Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China jelas telah berimbas langsung menekan volume perdagangan dunia. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi hampir semua negara mengalami kontraksi. Turki bahkan telah tumbuh negatif nyaris diambang resesi dan potensi resesi dikhawatirkan akan menjalar ke banyak negara.
Potensi resesi juga bisa menghampiri AS dan berlanjut jadi resesi global. Ditambah lagi, ketegangan antara Iran, AS, dan Arab Saudi dapat memicu krisis geopolitik di Timur Tengah. Jika hal itu, terjadi niscaya fluktuasi harga minyak dunia tidak dapat terelakkan.
Kekhawatiran itu diperkuat peringatan lembaga pemeringkat investasi internasional Moody’s yang menyatakan bahwa risiko gagal bayar utang korporasi 13 negara di Asia Pasifik meningkat. Indonesia dan India memiliki risiko gagal bayar utang tertinggi.
Pasalnya, sekitar 53 persen utang korporasi di Indonesia memiliki rasio utang terhadap pendapatan perusahaan di atas 4. Artinya, rasio penerimaan dibandingkan beban bunga yang harus dibayarkan (interest coverage ratio/ICR) sangat kecil.
Penyebabnya, pendapatan korporasi kian berkurang, sementara beban bunga tumbuh lebih tinggi. Bahkan, sekitar 40 persen koporasi memiliki ICR di bawah 2. Uji tekanan (stress test) Moody’s, jika pendapatan korporasi domestik turun 25 persen, hampir 20 persen korporasi memiliki ICR di bawah 1.
Meningkatnya risiko gagal bayar tak lepas dari daya beli masyarakat yang merosot. Sebagian besar korporasi berorientasi pasar dalam negeri. Lemahnya konsumsi rumah tangga berdampak langsung terhadap penurunan omzet penjualan.
Ketahanan dan daya saing korporasi makin rapuh karena dua tekanan sekaligus, yaitu ekonomi biaya tinggi sekaligus menghadapi gempuran produk impor. Sementara korporasi yang berorientasi ekspor masih didominasi oleh komoditas yang menghadapi lemahnya permintaan dan anjoknya harga komoditas. Akibatnya, banyak penerbitan utang korporasi hanya mampu untuk menutup pembiayaan utang jatuh tempo atau gali lubang tutup lubang.
Kondisi tersebut agak berkebalikan dengan krisis ekonomi 1998. Banyak korporasi yang kolaps akibat krisis yang melanda sektor keuangan. Tekanan kenaikan suku bunga yang mencapai puluhan persen mengakibatkan banyak korporasi gagal bayar. Sebaliknya, kini, risiko gagal bayar utang korporasi yang meningkat akan berdampak pada kinerja perbankan. Potensi kenaikan kredit bermasalah akan menurunkan rasio permodalan dan kesehatan perbankan. Pada gilirannya juga akan makin memperlemah fungsi intermediasi perbankan guna memenuhi kebutuhan pembiayaan.
Disisi lain, peningkatan risiko utang korporasi juga berpotensi menurunkan peringkat kredit korporasi dan peringkat layak investasi di Indonesia. Posisi Indonesia akan makin sulit meyakinkan investor untuk menanamkan modal di sektor riil. Bahkan, investasi portofolio pun berpotensi terjadinya arus modal keluar. Risikonya tentu akan semakin memberikan tekanan pada defisit neraca pembayaran dan kembali memicu volatilitas nilai tukar.
Risiko lainnya juga dapat menjalar ke sektor fiskal. Potensi gagal bayar utang badan usaha milik negara (BUMN) sebagai konsekuensi mandatori percepatan pembangunan infrastruktur. Pasalnya, tingkat pengembalian keuntungan dari pembangunan infrastruktur cukup rendah karena ekonomi tumbuh melambat. Untuk menjaga likuiditas BUMN, risikonya beban APBN semakin berat karena harus menyuntikkan penyertaan modal negara (PMN). Kewajiban kontinjensi itu membuat BUMN menambah risiko fiskal bagi APBN ke depan.
Ironisnya, di tengah tekanan ekonomi yang cukup berat itu, elite politik justru membuat kebijakan yang memicu kegaduhan. Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 17 September 2019 justru mengesahkan revisi undang-undang (UU) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, berencana mengebut sejumlah revisi UU vital dalam detik-detik terakhir kedudukannya di Senayan.
Aksi itu akhirnya memicu gelombang demonstrasi mahasiswa yang meluas di sejumlah daerah, bahkan berujung jatuhnya beberapa mahasiswa meninggal. Lebih tragis lagi, tragedi kemanusiaan di Wamena yang memakan banyak korban.
