Menebak mimpi rakyat Indonesia tidak perlu bertanya kepada Oneiroi, para dewa mimpi dalam mitologi Yunani, atau belajar Oneirologi (ilmu tentang mimpi), karena para pendiri negara sangat bijak merumuskan impian tersebut. Impian itu tertera eksplisit dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950: ”mewujudkan kebahagiaan bagi rakyat Indonesia”.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasca-amendemen, intinya sama: ”mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia”. Impian tersebut tidak pernah pudar dan diusahakan terus-menerus.
Mewujudkan kebahagiaan seluruh rakyat, banyak tantangan yang dihadapi. Tantangan paling berat, kebahagiaan baru dapat diwujudkan kalau setiap warga bersedia saling merasakan suka dan derita sesama warga bangsa. Semangat saling merasakan mudah surut sejalan dengan nafsu ambisi kuasa yang batasnya langit.
Namun, harapan tetap menyala. Terpilihnya pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019 menggugah tekad rakyat mewujudkan impian kolektifnya. Simtom tersebut dapat dicermati dalam pertarungan yang kompleks dan sengit dalam Pemilu 2019. Medan kusut masai karena pemilu legislatif tanpa pakem. Sesama kader partai politik harus bertarung keras di setiap daerah pemilihan sebelum bertanding melawan kader parpol lain.
Kompetisi pilpres sangat sengit karena eksploitasi sentimen primordial dan kumandang ideologi eksklusif konservatif mendominasi kompetisi. Partai pendukung lebih mengutamakan memperjuangkan kader-kader mereka merebut kursi di lembaga perwakilan, menomorduakan pilpres. Peran sentral ”tim kampanye” tak dirasakan getaran kiprahnya, kepemimpinannya tidak jelas, bahkan dirasakan kocar-kacir meski terdapat unsur-unsur individual dari tim kampanye bekerja habis-habisan.
Ranah pertarungan menjadi anarkistis dan pragmatis. Akibatnya, kompetisi pemilu serentak 2019 gagal menghasilkan efek ekor jas (coattail effect) untuk mewujudkan pemerintahan presidensial yang efektif.
Namun, kemelut kontestasi politik justru membuktikan kemenangan Jokowi-Amin karena rakyat mempunyai hasrat dan kehendak menggebu agar kandidatnya menang.
Bobot dukungan rakyat kepada Jokowi-Amin sebaiknya benar-benar dimanfaatkan Jokowi untuk menyusun kabinet. Ia tidak perlu merasa terlalu terbebani tuntutan parpol pendukung yang mengusulkan calon menterinya jika dianggap tidak kompeten. Apalagi calon menteri dari parpol yang mendadak menyusul berkoalisi. Mereka harus diperlakukan lebih selektif.
Selain kompetensi, juga wajib tahu tata krama politik sehingga mengubah sikap lawan menjadi ”petugas” presiden. Kabinet harus menjadi kabinet impian karena lima tahun mendatang pemerintahan Jokowi-Amin perlu meletakkan fondasi kehidupan bangsa dan negara.
Dukungan juga semakin menguat karena Jokowi akan fokus pada pembangunan sumber daya manusia. Tantangan mendesak dan krusial adalah memilih menteri-menteri yang bertanggung jawab mengemban tugas mulia. Mereka harus mempunyai kompetensi pengetahuan, moral, dan integritas yang tinggi.
Momentum ini merupakan peluang emas periode kedua pemerintahan Jokowi dalam meletakkan landasan pembangunan karakter lima tahun ke depan. Terutama mempersempit ruang gerak ideologi primordial konservatif yang berkelindan dengan kedurjanaan para pemburu kuasa yang ingin mengusir Pancasila dari bumi Indonesia.
Menteri yang bertanggung jawab mewujudkan agenda tersebut antara lain Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; Menteri Agama; Menteri Kesehatan; Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; Menteri Ketenagakerjaan; serta Kepala Badan Manajemen Talenta.
Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan diharapkan paham pedagogi (teori membimbing anak) serta andragogi (teori dan praktik pendidikan). Sebab, kementerian ini mempunyai fungsi sentral, vital, dan strategis menanamkan ideologi bangsa kepada anak-anak dan remaja.
Selain itu, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila diharapkan mampu menjadi daya gerak agar penghayatan dan pengamalan Pancasila menjadi gerakan masyarakat. Bukan terjebak dalam proses birokratisasi seperti Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) pada era Orde Baru sehingga penanaman nilai-nilai Pancasila direduksi menjadi retorika negara. Akibat dari tidak satunya kata dengan perbuatan, produksi kemunafikan menjadi polusi yang mengotori kehidupan bersama.
Tantangan lain yang dihadapi Jokowi adalah antisipasi reorganisasi beberapa kementerian, khususnya konsekuensi kebijakan tersebut terhadap efektivitas pemerintahan lima tahun mendatang. Pengalaman pemerintahan sebelumnya memerlukan waktu sekitar dua tahun agar struktur kementerian baru bisa bekerja normal. Kalkulasi hipotetis pada tahun ketiga kabinet baru dapat bekerja penuh. Tahun keempat dikhawatirkan sudah digoda Pemilu 2024 dan tahun kelima para politisi, termasuk menteri, sudah demam Pemilu 2024.
Mengingat kerinduan masyarakat mewujudkan impiannya, parpol pendukung dan partai anggota koalisi baru harus mempunyai empati terhadap harapan masyarakat. Mereka harus benar-benar membuktikan kata-katanya, menteri adalah wewenang presiden.
Kalimat standar itu biasanya meluncur sebagai jawaban pertanyaan awak media. Namun, bahasa tubuhnya membingungkan karena respons selalu disertai senyum yang bernuansa misteri, bukan cermin suara hati, sehingga kesannya mempunyai agenda tersembunyi. Padahal, tanpa komitmen politik, mimpi indah rakyat akan menjadi mimpi buruk yang akan membuat masyarakat trauma. ***