Yang dikatakan  Walter J Ong  beberapa tahun silam dalam Orality and Literacy benar belaka:  bangsa yang basis budayanya oralitas berciri utama gemar membuat akronim dan slogan. Masyarakat dengan  tingkat keberaksaraan rendah, yang tak suka baca, galibnya  suka memistifikasi kata, frasa, dan kalimat untuk kemudian mereka modifikasi jadi slogan.
Berbasis konsep budaya oralitas dan literasi yang ditawarkan Ong, kita tak akan kaget dengan fenomena  di Indonesia dewasa ini: di satu sisi gairah baca sangat loyo,  di sisi lain budaya sloganistik demikian mewabah. Masalahnya, slogan yang lahir dari masyarakat dengan tingkat baca rendah biasanya tidak dibarengi dengan pemahaman yang ungkul dan lunas. Akibatnya banyak slogan yang bukan saja susah dipahami secara konseptual, namun lebih dari itu keliru dalam tataran praktik.
Satu di antara sekian contoh terjadi pada kata hijrah, yang amat  populer belakangan. Banyak kalangan memakai konsep hijrah untuk menandai kepindahan mereka. Hijrah diartikan sebagai ‘transformasi’.
Kita kerap  mendengar ucapan bernada seruan seperti  “Saya mengajak kita semua  hijrah ke arah yang lebih baik.” “Mari kita berhijrah dari pesimisme ke optimisme.” Dan “hijrahlah dari perilaku konsumtif ke produktif”.  Pernyataan tersebut bila  disigi lebih dalam sesungguhnya mengandung kelewahan. Perlu digarisbawahi, keterangan ke arah yang lebih baik tidaklah diperlukan. Inilah kelewahan yang dimaksud sebab nyatanya makna hijrah sendiri adalah transformasi ke arah  positif; dari yang buruk menjadi baik, dari yang baik menjadi lebih baik.
Dalam konteks lema hijrah, kita menyaksikan implementasi yang cenderung kontraproduktif dengan makna konseptual yang diharapkan. Slogan hijrah, dalam konteks yang dipakai  kalangan beragama di perkotaan, belakangan justru banyak digaungkan untuk membentengi diri dari mereka yang dianggap belum berhijrah; menciptakan gugusan “kami” yang berdiri di seberang “mereka”.
Hijrah justru tak membuat mereka toleran, malah intoleran terhadap yang berbeda. Slogan hijrah seperti ini tentu, sekali lagi, kontraproduktif dengan makna asalnya, bahkan sebagaimana yang juga dicatat dalam KBBI: perubahan (sikap, tingkah laku, dsb) ke arah yang lebih baik.
Makna yang diberikan  KBBI daring ini senyatanya jauh lebih baik dengan makna yang berkembang pada kamus edisi sebelumnya. Misalnya saja pada KBBI II lema hijrah disebutkan memiliki tiga arti: ‘berpindahnya Nabi Muhammad saw dari Mekah ke Medinah’; ‘berpindah (untuk menyelamatkan diri dsb)’; ‘penyingkiran tentara  kita dari daerah  kantong-kantong di Jawa Barat sesuai dengan Perjanjain Renville’. Agaknya arti yang diberikan KBBI II untuk lema hijrah sama belaka dengan yang diberikan  WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Dalam ajaran Islam, peristiwa hijrah adalah peristiwa ikonis. Ruh ajaran agama adalah transformasi dari yang buruk ke arah yang lebih baik. Demi mengabadikan ikon itu, Islam membuat penanggalan dengan mendapuk hijrah sebagai basis titi mangsanya. Maka, kalender yang dipakai bernama Hijriah.
FARIZ ALNIEZAR, Pengajar Linguistik di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia