Setelah gerakan Arab Spring pada tahun 2011, media sosial dipuji sebagai anugerah bagi demokrasi. Kurang dari satu dekade kemudian, media sosial dianggap sebagai ancaman demokrasi.
Ancaman nyata media sosial terhadap demokrasi itu salah satunya berupa para pendengung atau buzzer yang bergentayangan di media sosial untuk menyebarkan propaganda. Keberadaan buzzer yang kerap menjadi kepanjangan tangan para elite ekonomi dan politik ini membuat media sosial yang awalnya digadang-gadang bisa membangun kohesi sosial dan nilai-nilai universal, kini justru memicu pembelahan dan konflik.
Riset oleh Jennifer L Mccoy dari Georgia State University (2019) menunjukkan, pembelahan sering kali didorong oleh retorika para pemimpin politik untuk menarik massa pemilih. Wacana ini kemudian dilanjutkan saat mereka berkuasa, seperti yang dipraktikkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Sekalipun sejak saat kampanye tidak didukung media arus utama, Trump dinilai mendapatkan banyak pengikut karena memanfaatkan buzzer media sosial untuk membingkai isu atau informasi sehingga menguntungkannya. Narasi yang banyak dipakai adalah pembelahan guna membangun musuh bersama: imigran, Islam, hingga China. Untuk menguatkan legitimasi media sosial, tak lupa Trump juga mendeligitimasi media arus utama sebagai musuh bersama.
Penggunaan buzzer juga begitu dominan dalam pemilihan umum di Indonesia beberapa waktu lalu. Kedua kubu jelas-jelas membina para buzzer untuk menarik dukungan pemilih. Begitu pemilu usai, para buzzerterus berdengung, terutama di tengah kuatnya polemik pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, revisi sejumlah undang-undang, dan berbagai isu lain.
Riset dari Samantha Bradshaw dan Philip N Howard dari Universitas Oxford (2019) menyebutkan, Indonesia menjadi satu dari 70 negara yang menggunakan buzzer untuk sejumlah kepentingan sepanjang 2019. Dalam laporan ini disebut, para pengguna buzzer ini adalah politisi, partai politik, hingga swasta dengan tiga tujuan, yakni menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro-partai, menyerang oposisi, dan membentuk polarisasi.
Dalam laporan setebal 23 halaman ini juga disebut, uang yang diterima oleh buzzer di Indonesia tercatat berkisar Rp 1 juta-Rp 50 juta. Buzzeryang digerakkan oleh bot dan manusia secara langsung ini memanfaatkan beragam media sosial, utamanya Twitter dan Facebook.
Seiring temuan ini, Facebook mengumumkan telah menghapus 443 akun dan 125 akun Instagram sejumlah negara, termasuk di Indonesia. Akun-akun yang dihapus ini karena dianggap bertujuan menyesatkan orang lain melalui unggahannya. Khusus untuk kasus konflik di Papua, Facebook menghapus 69 akun, 42 pages, dan 34 akun di Instagram. Akun yang dihapus ini baik yang bersikap mendukung maupun menentang kemerdekaan Papua dari Indonesia.
”Penciptaan disinformasi atau media yang dimanipulasi adalah strategi komunikasi yang paling umum,” demikian laporan Oxford. Hitler telah menggunakannya walau dengan metode dan cara yang berbeda. Bahkan, kesuksesan Hitler hingga Partai Nazi bisa berkuasa di Jerman saat itu karena didukung kemahiran propaganda dan manipulasi informasi.
Ujung tombak propaganda adalah Kementerian Penerangan dan Propaganda (RMVP) yang mendengungkan ”nasionalisme” dengan narasi ”Good” vs ”Evil” dan ”Kita” vs ”Mereka”. Sejarah kemudian mencatat, Hitler membawa Jerman ke jurang terkelam. Demokrasi bisa memunculkan pemimpin semacam Hitler.
Sekalipun Hitler telah tumbang, teknik propagandanya terus dipakai dan dimodifikasi. Setelah Perang Dunia II, Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Truman menggelar ”Operation Paperclip” untuk memboyong ilmuwan Nazi-Jerman ke AS demi riset kontrol pikiran.
Teknik mengontrol pikiran rakyat ini pula yang pernah diterapkan rezim Orde Baru dengan ideologi ”pembangunan” versi mereka, dengan ujung tombaknya Menteri Penerangan. Wacana di media massa disetir sesuai dengan kemauan penguasa. Yang menentang diberedel, bahkan dibinasakan.
Selain melalui represi, propaganda bisa lebih efektif melalui teknik Bandwagon Effect, yaitu memanipulasi alam bawah sadar orang yang memiliki kecenderungan meniru ideologi, pikiran, dan perbuatan orang lain yang dianggap terhormat. Salah satu syaratnya, pesan itu disampaikan berulang-ulang (Andrew Colman, 2003).
Metode ini kini mendasari iklan dan inilah yang menjadi inti kerja dari para buzzer itu. Jika dulu para politisi dan tim propagandanya harus turun ke kampung-kampung, kini para buzzer cukup mendengungkan pesan itu melalui media sosial.
Karena sejak awal diproduksi untuk memengaruhi dan membujuk orang guna membeli produk ataupun mengikuti pilihan politik, iklan tidak mementingkan fakta, bahkan bisa sebaliknya. Karena itu, di media massa, iklan komersial ataupun iklan politik, seharusnya dibedakan dengan produk jurnalistik.
Artikel atau pemberitaan di media massa tidak boleh dicampur dengan iklan. Bahkan, fakta dalam berita, harus dibedakan dengan opini atau tajuk. Dalam kode etik jurnalistik juga dikenal istilah pagar api, yang membentengi independensi ruang redaksi dari intervensi, baik intervensi bisnis maupun politik. Bahkan, pemilik perusahaan pun seharusnya tidak boleh mengintervensi ruang pemberitaan.
Namun, di media sosial, tak ada pagar api. Antara fakta, opini, bahkan iklan bisa bercampur aduk. Pada titik inilah terjadi kekacauan, terutama terjadi di masyarakat yang tidak memiliki literasi digital yang memadai. Tak mengherankan jika para buzzer mendapat tempat di Indonesia.
Banyak kalangan di Indonesia yang tidak bisa membedakan tulisan para buzzer dan produk jurnalistik. Selain karena rendahnya literasi publik, hal ini juga disumbang oleh merosotnya kualitas jurnalistik sehingga melunturkan kepercayaan publik. Sejak beberapa tahun terakhir, sejumlah media secara vulgar menyarukan iklan politik ataupun iklan komersial dengan pemberitaan…. ***