjalanan hidupnya tidak mempermalukan orangtuanya.
Anak yang bisa menyenangkan orangtuanya dengan menikah hanya untuk membahagiakan mereka meski dirinya sendiri tak bahagia sama sekali dengan pernikahan itu. Anak yang mampu membelikan orangtuanya mobil mewah, yang membiayai jalan-jalan mereka melihat dunia, yang memeriksakan kesehatan orangtuanya di rumah sakit dengan dokter terbaik dan termahal, dan mampu menguburkan orangtuanya di pemakaman masyarakat kaya raya.
Nah, saya itu jauh dari yang disebut sayang dengan orangtua. Bapak dan ibu saya meninggal dunia saja hanya dibakar dan dibuang ke laut. Saya tak punya uang untuk membelikan mereka rumah besar selagi mereka hidup.
Saya tak mampu membiayai mereka di rumah sakit terbaik dan termahal. Bahkan, waktu ayah saya meninggal di Malaysia, semua biaya pengobatan dan tetek bengeknya ditanggung dari hasil kekayaan yang ia hasilkan selama ia hidup. Sebagai anak, saya itu cuma memoroti mereka selagi mereka hidup.
Bayangkan, sebagai anak kedua, saya itu jauh dari apa yang disebutkan teman saya di atas. Saya bukan anak pemberani, bukan anak pandai, bukan anak yang sayang dengan orangtuanya.
Sejujurnya, inilah tulisan yang pertama kali membuat saya berpikir, kasihan banget yang jadi orangtua saya itu punya anak seperti saya. Saya berharap semoga mereka tenang di alam baka, seperti anaknya merasa tenang dilahirkan sebagai anak yang tidak pandai, tidak berani, dan tidak sayang. ”Dasar anak tak tahu diri.” Itu nurani saya yang bawel yang berkomentar. ***