Pada 19 September 2019, selain menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) (0,25 persen) menjadi 5,25 persen, Bank Indonesia (BI) juga merelaksasi aturan tentang Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Caranya, dengan melonggarkan rasio pinjaman terhadap aset (loan to value/LTV atau financing to value/FTV) properti dan kendaraan bermotor. Sejauh mana pelonggaran ini dapat mendongkrak penjualan properti dan kendaraan bermotor untuk menyuburkan ekonomi nasional?
Sebelumnya, BI berturut-turut telah menurunkan suku bunga acuan (BI 7 Day Reverse Repo Rate) 25 bps pada Juli 2019 dari 6 persen yang sudah bertengger sejak medio November 2018 menjadi 5,75 persen pada Juli 2019. Kemudian suku bunga acuan turun lagi 25 bps dari 5,75 persen menjadi 5,50 persen pada Agustus 2019. Suku bunga deposit facility dan lending facility juga turun 25 bps menjadi 4,50 persen dan 6,00 persen.
Deposit facility merupakan penempatan dana rupiah oleh bank di BI. Ini merupakan fasilitas bagi bank yang memiliki kelebihan likuiditas. Sebaliknya, lending facility merupakan fasilitas bagi bank yang mengalami kesulitan likuiditas dengan menjual Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) atau Sertifikat Berharga Negara (SBN) kepada BI. Kedua kebijakan itu bertujuan untuk menjaga stabilitas makro dan sistem keuangan dan mendorong ekonomi domestik.
Sementara, LTV/FTV untuk (i) kredit atau pembiayaan properti 5 persen, (ii) uang muka untuk kendaraan bermotor 5-10 persen dan (iii) tambahan keringanan rasio LT/FTV untuk kredit atau pembiayaan properti dan uang muka untuk kendaraan bermotor berwawasan lingkungan masing-masing 5 persen. Aturan baru itu efektif 2 Desember 2019. LTV/FTV merupakan rasio kredit atau pembiayaan yang diberikan oleh bank konvensional, bank syariah atau perusahaan pembiayaan (multifinance) terhadap aset berupa barang (rumah atau kendaraan bermotor). Penurunan LTV/FTV berarti uang muka kian mini.
Mari kita tengok dulu bagaimana penyaluran kredit properti? Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia yang diterbitkan BI mencatat kredit perbankan ke sektor properti meningkat 15,86 persen dari Rp 868,82 triliun per Juli 2018 menjadi Rp 1.006,63 triliun per Juli 2019. Total kredit properti Rp 1.006,63 triliun itu meliputi kredit konstruksi, kredit real estat dan kredit pemilikan rumah (KPR) plus kredit pemilikan apartemen (KPA).
Kredit konstruksi melesat 25,61 persen dari Rp 280,81 triliun menjadi Rp 352,73 triliun dengan kontribusi terhadap total kredit properti 35,04 persen. Pertumbuhan itu turun dari 30,21 persen pada bulan sebelumnya. Sementara, kredit real estat hanya naik 7,89 persen dari Rp 149,50 triliun menjadi Rp 161,30 triliun (kontribusi 16,02 persen). Pertumbuhan itu juga turun dari 22,43 persen pada bulan sebelumnya. Sayangnya, KPR dan KPA hanya naik 12,34 persen dari Rp 438,51 triliun menjadi Rp 492,61 triliun (kontribusi 43,56 persen).
Pertumbuhan ini melambat dibandingkan dengan sebulan sebelumnya 13,54 persen. Ringkas tutur, pertumbuhan total kredit properti 15,86 persen itu turun dari 19,59 persen pada bulan sebelumnya. Karena itu, BI sudah sepantasnya melonggarkan LTV/FTV.
Faktor kunci keberhasilan
Apa saja faktor kunci keberhasilan supaya penurunan suku bunga acuan 75 bps selama tiga bulan terakhir dan pelonggaran LTV/FTV properti dan kredit kendaraan bermotor (KKB) mampu mendorong momentum pertumbuhan ekonomi nasional?
Pertama, sudah barang tentu inflasi harus tetap terkendali seperti saat ini yang mencapai 3,49 persen per akhir Agustus 2019. Inflasi mengalami kenaikan sedikit dari 3,32 persen, 3,28 persen dan 3,32 persen per akhir Juli, Juni dan Mei 2019 di tengah target inflasi 3,5 persen plus minus 1 persen.
Kedua, selain itu, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga harus stabil sebagai salah satu faktor kepastian bagi pelaku usaha. Jangan pernah lupa, penurunan bunga acuan dapat mengakibatkan dana di pasar keuangan pulang kampung (capital flight) untuk mencari margin yang lebih gurih lagi.
Larinya dana panas (hot money) itu dapat memengaruhi pasokan dollar AS sehingga bisa melemahkan nilai tukar rupiah (depresiasi). Akan tetapi, BI memandang nilai tukar rupiah tetap stabil sesuai dengan mekanisme pasar yang terjaga. Perkiraan ini ditopang oleh prospek aliran masuk modal asing dan dampak positif kebijakan moneter longgar di negara maju.
Apakah tingkat suku bunga acuan Indonesia masih cantik jelita di mata investor global? Bandingkan dengan beberapa negara ASEAN lain seperti Vietnam 6,25 persen, Filipina 4,25 persen, Malaysia 3,00 persen, Singapura 1,74 persen dan Thailand 1,5 persen. Simak pula suku bunga acuan negara-negara yang tergabung dalam BRICS: Brasil 5,50 persen, Rusia 7,00 persen, India 5,40 persen, China 4,25 persen dan Afrika Selatan 6,50 persen.
Ternyata, suku bunga acuan Indonesia masih cukup seksi dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Apalagi beberapa negara Eropa seperti kawasan euro, Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, Belanda, Belgia, Austria memasang bunga acuan nol persen. Bahkan Jepang menetapkan suku bunga acuan minus 0,10 persen.
Ketiga, lebih dari itu, pemerintah atau regulator harus sanggup mengendalikan harga rumah supaya tidak terlalu tinggi (overprice). Sesungguhnya, itu tugas siapa? Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), BI atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK)?
Sudah sepatutnya, ketiga lembaga itu didukung oleh asosiasi pengembang (developer) dapat bekerja sama mengendalikan harga rumah. Harap catat harga rumah yang terlalu tinggi dan kenaikan permintaan dan spekulasi yang tinggi merupakan faktor-faktor pemicu munculnya gelembung (bubble) properti seperti yang terjadi pada 2012.
Pastilah kenaikan permintaan rumah akan semakin tinggi sejalan dengan tren penurunan suku bunga kredit yang didorong oleh penurunan suku bunga acuan selama tiga bulan terakhir ini.
Celakanya, pasokan rumah tak sebanding dengan kenaikan permintaan sehingga bisa mengakibatkan kekurangan persediaan rumah (backlog) jalan di tempat. Data Kementerian PUPR mencatat backlog saat ini mencapai 7,6 juta unit rumah per 8 Maret 2019.
Keempat, mengapa pelonggaran LTV/FTV baru akan berlaku mulai 2 Desember 2019? Saya kira bank sentral menyadari betul bahwa transmisi penurunan suku bunga acuan menjadi penurunan suku bunga kredit itu butuh waktu sekitar tiga bulan. Mengapa? Karena tentu saja bank harus menghitung kembali biaya dana (cost of fund) yang tinggi berupa suku bunga deposito yang lebih tinggi. Dengan prediksi itu, masuk akal ketika pelonggaran LTV/FTV baru akan efektif awal Desember 2019.
Namun, mengingat penurunan suku bunga acuan sudah berjalan tiga kali secara berturutan, kemungkinan besar transmisi penurunan suku bunga acuan akan berlangsung lebih cepat. Tegasnya, suku bunga kredit akan segera menipis yang didahului dengan menguncupnya suku bunga deposito.
Melindungi kepentingan konsumen
Kelima, bukan hanya itu. Kini kian santer terdengar kabar beberapa pengembang nakal. Misalnya, pengembang tak memenuhi janji membangun rumah padahal konsumen sudah membayar lunas uang pemesanan dan uang muka atau pengembang kabur dengan miliran rupiah uang muka. Karena itu, mendesak dan penting untuk menyusun peringkat pengembang.
Siapa yang berwenang menyusunnya? Kementerian PUPR dengan menggandeng asosiasi pengembang. Peringkat itu bertujuan untuk menekan serendah mungkin kasus-kasus kecurangan dalam sektor properti. Peringkat itu cepat atau lambat wajib hadir untuk melindungi kepentingan konsumen supaya tak jadi korban kecurangan pengembang nakal. Ini akan meningkatkan kualitas pengembang sekaligus membumihanguskan pengembang nakal.
Keenam, namun ingat, semakin longgar LTV/FTV, itu berarti uang muka semakin mini. Semakin rendah uang muka, akan kian tinggi angsuran bulanan. Untuk itu, hendaknya calon konsumen sungguh memahami formula itu. Artinya, mereka seharusnya berjuang keras untuk membeli rumah dengan uang muka lebih tinggi sehingga angsuran bulanan semakin rendah.
Sebagai kiat menghemat, konsumen hendaknya memilih perumahan yang dibangun berbasis transit oriented development (TOD). Lugasnya, pembangunan perumahan yang terintegrasi dengan transportasi seperti jalur rel kereta api dan kereta ringan (light rail transit/LRT) dan moda raya terpadu (mass rapid transit/MRT). Buahnya, konsumen tidak terlalu dibebani biaya transportasi menuju tempat kerja.
Ketujuh, sudah semestinya konsumen memilih pengembang yang telah menjalin kerja sama dengan bank penyalur kredit pemilikan rumah (KPR). Kerja sama itu bisa menghasilkan suku bunga KPR yang lebih kompetitif daripada KPR yang tak ada kerja sama. Lebih dari itu, konsumen dapat memastikan pengembang dan bank penyalur itu memiliki wawasan lingkungan (go green). Alhasil, konsumen akan memperoleh keringanan uang muka tambahan 5 persen lagi.
Kedelapan, seiring dengan prospek peningkatan KPR, bank pun wajib tiada henti untuk mengendalikan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL). Kini NPL kian membaik dari 2,67 persen per Juni 2018 menjadi 2,50 persen per Juni 2019 jauh di bawah ambang batas 5 persen.
Tatkala aneka faktor kunci keberhasilan itu terpenuhi, maka bauran kebijakan (mixed policy) berupa pelonggaran LTV/FTV dan penurunan bunga acuan dapat menggairahkan sektor properti. Hal itu sangat diharapkan dapat mendorong momentum pertumbuhan ekonomi. Bukan mimpi!
(Paul Sutaryono, Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI)