Parade militer China pada 1 Oktober 2019 tidak lagi sekadar pertunjukan senjata untuk mengamankan wilayahnya. Ekspansi ekonomi ke seberang merupakan misi negara yang harus berjalan mulus. Ini harus dilapisi dengan perlindungan lewat senjata. China memiliki senjata yang paling disorot dalam parade itu, rudal balistik antarbenua ”Angin Timur” Dongfeng-41 (DF-41).
”Diyakini rudal ini berdaya angkut besar, dapat membawa banyak hulu ledak berat untuk jarak tempuh yang jauh. Ini artinya DF-41 sangat ampuh,” kata peneliti senior dan analis militer dari Carnegie Tsinghua Center, Tong Zhao.
Disebutkan, ada 10 hulu ledak nuklir pada DF-41 itu. Parade itu juga hendak menunjukkan bahwa kemajuan telah dicapai. ”Kini China bisa mempertahankan diri lebih baik,” ujar Tong kepada CNN.
DF-41 menjadi generasi baru persenjataan China, rudal antarbenua yang berkemampuan nuklir dan diluncurkan dari darat. Rory Medcalf, Kepala National Security College di Australian National University (Canberra) lewat Twitter mengatakan, ”Parade senjata nuklir jelas menunjukkan ketidaknyamanan dan merupakan pola pemikiran era Perang Dingin (China).”
Salah satu jubir Departemen Pertahanan China Ren Guoqiang, Kamis, 28 September, mengatakan, dunia bukan tempat aman sehingga tentara China harus siaga penuh dan siap jika harus saatnya berperang.
Perang tidak hanya di wilayahnya sendiri, tetapi juga di wilayah lain. Ini tergambar dari DF-41 yang memiliki daya jelajah tertinggi 12.000-15.000 km, bisa menjangkau lokasi di mana pun di AS. Ini sebuah perkembangan. ”Parade ini menonjolkan kekuatan militer China saat relasi AS-China memburuk dan saat kontrol perlombaan persenjataan sedang limbung,” kata Antoine Bondaz dan Stephane Delory dari Fondation pour la Recherche Strategique (Perancis).
The Global Times mengutip pakar militer, generasi keempat rudal DF-41 pada dasarnya mirip rudal nuklir generasi ketujuh yang telah dikembangkan AS dan Rusia, serta terdepan dalam teknologi, materi, dan proses. ”Dengan banyaknya muatan hulu ledak, China menaikkan kemampuan serangan tanpa harus membuat banyak rudal,” kata Bondaz dan Delory. Ini karena satu rudal menyasar berbagai target sekaligus.
Rudal ini dapat membawa alat bantu penetrasi, bisa mengubah arah, mampu mengelabui pertahanan antirudal musuh. Rusia dan AS tertinggal soal ini. ”Parade senjata militer ini memiliki tema bahwa China telah memiliki rudal untuk menakuti Taiwan, Asia, AS, dan dunia,” kata Rick Fisher, pakar militer China dari International Assessment and Strategy Centre. ”China memahami sedang dalam fase perlombaan soal kemajuan rudal dengan Washington.”
Drone supersonik
Di samping itu, China juga menunjukkan persenjataan berupa drone. Salah satu drone itu adalah DR-8 yang diyakini bisa melaju hingga lima kali kecepatan suara, mirip D-21 milik AS yang sudah dipensiunkan. Drone ini bertujuan untuk pengintaian. ”AS bertahun-tahun menggunakan senjata kategori ini dalam perang melawan terorisme,” kata Sam Roggeveen, Direktur Program Keamanan Internasional Lowy Institute (Sydney).
Satunya lagi bernama Li Jian (Pedang Tajam), mirip X-47 milik AS, yang sudah menjalani uji terbang pada 2013. Drone bertujuan menyerang karena mampu membawa rudal dan bom berpenuntun laser. Diperkirakan senjata ini akan operasional di akhir tahun 2019.
Senjata yang turut diparadekan termasuk DF-17, rudal balistik hipersonik. DF-17 bisa membawa hulu ledak nuklir dan konvensional. Komentator militer China yang berbasis di Hong Kong, Song Zhongping, mengatakan, DF-17 bisa menjangkau Okinawa, Taiwan, dan Filipina. Ini oleh Beijing adalah sebuah garis pertahanan, khususnya menghadapi kehadiran militer AS di kawasan.
Untuk seri DF-17 ini, China merupakan pendatang belakangan, tetapi bisa menandingi AS dan Rusia dengan kecepatan hipersonik untuk kepentingan Angkatan Laut dan Udaranya. DF-17 yang akan menggantikan peran DF-11 dan DF-15, bisa menerobos perlindungan musuh. DF-11 dan DF-15 merupakan rudal-rudal berdaya jangkau pendek. Di samping itu, dipamerkan juga DF-16 dan DF-26, rudal-rudal jarak menengah.
Roggeveen menambahkan, tidak ada pertahanan yang cukup tangguh untuk menghadapi rudal-rudal hipersonik (DF-17). Pelumpuhan senjata hipersonik hanya dengan menyerang peluncurnya, sebelum rudal diluncurkan dari China daratan. Namun, hal ini riskan karena bisa menabuh respons nuklir. ”Rudal-rudal berjarak menengah ini penting untuk menangkis, sebuah strategi inti militer China untuk menahan serangan udara dan laut AS yang ada di Asia,” kata Roggeveen.
Dalam parade itu juga ada rudal balistik antarbenua berbasis darat DF-31AG, juga JL-2, atau ”Badai Besar”, diluncurkan dari kapal selam dan memiliki kendaraan ganda yang bisa diisi lagi untuk serangan ke target berbeda. Dengan kombinasi keberadaan DR-8, Li Jian, dan DF-17, China telah mengembangkan strategi perang konvensional dengan model lebih maju dari yang sekarang dimiliki AS.
Tidak ketinggalan dipamerkan juga armada pesawat tempur siluman J-20. ”Untuk meraih perdamaian, membela wilayah domestik saja tidak cukup. Kami harus bisa menyerang,” kata Yang Wei, kepala perancang J-20. Ini berupa pesawat tempur yang merupakan alat pertahanan terbaru China. Pihak Pentagon mengatakan, ada transformasi kekuatan udara China dari yang tadinya berbasis pertahanan teritorial menuju kemampuan ofensif.
Tidak bisa diredam
Meski demikian, Kolonel Wu Qian, yang merupakan jubir militer China, mengatakan, parade itu bukan aksi pamer otot kepada dunia. ”Dalam 70 tahun terakhir, pengembangan senjata China sangat jelas, tidak ada niat atau keperluan pamer otot. Dengan semakin kuat, semakin banyak kontribusi China untuk perdamaian dunia,” kata Wu.
Dan, jika dibandingkan dengan kekuatan senjata AS, kekuatan China masih tertinggal. China selalu mengajak komunitas internasional untuk saling menghargai dan bekerja sama. Tentu untuk damai, memang seperti ungkapan harus siap berperang (si vis pacem para bellum). Terkait ini, sangat nyata tekanan Barat agar China ”tunduk” atau paling tidak kekuatan dan ekspansinya dikepung. China menolak ini.
”Siapa pun yang menginginkan China menjadi seperti itu jelas tidak mungkin dan akan membuat diri yang berharap seperti itu akan kecewa,” demikian Presiden Rusia Vladimir Putin saat tanya jawab pada pertemuan tahunan think tank Rusia, Valdai Discussion Club, di Sochi, kota Rusia di Laut Hitam.
”Jika kita melakukan upaya bersama untuk menciptakan atmosfer lewat kolaborasi dan mencoba mengembangkan sistem keamanan bersama, itu akan lebih memberi manfaat,” kata Putin. Dia menyinggung kerja sama Rusia-China dalam berbagai aspek, perdagangan, eksplorasi angkasa, konektivitas dan pertahanan. ”Kerja sama ini tidak bertujuan menentang negara lain,” tutur Putin. ***