Ucapan John Stuart Mill (1806-1873) sungguh menggelitik. Bahwa ancaman utama terhadap kebebasan berbicara di negara demokrasi bukanlah negara, melainkan ”tirani sosial” dari sesama warga negara. Periode demokrasi pasca-Orde Baru, rakyat terlihat ”berkuasa”, sebaliknya negara tampak kehilangan kedigdayaan. Reformasi telah mengubah wajah negara melembut dan sebaliknya mengubah wajah publik yang lebih mengeras. Suara-suara publik (voice) justru terus bising (noise). Media sosial menjadi medium ekspresif. Suara dengungan begitu berisik.
Politik meninggalkan goresan yang tak mudah dihapus. Dua pemilihan presiden terakhir, atmosfer politiknya tidak berubah: rivalitas sengit dan membentuk basis massa yang baperan dan sulit move on. Tatkala pesta demokrasi usai, perbedaan politik sebagai esensi demokrasi tidak lantas mendapat penghormatan tertinggi. Rasa saling menghargai tidak menjadi fatsoen demokrasi. Maka, ketika kubu berbeda terkena bencana, bukannya simpati dan empati yang bermunculan, melainkan komentar dan status sinis yang bertebaran. Kasus penikaman Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto contohnya. Seharusnya, seberapa pun berseberangan secara politik, mestinya tak menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan kita. Sungguh sayang, apabila demokrasi yang tersemai selama 20 tahun ini lebih banyak menumbuhkan bibit kebencian.
Sayangnya, justru realitas kontradiktif yang dirasakan. Kebebasan berbicara ternyata tidak linier dengan indeks kebebasan. Pada satu sisi puncak kebebasan dapat dirasakan, tetapi kondisi hak politik dan kebebasan sipil negeri ini justru makin menurun dalam tiga tahun ini sebagai teridentifikasi oleh Freedom House. Dengan skala 0-100, pada tahun 2019 posisi Indonesia berada di skala 62, turun dari 64 (2018), turun pula dari posisi 65 (2017). Indonesia justru masuk kategori ”setengah bebas” (partly free). Faktor yang mengakibatkan penurunan ranking itu ialah korupsi sistemik, diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas, ketegangan separatis di Papua, dan penggunaan secara politis undang-undang pencemaran nama baik dan penistaan.
Karut-marut di panggung perpolitikan memang menjadi tontonan yang tidak indah. Tergawat memang, korupsi yang sejatinya menjadi agenda utama reformasi justru menjadi benang kusut yang tak pernah terurai. Bahkan lembaga superbody Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjadi garda terdepan justru hendak dilemahkan. Apa pun dalihnya, revisi Undang-Undang KPK adalah bentuk pelemahan yang skenarionya sudah terbaca lama. Hebatnya, KPK tiada matinya. Ketika diobok-obok, KPK justru menunjukkan taji menangkapi kepala daerah yang diduga korup. Pasca-revisi UU KPK disahkan 17 September 2019, KPK menangkap tiga bupati: Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara (6/10), Bupati Indramayu Supendi (14/10), dan Wali Kota Medan Dzulmi Eldin (16/10). KPK memberikan bukti. Namun, sebulan telah berlalu, harapan publik agar Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang KPK tak juga terjawab. Korupsi merusak kebebasan.
Sejak zaman Athena kuno, kebebasan bicara isegoria dan parrhesia sudah menemukan tempatnya. Isegoria merupakan hak warga negara untuk berpartisipasi dalam debat publik di majelis demokrasi. Sebagai bentuk kebebasan berbicara, isegoria bersifat politis. Lalu, parrhesia yang merupakan semua yang dikatakan, atau gagasan untuk berbicara secara bebas dan terus terang. Dalam konsep kebebasan berbicara ini, parrhesia lebih ekspansif. Parrhesia menyiratkan keterbukaan, kejujuran, dan keberanian untuk mengatakan kebenaran bahkan menyakiti (Bejan, theatlantic.com, 2017).
Penting untuk direnungkan bahwa Plato percaya kebebasan itu terikat dengan disiplin diri dan moralitas. Artinya, hukum bisa sulit membangun kondisi moral dalam masyarakat apabila tidak ada dorongan moral dalam setiap individu. Tanpa akal dan disiplin diri, orang tidak akan mencapai kebebasan (Utibe, 2015). Bagi Plato, penekanan pada kebebasan dapat menciptakan orang-orang yang tidak disiplin, kurang mengendalikan diri, berubah menjadi kekacauan yang pada gilirannya tak terhindarkan melahirkan tiran dan diktator (Harrison dan Boyd, 2003).
Kebebasan tentunya tidak dipandang dalam perspektif anarkhis yang menganggap kebebasan sebagai nilai absolut, sebagai pencapaian otonomi pribadi. Kebebasan bukanlah tanpa kendali, karena bukan hukum rimba tempat individu melakukan apa yang mereka suka. Kebebasan seharusnya bermakna penghormatan terhadap pihak lain. Tanpa pemahaman seperti itu, yang terjadi di arena publik adalah sikap menihilkan pihak lain. Hanya ribut-ribut sesama publik soal pepesan kosong. Jangan mengeras menjadi tirani sosial, sementara elite politik sudah adem ayem setelah mendapatkan kursi kekuasaan.
Tampaknya situasi politik semakin senyap apabila oposisi masuk kabinet setelah pelantikan Presiden Jokowi dan Wapres KH Ma’ruf Amin pada Minggu (20/10) besok. ***