Suatu pagi seorang dokter kedatangan seorang pasien yang telah dua tahun tidak datang ke ruang praktiknya. Pasien itu mengeluh pergelangan kaki kirinya kencang. Ketika ditanya, jawabnya, ”Ini gara-gara dua hari lalu saya jalan-jalan di hutan kota.”
Oleh karena tidak menemukan hal lain yang serius, dokter memberikan salep dan perban, lalu menyuruh pasien pulang. Dua jam kemudian, istri dari si pasien menelepon, bertanya apakah suaminya masih di tempat praktik, karena belum pulang ke rumah. Si istri menelepon lagi sejam kemudian, melaporkan bahwa suaminya ditemukan meninggal di hutan kota. Ia menembak dirinya sendiri.
Datang, tetapi tidak bercerita
Cerita tersebut mengawali laporan penelitian yang ditulis Konrad Michel dan Ladislav Valach (2011) berjudul ”The Narrative Interview with the Suicidal Patient”. Belum lama ini saya juga dihubungi seorang sahabat yang adalah seorang pekerja kemanusiaan. Ia sangat terkejut dan berduka karena perempuan yang didampinginya tiba-tiba bunuh diri.
Yang bersangkutan memang telah lama mengalami depresi, tetapi hal itu (bunuh diri) sama sekali tidak disangka-sangka akan dilakukan. Si ibu muda tidak pernah bercerita tentang keinginan membunuh diri, dan pendamping membayangkan hal yang membahagiakan mengingat si ibu muda sedang berproses untuk rujuk kembali dengan suami.
Orang luar atau masyarakat mungkin dengan mudah menyimpulkan ”bunuh diri itu karena kurang pemahaman agama dan kurang iman”. Bunuh diri dilekati stigma sangat negatif sehingga orang yang sungguh-sungguh berpikir untuk bunuh diri mungkin tidak bercerita.
Di lain pihak, kalangan kesehatan mental memahami bahwa hal ihwal (percobaan) bunuh diri terkait dengan persoalan personal yang kompleks dengan kesejarahan yang mungkin panjang.
Menyimpulkannya sebagai ”kurang iman” menjadi sangat menyederhanakan persoalan, tidak adil bagi si individu ataupun orang-orang terdekatnya, dan sering menyebabkan kita gagal dalam mendeteksi untuk dapat melakukan prevensi, intervensi, dan menyelamatkan nyawa sesama manusia.
Tindakan melukai diri atau percobaan membunuh diri dapat berakibat fatal hilangnya nyawa atau konsekuensi kerusakan fisik-biologis-psikis yang parah dan permanen. Dengan situasi krisis yang ada, di internet kita dapat menemukan panduan mengenai bagaimana dapat mendampingi orang lain untuk pencegahan tindakan bunuh diri. Profesional kesehatan juga memiliki SOP tentang bagaimana menangani pasien atau klien yang datang atau dibawa untuk meminta pertolongan.
Tinjauan yang dikumpulkan Michel dan Valach (2011) menemukan bahwa lebih dari sepertiga dari individu yang mencoba bunuh diri datang ke dokter umum ataupun spesialis dalam kurun waktu setidaknya satu bulan sebelum tindakan. Dua puluh persen datang ke dokter seminggu sebelum kejadian.
Sementara itu, otopsi psikologis pada 571 pelaku bunuh diri di Finlandia mengungkap data bahwa semuanya, sebelumnya, mencoba mengontak petugas kesehatan, dan kunjungan ke petugas kesehatan meningkat sebelum upaya bunuh diri. Meski demikian, catatan menunjukkan bahwa dalam pertemuan terakhir, cuma 22 persennya yang secara eksplisit diisi percakapan soal tersebut.
Tiga puluh hingga 40 menit saja
Dengan data di atas, Michel dan Valach (2011) menyimpulkan, tampaknya pencegahan bunuh diri dapat dilaksanakan lebih efektif apabila percakapan di ruang praktik tidak sekadar diisi oleh penggalian data yang bersifat medis, tetapi yang mampu mengundang pasien atau klien untuk bercerita mengenai persoalan psikisnya. Panduan yang bersifat klinis prosedural (gambaran sakit saat ini, sejarah keluhan, sejarah penyakit dalam keluarga) hanya menyisakan sedikit ruang untuk sungguh mengenal sang manusia.
Pasien dapat merasa diperlakukan impersonal, tak memiliki ruang untuk bercerita, sehingga tidak terdeteksi persoalannya dan dapat dicegah untuk melukai diri. Pengalaman Michel dan Valach sendiri memberikan kesimpulan bahwa meminta pasien bercerita dan mendengarkannya mungkin memerlukan waktu cukup 30 hingga 40 menit saja. Biasanya di menit-menit awal cerita sudah dapat dideteksi ada tidaknya persoalan psikis serius yang membuat kita perlu atau tidak meluangkan waktu lebih panjang untuk memberikan perhatian khusus.
Penelitian Scott Fitzpatrick (2015) terhadap klien yang menjalani perawatan psikis karena percobaan bunuh diri menjelaskan benang merah ”cerita-cerita tentang yang tak tertanggungkan”, tetapi dengan keunikan problem personal masing-masing. Misalnya, ada laki-laki yang merasa sangat kesepian dan kehilangan makna hidup setelah ditinggal istri, pada saat sama pula harus menghadapi berbagai persoalan keuangan, kesehatan, dan hukum.
Ada perempuan yang tidak mampu berkata ”tidak” sehingga sangat kewalahan dengan tumpukan pekerjaan yang dibebankan oleh semua orang kepadanya sampai ia tidak dapat tidur, ketakutan, dan panik. Ada pula yang mengalami kecelakaan, dan operasi yang dijalani ternyata gagal, sehingga harus mengalami rasa sakit luar biasa di panggul dan seluruh tubuh.
Dua penelitian tersebut menyadarkan kita mengenai cerita personal yang penting untuk didengarkan, dan perlunya kita sebagai profesional kesehatan mental, anggota keluarga ataupun teman untuk bertanya dan bersedia mendengarkan. ”Cerita dong, bagaimana kabarmu?”
Ketika berhadapan dengan yang bermasalah: ”Bolehkah kamu cerita, bagaimana kejadiannya sehingga kamu melukai diri sendiri seperti ini?” Selanjutnya kita mendengarkan dengan empati saja, tidak menilai, mengkritik, atau menasihati.
Kesediaan untuk mendengarkan cerita personal akan membuat orang di sekitar kita merasa diperhatikan dan dihargai, dan memungkinkan kita mendeteksi—kalau ada—hal-hal serius yang perlu ditangani lebih lanjut atau dicegah agar tidak terjadi. Cukup dengan meluangkan waktu 30 hingga 40 menit saja kita dapat menghadirkan perubahan dalam kehidupan banyak orang. ***