Negara tampak apologetik menghadapi protes massa atas pasal-pasal bermasalah dalam beberapa RUU yang sedang atau usai dibahas di DPR. Lebih buruk, kecenderungan represif tak mampu menjawab problem pelumpuhan deliberasi yang diidap oleh ketertutupan proses legislasi. Tak serupa kelompok rahasia, negara semestinya dikelola dalam keterbukaan dengan pelibatan optimum publik untuk mendiskusikan persoalan bersama. Tanpa itu, kepercayaan publik pun dapat tergerus persekongkolan elite.
Unjuk rasa merebak di sejumlah kota menjanjikan suatu musim semi gerakan sosial, yang cukup lama redup tersebab bermacam pragmatisme. Pemicunya, secara ironis, kegairahan DPR dan pemerintah membahas dan mengesahkan sejumlah RUU di akhir masa jabatannya. Hingga Agustus 2019, Ketua DPR Bambang Soesatyo melaporkan DPR periode 2014-2019 telah menghasilkan 77 UU. Sementara, menurut Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, hingga akhir September DPR telah mengesahkan 84 RUU. Lonjakan produktivitas yang mengagetkan!
Di antara deretan kursi kosong anggotanya, DPR terkesan ingin ”kejar setoran” dan bahkan membarter sejumlah rancangan bersama pemerintah. Revisi UU MD3 dan revisi UU KPK, misalnya, hanya butuh beberapa hari pembahasan, termasuk rapat tertutup, sebelum disahkan berturut-turut dalam Rapat Paripurna DPR pada 16 dan 17 September 2019.
Selain rendahnya kuantitas legislasi, buruknya kualitas legislasi adalah kelaziman di Indonesia. Lebih dari 600 kali warga negara mengajukan uji materi ke MK atas pasal tertentu di berbagai UU. Salah satu akar persoalannya, minimnya deliberasi publik. Juergen Habermas (1998), yang mengidentifikasi prosedur demokrasi sebagai suatu jaringan pertimbangan, menegaskan bahwa putusan yang berkeadilan dapat dicapai manakala alur informasi tak dihalangi.
Diskursus dan argumentasilah, menurut dia, yang dapat memberi konten normatif dan basis validitas bagi tindakan bersama untuk mencapai kesepahaman. Lewat pandangan ini, ia tak menempatkan proses legislasi dalam ruang eksklusif parlemen. Justru deliberasi di luar dan di dalam kompleks parlemen menyediakan secara interkonektif suatu arena politik bagi pembentukan opini dan kehendak bersama.
Serba rahasia
Hal ini, pada gilirannya, meningkatkan kualitas hasil legislasi dan meneguhkan legitimasinya. Berselisih dengan ideal ini, DPR dan pemerintah tak hanya cenderung  mengeksklusi pandangan berlainan publik, proses legislasi berlangsung tertutup seperti beroperasinya kelompok rahasia. Saat diprotes substansinya, secara enteng mereka mempersilakan publik mengajukan uji materi ke MK.
Hukum, sebut Habermas, merupakan suatu medium yang melaluinya kekuasaan komunikatif diterjemahkan dalam kekuasaan administratif. Dengan itu, kekuasaan administratif tak lantas mereproduksi diri berlandaskan kepentingan mereka sendiri, tetapi mereka hanya mungkin untuk memperbarui mandat lewat percakapan komunikatif warga.
Percakapan serupa itu bukan sekadar memungkinkan warga menyampaikan pandangan dan pertimbangan rasional atas persoalan bersama. Tindakan komunikatif ini berpeluang lebih baik untuk mengakomodasi perbedaan, mengoreksi kesalahan, dan memperkuat legitimasi kekuasaan administratif dalam mengelola urusan bersama. Di negara demokrasi, tuntutan keterlibatan publik terkait pembentukan hukum juga memberi jaminan lebih baik atas aspek publisitas, yang menjaga transparansi proses dan akses kontrol kekuasaan.
Tanpa keterbukaan dan dalam ketergesaan, orang layak curiga legislasi mungkin menyembunyikan kepentingan sepihak elite tertentu.
(Arif Susanto ; Analis Politik Exposit Strategic; Pegiat Lingkaran Jakarta; Pengajar di Universitas Paramadina)