Dunia sedang memburu pajak atas keuntungan yang diraih perusahaan teknologi seperti Google, Facebook, Amazon, dan Apple. Intinya, perusahaan yang sedang diincar pajaknya adalah mereka yang berbisnis secara digital dan lintas negara. Maka, akan kena pajak juga perusahaan penjual merek-merek mobil mewah dan produk-produk mewah lewat internet.
Selama ini, banyak dari perusahaan-perusahaan kategori tersebut relatif bebas pajak atau membayar sedikit saja pajak. Perusahaan-perusahaan itu diuntungkan dengan peraturan pajak antarnegara yang ditorehkan pada 1920-an. Peraturan pajak yang berasal dari dekade 1920-an itu menegaskan, perusahaan hanya bisa dipajaki oleh negara yang menjadi markas perusahaan tersebut.
Hingga sekarang, perusahaan-perusahaan ini pun, berdasarkan peraturan itu, tidak boleh dipajaki di setiap negara walau mereka memiliki penjualan besar di banyak negara lewat model digital. Hanya negara yang menjadi markas perusahaan yang boleh mengenakan pajak.
”Agak nakal”
Uniknya lagi, perusahaan-perusahaan kategori itu agak nakal. Mereka banyak yang memindahkan markas ke Irlandia, Luksemburg, Belanda, dan ke sejumlah wilayah di bawah kekuasaan Inggris, seperti Bristih Virgin Islands, Caymand Islands, dan Nauru.
Negara-negara surga pajak ini tidak memungut pajak atau hanya mengenakan sedikit pajak. Hal inilah yang membuat Perancis memajaki sendiri Google lewat peraturannya sendiri. Semua keuntungan dari perusahaan-perusahaan tersebut ditransfer ke markas yang merupakan wilayah surga pajak ini. Inilah salah satu masalah dalam perpajakan, ada celah menghindari beban pajak karena keuntungan tersebut dipajaki sangat rendah.
Oleh karena itu, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang bermarkas di Paris, dalam beberapa bulan ini, menggodok proposal baru. Isinya, setiap negara boleh memajaki semua perusahaan multinasional, khususnya yang berbentuk perusahaan digital, sesuai dengan tingkat pajak yang berlaku di negara masing-masing. Alasannya, sekarang dunia sudah berada pada era ekonomi digital.
Google, misalnya, dengan berbagai situs dan aplikasinya, termasuk Youtube, memajang iklan tentang perusahaan Indonesia. Hal serupa terjadi untuk Facebook, memajang iklan dari sebuah perusahaan penjual tiket pesawat atau pemesanan hotel di lamannya. Google dan Facebook, dalam hal ini, menerima pendapatan dari perusahaan-perusahaan Indonesia yang memajang iklannya.
Seperti dituliskan harian AS, The Wall Street Journal edisi 9 Oktober, perusahaan-perusahaan teknologi tidak membayar pajak atau sedikit saja membayar pajak karena markasnya ada di negara lain, dalam hal ini sebagai contoh, di luar Indonesia. Harian The New York Times, juga edisi 9 Oktober, menuliskan, kini celah pajak seperti itu akan coba dihentikan.
Pada Rabu (9/10/2019), OECD sudah meluncurkan proposal baru yang akan menganulir peraturan pajak lintas negara yang muncul pada 1920-an. Setiap negara bebas memajaki Google, Facebook, dan lainnya. Hanya saja ada batasan soal pengenaan pajak. Contohnya, Indonesia akan berhak mengenakan pajak terhadap Google jika di Indonesia ada pendapatan Google di atas 823 juta dollar AS atau setara dengan Rp 11,522 triliun (jika kurs dollar AS setara dengan Rp 14.000).
Tingkat pajak yang berlaku sesuai dengan yang ada di setiap negara. Hanya saja pengenaan pajak oleh setiap negara ini harus berdasarkan pada peraturan umum yang sudah disusun OECD. Hal yang berlaku sekarang, ada tindakan unilateral negara-negara soal pemajakan atas perusahaan semisal Google dan Facebook, seperti yang dilakukan Perancis. Untuk itu dirasakan amat perlu keseragaman peraturan.
Banyak manfaat
Usulan baru OECD ini sekaligus menghilangkan kegelisahan banyak negara berupa kerugian potensi pajak karena peraturan pajak antarnegara sudah usang. ”Sistem saat ini berada di bawah tekanan dan tidak akan bertahan jika kita tidak menghilangkan ketegangan,” kata Ketua Kebijakan Pajak OECD Pascal Saint-Amans.
Untuk usulan ini, OECD didukung oleh 130 negara. Usulan dari OECD ini telah disampaikan kepada para menteri keuangan dari negara-negara anggota G-20 yang akan bertemu 17-18 Oktober 2019 di Washington DC dan diharapkan memberikan persetujuan.
Negara-negara yang diuntungkan dengan usulan baru itu adalah negara-negara dengan banyak konsumen, termasuk Indonesia. Dengan usulan OECD itu, jika terwujud, negara akan mendapatkan penerimaan dari keuntungan yang diraih perusahaan multinasional yang berbisnis digital.
Usulan OECD ini, meski masih dalam proses dan menabuh perdebatan, tetap mendapatkan sambutan. ”Usulan OECD itu akan mengakhiri fenomena keuntungan bebas pajak yang rutin terjadi sekian lama,” kata Thomas Piketty, profesor dari Paris School of Economics, yang juga anggota The Independent Commission for the Reform of International Corporate Taxation (ICRICT), bersama Joseph Stiglitz (ekonom AS peraih Nobel Ekonomi 2001).
Amazon menyambut usulan terbaru ini. ”Tercapainya kesepakatan internasional tentang prinsip pajak mendasar akan menekan risiko, aturan distortif unilateral dan menciptakan iklim untuk mendorong pertumbuhan perdagangan global,” demikian pernyataan Amazon.
Apple dan Facebook tidak memberikan komentar, sementara jubir Google merujuk pernyataan sebelumnya, mendukung proses yang sedang diambil OECD. ***