Pemikiran Principal-Agent dalam Teori Ekonomi Kelembagaan Baru memberikan saran bahwa efektivitas program dapat dikontrol dengan monitoring yang cukup melalui struktur hierarkis kelembagaan.
Dalam hal ini, Presiden Jokowi membutuhkan alat kelembagaan kepresidenan sekaligus sebagai think-tank untuk memastikan program layanan publik dan program-program strategis yang sesuai visi/misinya dilaksanakan oleh lembaga eksekutif dan sampai ke sasaran sebaik-baiknya.
Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Jenderal (Purn) Moeldoko, belum lama ini menyatakan KSP akan dibubarkan pada 19 Oktober 2019, sehari menjelang pelantikan Presiden Jokowi untuk periode kedua (2019-2024). Selanjutnya, akan dibentuk lembaga kepresidenan baru dengan fungsi ’tambahan’ sebagai delivery unit dengan kemungkinan perubahan nama lembaga.
KSP dibentuk berdasar Perpres No 26/2015 untuk gantikan Unit Kerja Presiden-Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP atau UKP4) yang dibentuk pada era SBY dalam rangka pengawasan dan pengendalian pembangunan dan penanganan isu-isu strategis.
Secara sederhana delivery unit diartikan sebagai sekelompok kecil personel berdedikasi tinggi yang secara eksklusif fokus pada pencapaian dampak yang dikehendaki dan perbaikan outcome program. Unit deliveryperdana menteri (Prime Minister’s Delivery Unit/PMDU) dibentuk di Inggris oleh PM Tony Blair tahun 2001 yang ditugasi mengawal/mengamankan/memastikan implementasi dan penyampaian sasaran (delivery) prioritas kebijakan pemerintah.
PMDU ditempatkan di kantor PM untuk menyediakan dukungan dan ketelitian (scrutiny) dalam penyusunan prioritas tertinggi pemerintah terkait skema public services agreement (PSA). Tujuan keseluruhan PMDU adalah mengubah secara fundamental praktik penyampaian program pada empat departemen: Dalam Negeri, Kesehatan, Pendidikan, dan Transportasi sehingga sesuai prioritas pemerintah di 17 PSA.
Hasilnya, pada 2005 sebagian besar prioritas kebijakan domestik Blair, yang merentang dari perbaikan jaminan kesehatan, reduksi tingkat kejahatan hingga perbaikan layanan kereta api, telah tersampaikan (ke sasaran) atau berjalan pada arah yang benar. Suksesnya PMDU di Inggris mendorong pembentukan lembaga serupa di seluruh dunia.
Tahun 2009, Malaysia membentuk Performance Management and Delivery Unit (Pemandu) untuk kawal agenda perubahan dan memastikan program transformasi nasional dilaksanakan dan sampai ke sasaran dengan sukses. Pemandu fokus pada bidang kunci terkait reformasi layanan umum dan ekonomi dan telah memberikan dampak positif pada sejumlah isu, seperti pencegahan kriminalitas, penurunan level korupsi, dan perbaikan infrastruktur perdesaan.
Pemandu juga ditugasi memimpin dua program: Government Transformation Programme (GTP) dan Economic Transformation Programme (ETP) yang menekankan upaya menjadikan Malaysia negara maju berpendapatan tinggi 2020. Pada tahun yang sama (2009), Presiden SBY juga membentuk delivery unit yang diberi nama UKP-PPP.
Kompleksitas pembangunan
Membangun pada era otonomi daerah, demokrasi, dan digital ini tak lagi semudah membangun pada era Orde Baru yang ketika itu sentralistik dan otoriter. Urusan pembebasan lahan saja, baik untuk infrastruktur publik atau investasi swasta, kini penuntasannya bisa makan waktu berbulan-bulan atau tahunan. Belum lagi soal perizinan, gangguan keamanan, bencana lingkungan, dan lainnya. Hal ini butuh manajemen konstruksi yang tepat pada skala makro sehingga program-program strategis nasional tidak terhambat pelaksanaannya.
Bukan hal mudah mengontrol perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di 74.957 desa, 416 kabupaten, 98 kota, 34 provinsi, dan seluruh kementerian/lembaga negara. Siapa yang akan ’melerai’ jika terjadi benturan kepentingan antar-kementerian, dan antara pusat dan daerah. Pada masa pemerintahan SBY, Menteri Kehutanan pernah berkonflik dengan Gubernur Papua.
Implementasi UU No 6/2014 tentang Desa, misalnya, mendorong pembentukan BUMDesa di setiap desa. Namun, ketika bentuk badan hukum dari BUMDesa menjadi koperasi, misalnya, ada kemungkinan benturan kepentingan antara Kementerian Desa dan Kementerian UKM dan Koperasi. Ini hanya satu contoh kemungkinan.
Sinkronisasi antara pembangunan desa, kabupaten/kota, provinsi, dan pusat dalam rangka pelaksanaan visi/misi presiden membutuhkan pengawalan dan pencermatan. Visi presiden tentang konektivitas, misalnya, yakni dengan membangun jaringan jalan nasional, jalan perbatasan, bandar udara internasional, dan pelabuhan-pelabuhan utama, perlu konsistensi dan kekerkaitan dengan pembangunan konektivitas pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan desa.
Terkait konektivitas ini, perlu dipastikan sejauh mana layanan transportasi publik di daerah perkotaan dan perdesaan.
Tempo hari terdapat keluhan masyarakat, jalan perbatasan RI-Malaysia pada ruas Simpang Silat-Nanga Silat di Kecamatan Silat Hilir, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, rusak berat. Hal ni dapat menjadi test case yang lain apakah pembangunan jalan perbatasan telah ter-delivery dengan sebaik-baiknya.
Masih banyak program dan pemanfaatan dana APBN yang perlu dipastikan delivery-nya, termasuk pemanfaatan dana transfer khusus daerah dan dana desa (TKDD) dan DBH (DAU dan DAK) dari pusat ke daerah hingga ke masyarakat penerima manfaat. Sebut saja dana desa dan dana otsus (Aceh dan Papua/Papua Barat).
Menjadi pertanyaan besar jika dana otsus yang sedemikian besarnya belum mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat di tiga provinsi tersebut. Demikian pula masih banyak desa yang warga miskinnya tidak tersentuh oleh dana desa.
Agenda penting lainnya, kemungkinan revisi Perpres No 3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional beserta daftar panjang (long list) program/proyek strategis yang baru dan delivery-nya, rencana ibu kota baru, evaluasi outcome anggaran pendidikan 20 persen APBN, Program Keluarga Harapan (PKH), BPJS dan lainnya.
Kiranya segenap tugas besar telah menanti tim khusus delivery unit Presiden.
(Wihana Kirana Jaya, Guru Besar FEB UGM dan Staf Khusus Menteri Perhubungan)