Padahal, jelas tantangan pemerintahan Presiden Joko Widodo jilid II ke depan sangat berat. Tak hanya menyelesaikan pekerjaan rumah yang masih menggunung, tetapi juga mengatasi tekanan global yang semakin berat. Hal urgen yang semestinya dilakukan adalah semakin membuka diri dan mengonsolidasikan kekuatan dalam negeri. Terutama guna meyakinkan investor agar tidak ragu berinvestasi.
Apalagi, pascarekonsiliasi dan keberhasilan meraih dukungan politik yang besar. Pemerintah semestinya semakin terbuka terhadap segala aspirasi, masukan, dan kritik dari masyarakat luas. Dengan demikian, akan dihasilkan berbagai kebijakan yang tepat dan mendapatkan dukungan seluruh pemangku kepentingan.
Terlebih potensi dan sumber pertumbuhan ekonomi dari dalam negeri masih sangat besar. Secara neto, sebenarnya integrasi dan ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap eksternal masih relatif kecil, kurang dari 20 persen. Artinya, jalan keluar dan mitigasi risiko korporasi gagal bayar utang masih terbuka luas. Jika dalam waktu dekat Indonesia masih kesulitan meyakinkan investor besar, potensi investasi UMKM masih sangat menjanjikan. Kuncinya adalah keterpaduan kebijakan yang fokus dan terimplementasi secara konkret.
Salah satu potensi besar adalah melalui optimalisasi dana desa sekitar Rp 72 triliun. Jumlah itu lebih dari cukup untuk menggerakkan kekuatan ekonomi seluruh perdesaan. Kuncinya sederhana, dana desa fokus guna meningkatkan kapasitas, produktivitas, dan nilai tambah ekonomi perdesaan.
Sebagai contoh, alokasi dana diprioritaskan untuk memfasilitasi pengolahan pascapanen, menciptakan produk unggulan desa, atau mengembangkan desa wisata. Apalagi, juga mampu dimanfaatkan untuk mendukung pembiayaan dan pemasaran produk industri perdesaan.
Lebih luas lagi mampu mendorong digitalisasi dan data spasial desa, serta peningkatan kualitas SDM perdesaan. Niscaya biaya investasi dan inflasi di perdesaan akan menurun secara signifikan. Selanjutnya, kesempatan kerja dan upah riil perdesaan meningkat secara nyata.
Alhasil, pendapatan, daya beli, dan konsumsi masyarakat perdesaan meningkat. Jika 80 persen wilayah Indonesia adalah perdesaan, niscaya keberhasilan program ini berdampak luas terhadap perekonomian nasional.
Oleh karena itu, DPR baru harus segera memperbaiki kinerjanya. Tidak hanya rajin dalam rapat panitia anggaran dan penyusunan undang-undang semata, tetapi juga harus memperkuat fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan program pemerintah, baik dalam dokumen APBN, RKP, maupun RPJMN.
Keberadaan oposisi di DPR justru akan semakin memperkuat realisasi berbagai kebijakan ekonomi pemerintahan agar tepat sasaran. Terlebih, dukungan para akademisi, kaum intelektual (termasuk mahasiswa), serta media massa yang kritis. Niscaya akan sangat membantu dan mempermudah pemerintah melaksanakan kebijakan-kebijakan agar on the right track.
Terakhir, banyak investor yang wait and see terhadap kepastian susunan kabinet. Karenanya, momentum mendapatkan kepercayaan dunia usaha ini jangan sampai kembali hilang. Jika kabinet diisi oleh orang-orang profesional, kompeten, kredibel, dan berintregitas, niscaya investor akan segera memutuskan untuk berinvestasi.
Jika pemerintah ingin meng-upgrade BKPM jadi kementerian investasi dan memisahkan sektor pajak menjadi lembaga otonom, urgensinya adalah guna menghilangkan berbagai kendala investasi. Termasuk, rencana pembentukan beberapa lembaga baru jangan sampai justru dinilai sekadar power sharing atau bagi-bagi kekuasaan di antara partai pendukung. Jika perombakan kabinet justru menyebabkan postur makin tambun dan kinerjanya semakin tidak efektif, niscaya Indonesia akan semakin dijauhi investor.
Mengingat tantangan ekonomi ke depan sangat kompleks dan berat, mestinya beberapa momentum yang masih kita miliki tidak disia-siakan lagi.
Enny Sri Hartati, Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance