Pasca-Pemilu 2019, dua parpol sudah menyelenggarakan kongres atau muktamar. PDI-P menyelenggarakan kongres pada 8-11 Agustus 2019 dan Partai Kebangkitan Bangsa pada 20-21 Agustus 2019.
Megawati Soekarnoputri yang telah memimpin PDI-P selama 20 tahun lebih kembali terpilih menjadi Ketua Umum PDI-P. Begitu pula Muhaimin Iskandar yang telah 10 tahun lebih memimpin PKB kembali terpilih.
Kedua tokoh terpilih secara aklamasi melalui kongres/muktamar yang diselenggarakan di Bali. Setelah PDI-P dan PKB, beberapa partai akan menggelar hajatan serupa akhir 2019 dan di 2020 nanti.
Saat ini kita sudah memasuki 20 tahun reformasi. Waktu yang panjang untuk melakukan pelembagaan parpol dan pembentukan demokrasi internal yang mapan.

Namun, dalam 10 tahun terakhir, kita menghadapi situasi rumit. Parpol bukannya kian membaik, melainkan terjebak situasi memprihatinkan: rendahnya tingkat kepercayaan publik ke partai, tingginya korupsi yang melibatkan kader, menguatnya kepemimpinan tunggal dan terpusat, kemandekan regenerasi, dan kaderisasi internal.
Tulisan ini menyoroti dua persoalan utama parpol. Pertama, dari sisi organisasi, tak tumbuhnya demokratisasi internal dan nihilnya kompetisi politik yang teratur dan sehat pada beberapa partai. Kedua, munculnya kepemimpinan partai yang bertumpu pada figur tunggal dan terpusat yang menghilangkan partisipasi anggota.
Dua gejala ini dapat memperlemah bangunan demokrasi kita karena kompetisi dan partisipasi tak bisa dipisahkan dari penguatan demokrasi.
Problem organisasi
Demokrasi internal parpol dapat dilihat dari mekanisme seleksi dan partisipasi dalam proses kandidasi politik (Rahat dan Hazan, 2001). Semakin banyak keterlibatan anggota dalam proses pengambilan kebijakan dan kian terdesentralisasi proses kandidasi menunjukkan kian demokratis sebuah partai politik.
Perilaku partai akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan kurang demokratis. Proses seleksi kepemimpinan internal terjadi secara tertutup tak ada partisipasi anggota dalam menentukan kebijakan partai.
Matinya demokrasi internal partai juga terlihat dari nihilnya kompetisi politik dalam mengisi jabatan-jabatan di internal. Pada beberapa partai, ada tren pemilihan ketua umum berdasarkan aklamasi. Pada saat yang sama, pimpinan partai di pusat juga sering kali mengintervensi pemilihan di tingkat wilayah atau menunjuk secara langsung pimpinan partai di daerah tanpa ada kontestasi di antara kader.
Secara ideal, kompetisi adalah metode untuk menempa kualitas kader partai. Apabila kompetisi hilang, partai akan kehilangan rohnya. Kompetisi dan dinamika internal penting untuk melatih kepiawaian dan kemampuan kader dalam melakukan negosiasi dan membangun jejaring politik.
Kader yang dibesarkan dalam suasana kompetisi dapat survive dalam setiap kompetisi politik di eksternal. Kompetisi juga dapat meningkatkan kualitas kepemimpinan kader sehingga partai punya stok calon pemimpin yang banyak. Dari sisi kandidasi untuk pencalonan kepala daerah, kompetisi memaksa partai mencari orang-orang terbaik dari internal untuk dicalonkan dalam pemilu/pilkada.
Masalah organisasi lainnya adalah mandeknya regenerasi dan sirkulasi elite karena keengganan elite status quo membuka ruang kompetisi dan berusaha mempertahankan posisi politiknya. Ini terjadi karena tak adanya kelompok pengontrol (faksi) sehingga kekuatan politik jadi tak seimbang. Di beberapa partai, faksi-faksi politik sengaja dimatikan untuk menciptakan kepemimpinan tunggal.
Keberadaan faksi yang terlembaga dibutuhkan agar tak muncul kepemimpinan tunggal yang otoriter. Faksi dapat membuat kompetisi lebih terbuka dan sehat. Di beberapa negara, faksi di internal partai sudah terlembaga baik, seperti Correnti pada Partai Kristen Demokrat (DC) di Italia dan Partai Liberal Demokrat (LDP) di Jepang yang punya lima faksi besar dan sudah terlembaga sejak 1955.
Keberadaan faksi membuat adanya insentif politik yang didapatkan dari jejaring politik di internal. Cox (2000) menyebut anggota dari faksi dapat tiga keuntungan ketika jadi anggota: endorsement partai dalam pencalonan, dukungan finansial, dan pengisian jabatan di partai dan pemerintahan. Studi Persico, dkk (2011) menunjukkan faksi-faksi yang sudah terlembaga, seperti di Italia dan Jepang, punya pengaruh dalam alokasi pendanaan dalam kampanye.
Problem kepemimpinan
Dari sisi kepemimpinan, ada potensi buruk yang tampak dalam beberapa hal, yaitu kepemimpinan yang cenderung terpusat pada satu figur dan bertumpu pada dinasti politik. Beberapa partai juga menunjukkan tak ada regenerasi dan suksesi kepemimpinan secara reguler.
Beberapa partai bahkan dipimpin ketua partai yang bertahan untuk jangka panjang, tanpa ada regenerasi di tingkat pusat. Di partai-partai yang bercorak kepemimpinan tunggal, pengambilan kebijakan sering kali hanya jadi domain satu atau beberapa orang.
Situasi kepemimpinan tunggal menjadi faktor utama mandeknya regenerasi internal. Kepemimpinan tunggal ini bertahan karena beberapa situasi. Pertama, besarnya kewenangan politik yang dimiliki ketua partai dalam penentuan jabatan, posisi, dan distribusi finansial ke elite partai.
Besarnya kewenangan, misalnya, tampak dalam pemberian rekomendasi dalam pilkada yang harus ditandatangani ketua dan sekjen partai, penentuan dapil dan nomor urut caleg, penentuan anggota komisi dan alat kelengkapan DPR, penentuan pimpinan legislatif, dan kewenangan lain seperti dapat melakukan pergantian antarwaktu bagi anggota DPR yang dianggap bisa membahayakan kepemimpinan status quo.
Kewenangan dalam kandidasi yang berpusat pada satu orang itu membuat posisi ketua partai jadi kuat karena tak ada kekuatan penyeimbang melalui faksi di internal partai. Dalam kondisi itu, para elite partai lebih memilih menjadi bagian dari loyalis sang ketua daripada membangun front.
Dari sisi regulasi, tak adanya pembatasan kewenangan ketua partai dalam proses kandidasi membuat tak ada yang berani berseberangan dengan ketua partai. Kewenangan kian besar jika ketua umum ditetapkan sebagai formatur tunggal dalam penentuan struktur kepengurusan partai dan kebijakan strategis lainnya.
Kedua, ketua partai biasanya bertahan lama jika ia menguasai jejaring pendanaan internal, seperti akses dan relasi dengan banyak donasi politik dari luar (private donors) atau menjadi donatur tunggal partai. Di partai dengan tipikal kepemimpinan sentral, alokasi dana kampanye menjelang pemilu dikuasai ketua partai. Pemberian dana hanya disalurkan kepada mereka yang dianggap menjadi bagian dari lingkaran dalam sang ketua partai.
Ketiga, ketua partai juga bisa bertahan jika tak ada faksi politik internal. Ketua menjadi jangkar semua kekuatan politik. Partai yang secara reguler berhasil melakukan suksesi kepemimpinan di pusat biasanya adalah tipikal partai yang mempunyai faksi politik dengan kekuatan yang merata dan menyebar, seperti Partai Golkar.
Perubahan
Partai politik yang harusnya menjadi lokomotif demokrasi justru akhir-akhir ini menghadapi problem internal yang mencemaskan. Dengan segala kewenangan yang dimiliki partai dalam melakukan kandidasi politik dan menjadi sumber utama perekrutan politik, harus ada usaha keras melalui regulasi untuk membenahi manajemen pembuatan keputusan di partai politik.
Ada beberapa usulan untuk penguatan parpol dalam revisi UU partai ke depan. Pertama, perlu ada periodisasi jabatan ketua partai di semua level untuk memastikan terjadinya regenerasi dan sirkulasi kepemimpinan partai. Ini agar selaras dengan sistem presidensial kita, di mana ada pembatasan jabatan presiden untuk dua periode.
Kedua, perlu diatur mengenai pembatasan kewenangan ketua umum partai dalam melakukan kandidasi internal seperti mencalonkan presiden-wakil presiden, DPR, dan kepala daerah dengan membuat komite seleksi yang berasal dari pengurus partai atau pada tahap yang lebih tinggi melibatkan partisipasi pengurus dan anggota dalam pencalonan, serta memberikan kewenangan daerah dalam menentukan calon kepala daerah dan legislatif lokal.
Pembatasan kewenangan ketua umum partai bertujuan menumbuhkan demokrasi internal dan partisipasi anggota dalam pembuatan kebijakan strategis partai.
Ketiga, perlu peningkatan dana subsidi negara bagi parpol agar parpol lebih mandiri dan tak bergantung donor tunggal di partai atau bergantung pada jaringan ketua partai dengan donor luar. Tentu tak mudah membuat perubahan penting yang dapat mengganggu kenyamanan politik para elite status quo.
Mengharapkan partai berubah secara internal melalui perubahan AD/ART partai sepertinya sulit. Perubahan harus didorong melalui revisi UU partai dan dorongan besar dari publik, media, dan masyarakat madani (civil society), serta inovator internal partai.
Arya FernandesPeneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS