PARTAI POLITIK
Parpol, KPK, Politik Peradaban
Fachry Ali
KOMPAS 7 Oktober 2019
Pada
1982, dalam tulisan berjudul ”Kita Perlu Satu Parpol Lagi?” (Kompas, 18/1/1982), saya menyampaikan betapa tidak terakomodasinya
beberapa kalangan strategis masyarakat dalam sistem kepartaian kala itu.
Pembangunan
ekonomi Orde Baru yang berlangsung sejak pertengahan akhir 1960-an telah
menjadi alat intervensi mengubah komposisi dan distribusi struktur demografi 20
tahun kemudian, yakni pada 1980-an.
Inilah
yang mendorong saya mengusulkan perlunya sebuah parpol baru. Sebab, Golkar,
PPP, dan PDI, parpol-parpol yang diakui pemerintah kala itu, tak lagi mampu
menampung aspirasi kebebasan kaum terpelajar. Dua tahun kemudian, justru posisi
parpol berada dalam tekanan negara otoriter. Ini saya gambarkan dalam tulisan
”Partai: Wakil Pemerintah untuk Rakyat?” (Kompas,
7/2/1984).
Pada
masa itu parpol bukan saja tidak lagi bertindak sebagai wakil rakyat, melainkan
juga secara ironis menjadi wakil pemerintah untuk rakyat. Dalam arti kata lain,
di dalam sistem kepartaian masa itu, secara substansial, tak ada wakil rakyat
di dalam parlemen.
Kegelisahan moral-intelektual
Dua
tinjauan politik yang saya buat ketika masih berstatus mahasiswa Fakultas Adab
IAIN Ciputat ini merupakan refleksi kegelisahan moral-intelektual tentang
posisi parpol. Tentu, dalam konteks teoretis, pelemahan akut parpol kala itu terdorong
”kecelakaan” struktural, yaitu perubahan paradigma berpikir penguasa baru yang
lebih menekankan kemampuan teknikal demi pembangunan ekonomi tak selangkah
jalan dengan iklim budaya parpol yang lebih menekankan ideologi.
Sebagai
akibatnya, sistem politik mengarah kepada apa yang disebut Karl Jackson dalam
”The Bureaucracy in the Political Context: Weakness and Strength” (1978),
sebagai bureaucratic polity: sistem politik sebuah masyarakat di mana
keputusan-keputusan penting tingkat nasional tidak didasarkan pada artikulasi
kepentingan massa, tetapi ditetapkan kelompok elite birokrasi secara sepihak.
Sebagai akibatnya, parpol di dalam bureaucratic polity ini secara substansial
menjadi idle (menganggur).
Persoalannya
adalah bagaimana nasib suara rakyat? Dapatkah dipertanggungjawabkan secara etis
bahwa di dalam sebuah masyarakat ”demokrasi”, seperti secara retorikal acap
diungkapkan penguasa Orde Baru, aspirasi dan peran rakyat diabaikan dalam
pembuatan kebijakan strategis tingkat nasional?
Bukankah
tanpa menyertakan suara rakyat dengan jalan agregasi dukungan melalui parpol
akan menimbulkan kesewenangan penguasa dan mengarah kepada political decay
alias pembusukan politik, seperti postulasi Samuel Huntington, dan berakhir
pada kehancuran bangsa secara keseluruhan?
Pertanyaan-pertanyaan
yang mengungkapkan kegelisahan moral dan intelektual inilah yang mendorong
pemikiran tentang betapa pentingnya penguatan parpol pada masa itu. Menggunakan
perspektif Joel S Migdal dalam Strong Societies and Weak States (1988),
penguatan parpol identik dengan the new distribution of social control
(pembagian baru pengawasan sosial) guna menciptakan keseimbangan kekuasaan di
dalam sebuah masyarakat politik.
Dalam
arti kata lain, meruntuhkan kepongahan penguasa di dalam birokrasi negara
melalui penguatan parpol sebagai agensi pengawas atas nama dan dukungan rakyat.
Saya
suka dengan frasa the past is unfinishable (masa lampau tak pernah bisa
berakhir). Frasa yang diciptakan pemikir Regis Debray dalam Civilization: How
We All Became American (2019) ini menggambarkan bahwa pada esensinya, berbeda
dengan budaya (seperti salah satu bahasa di wilayah Amazon), melalui proses
hybridization (pencangkokan), peradaban tak pernah punah.
Dengan
sedikit ”meracau”, kita juga bisa mengatakan bahwa parpol adalah salah satu
agensi peradaban. Melalui logika silogisme, juga saya gunakan dengan cara
”meracau”, kemunculan parpol kembali ke panggung politik pasca-Orde Baru
menunjukkan berkinerjanya frasa the past is unfinishable.
Dalam
arti kata lain, walau telah ditekan rezim ”semi-otoriter” sedemikian rupa
selama tiga dekade, melalui proses pencangkokan dengan elemen-elemen extrastate
forces (kekuatan ekstra-negara, seperti kaum terpelajar, pers, dan penggiat
masyarakat madani), parpol tetap sintas.
Menjauh dari politik peradaban
Persoalannya
adalah bahwa kesintasan parpol ini mengubah struktur politik secara drastis.
Sementara pencangkokannya dengan elemen-elemen kekuatan ekstra-negara melekang,
parpol-parpol secara kolektif membongkar struktur dan sistem bureaucratic
polity, dan menggantikannya dengan apa yang saya sebut ”rezim partai
politik”.
Ini
berakibat ganda. Pertama, secara langsung atau tidak, parpol-parpol telah
menggantikan kekuatan kaum birokrat di dalam negara. Dalam posisi ini, hampir
semua kebijakan negara merupakan refleksi kepentingan partai politik. Kedua,
dalam lebih ironi lagi, sama seperti di bawah bureucratic polity, rakyat tetap
tak bisa berbuat apa-apa di bawah ”rezim partai politik”.
Hasilnya,
seperti juga kaum birokrat dalam masa bureaucratic polity di masa Orde Baru,
terdapat kesan ”kepongahan” di kalangan petinggi parpol. Dalam arti kata lain,
jika pepatah the persons can do no
wronglebih ditujukan kepada para penguasa Orde Baru. Kini, pada masa
”rezim partai politik”, suara itu lebih tepat ditujukan kepada elite parpol
yang kini berkuasa.
”Kepongahan”
inilah, menurut saya, yang menyebabkan parpol menjauh dari ”politik peradaban”.
Apa yang saya maksud dengan frasa terakhir itu adalah, menggunakan konsep
hibrida Regis Debray di atas, sikap keterbukaan konstruktif dalam mengakomodasi
suara akal-budi di luar dirinya ketika mengambil keputusan publik.
Dalam
pelaksanaannya, ”politik peradaban” merupakan artikulasi kekuasaan
seseorang atau sekelompok orang yang bukan saja terkikis dari rasa ”pongah”,
melainkan juga mengakomodasi secara kontinu kinerja agen-agen yang
berfungsi sebagai kekuatan korektif.
Dalam
konteks ”politik peradaban” inilah kita harus melihat Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Diketahui, sama seperti parpol yang bangkit kembali dewasa di
masa reformasi 1998, kelahiran KPK merupakan usaha korektif kesalahan-kesalahan
fundamental penyelenggaraan kekuasaan di dalam bureaucratic polity masa Orde
Baru. Maka, sesuai dengan tugasnya, KPK secara tanpa pandang bulu melakukan
aksi koreksinya atas setiap aktor kekuasaan yang melanggar.
Untuk
ini, ”posisi peradaban” KPK bahkan jauh lebih kuat. Sebab, sementara
perpanjangan napas keberadaan parpol dewasa ini tegak pada basis buying votes,
seperti diungkap dalam disertasi Burhanuddin Muhtadi (2018), KPK tegak justru
di atas akal-budi.
Ini
bukan saja dibuktikan berbagai survei tentang tingginya tingkat kepuasan rakyat
atas kinerjanya, melainkan juga memperoleh dukungan agensi-agensi ”peradaban”
lain. Selain rakyat biasa, pusat-pusat keagamaan dan organisasi civil society
dan media massa, pusat peradaban itu adalah perguruan tinggi.
Maka,
melalui logika silogisme yang sebenarnya, bukankah usaha parpol melemahkan KPK,
dengan rekayasa legislasinya di parlemen, sama dengan langkah menjauh dari
”politik peradaban”? Dan bukankah para elite parpol harus menyadari bahwa
dengan ”politik peradaban” yang sama di masa Orde Baru, kaum terpelajar telah
gelisah secara moral dan intelektual karena parpol dilemahkan dan dijauhkan
dari rakyat? Bukankah dengan kegelisahan itu, melalui proses hibridasi
peradaban, kaum terpelajar yang sama mendukung dan berusaha menguatkan peranan
parpol di dalam sistem politik Indonesia?
(Fachry
Ali ; Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia)
||MBO128 Satu Akun semua jenis Game ||
BalasHapusGame Populer:
=>>Sabung Ayam S1288, SV388
=>>Sportsbook,
=>>Casino Online,
=>>Togel Online,
=>>Bola Tangkas
=>>Slots Games, Tembak Ikan, Casino
Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
|| Online Membantu 24 Jam
|| 100% Bebas dari BOT
|| Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA
Pakai Pulsa Tanpa Potongan
Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
WhastApp : 0852-2255-5128
Agens128 & MBO128