”Tidak mungkin saya melupakan jasa dari begitu banyak orang, yang memungkinkan semua ini terjadi,” demikian Abhijit Banerjee (58), ekonom dari Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Dia salah satu dari tiga ekonom AS penerima Nobel Ekonomi 2019 dengan nilai hadiah 9 juta krona Swedia (915.300 dollar AS) atau setara dengan Rp 12,8 miliar. Program pemberantasan kemiskinan yang sukses membuat para ekonom ini mendapatkan penghargaan bergengsi.
Tiga ekonom yang mendalami ilmu ekonomi pembangunan itu adalah Banerjee, kelahiran Mumbai, India, pada 1961 dan menjadi warga AS. Istri Banerjee, Esther Duflo, kelahiran Paris, Perancis, 1972, juga dari MIT. Satu lagi Michael Kremer, kelahiran AS pada 1964, profesor dari Harvard University.
Banerjee secara tak langsung mengenang jasa Abdul Latif Jameel Company Ltd, sebuah perusahaan raksasa Arab Saudi yang bermarkas di Jeddah. Perusahaan itu didirikan pada 1945 oleh almarhum Sheikh Abdul Latif Jameel (1909-1993). Perusahaan tersebut kemudian berkembang dan pada 2017 keluarganya tercatat sebagai nomor empat terkaya dari seluruh keluarga di Arab Saudi.
Mohammad Abdul Latif Jameel, putra sulung sang Sheikh, kebetulan belajar di MIT angkatan 1978. ”Aku beruntung pernah belajar di MIT dan menyaksikan bagaimana sains, teknologi, dan beasiswa mampu mengatasi persoalan nyata dunia secara signifikan. Pengalaman ini mendorong saya membantu MIT dengan sumber daya berarti untuk pendirian laboratorium, yang turut mengatasi masalah terbesar dunia,” kata Mohammad.
Kemurahan hati keluarga Arab Saudi itu melanjutkan apa yang dilakukan Alfred Nobel, yang mendedikasikan kekayaannya untuk mendukung riset-riset demi misi kemanusiaan. Dari sini berkembang ke pendirian Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL) pada 2003.
J-PAL adalah sebuah badan yang khusus menangani program penanggulangan kemiskinan global. Di titik inilah, Mohammad semakin erat berhubungan dengan Banerjee. Badan ini menjadi sebuah jaringan global dalam riset-riset anti-kemiskinan dengan eksperimen-eksperimen lapangan. J-PAL menjadi salah satu pusat riset yang memfasilitasi upaya serupa di seluruh dunia.
Adalah Banerjee bersama istrinya, Esther Duflo, sesama dosen di MIT, yang mendirikan J-PAL dengan rekan Sendhil Mullainathan, kini mengajar di University of Chicago. Dari berbagai riset yang difasilitasi J-PAL muncullah tiga tokoh yang menonjol dalam bidang pemberantasan kemiskinan. Ini tertangkap radar Akademi Sains Kerajaan Swedia.
”Atas pendekatan mereka berupa eksperimen-eksperimen langsung di lapangan, Hadiah Nobel Ekonomi 2019 dianugerahkan,” demikian dikatakan Sekretaris Jenderal Akademi Sains Kerajaan Swedia Professor Goran K Hansson, Senin (14/10), di Stockholm, Swedia. Sekarang ini dunia masih memiliki 700 juta warga yang miskin akut.
Orang-orang berdedikasi
Terobosan awal dilakukan Kremer, lewat riset soal efek pendidikan terhadap peningkatan produktivitas pekerja di Kenya. Bagaimana pendidikan benar-benar bisa menghasilkan didikan yang baik dan kemudian memiliki keahlian tinggi.
Banerjee dan Duflo melanjutkan hal serupa di India.
Topik pemberantasan kemiskinan tidak hanya lewat pendidikan, tetapi juga lewat pemberian layanan kesehatan, kredit mikro, hingga pemberdayaan lewat sisi jender, dalam hal ini perempuan.
Penekanan penghargaan juga terletak pada kesediaan tiga ekonom untuk melakukan studi di lapangan langsung dengan waktu yang didedikasikan selama bertahun-tahun. Dari lapangan ke lapangan, tiga ekonom ini mengembangkan model-model berbasis teori ekonomi yang menghasilkan kesimpulan, program seperti apa yang efektif menurunkan kemiskinan.
”Kombinasi keterlibatan langsung di lapangan, dipadu dengan kemampuan intelektual, membantu pemberian solusi praktis untuk pemberantasan kemiskinan di dunia,” kata Kremer yang meraih gelar doktor ekonomi dari Harvard pada 1992.
Kremer pernah menjadi pengajar di MIT 1993-1994. Dari sini Kremer juga bersinggungan dengan Banerjee dan Duflo, pasangan suami-istri.
Pasangan unik
Kisah pasangan ini unik. Duflo melanjutkan studi di MIT setelah selesai dari Ecole Normale Superieure, sebuah universitas elite di Paris, basis pelatihan penting bagi para akademisi Perancis. Dia meninggalkan Perancis untuk belajar di MIT dan lulus doktor ekonomi pada 1999 serta menjadi dosen di MIT.
Duflo jatuh cinta pada dosen pembimbing doktoralnya, Banerjee. Pencinta musik klasik ini putri dari seorang ayah yang ahli matematika, Michael Duflo, dengan ibu bernama Violaine, spesialisasi dokter anak-anak dengan segala penyakitnya. Violaine mengajarkan kepada Duflo untuk mendedikasikan diri pada kaum yang tidak lebih beruntung darinya.
Banerjee sendiri tipe disiplin soal tidur dan harus segar fisik karena dia tertantang memikirkan bagaimana teori ekonomi bisa berdampak nyata pada warga tertinggal. Banerjee lulusan sarjana ekonomi dari University of Calcutta, gelar master dari Jawaharlal Nehru University di New Delhi, dan meraih gelar doktor di Harvard University pada 1988.
Setelah mengajar di Princeton University, dan sempat setahun di Harvard, Banerjee bergabung ke MIT pada 1993. Di sinilah Banerjee-Duflo bertemu dan menikah serta menjadi sejoli mendekati sempurna. Sebagai pasangan, mereka terbantu karena saling mendukung dan sesama akademisi yang tertarik pada kaum papa. Duflo dan Banerjee tidak yakin ekonomi bisa diterapkan hanya dengan diskusi di meja semata, tetapi harus turun ke lapangan.
Temuan-temuan
Di lapangan mereka mendengar orang-orang yang terlibat, seperti pihak lembaga swadaya masyarakat. Mereka bertemu para ibu, bapak, dan anak-anak miskin di desa-desa India dan sejumlah negara, termasuk Indonesia. Dari sini mereka mendalami bagaimana agar dana dan program pemberantasan kemiskinan berhasil serta tidak sia-sia.
Ditemukanlah, misalnya, vaksinasi di India sukses karena ada program yang memberikan insentif kepada para ibu. Ada hadiah berupa kacang-kacangan, salah satu bahan makanan penting di India, agar para ibu membawa anak-anaknya untuk imunisasi. Ini berhasil.
Ditemukan juga, anak-anak miskin bebas dari penyakit cacing dengan trik tertentu. Kepada para ibu diberikan obat gratis, bukan obat pil dengan harga subsidi. Obat gratis ini berhasil mendorong para ibu membuat anak-anak mereka mau menelan pil pencegah penyakit cacingan.
Akan tetapi, tidak semua otomatis dengan program subsidi. Ada kalanya produk murah dari pemerintah, seperti pestisida dan pupuk, melekat dengan kesan kualitas yang rendahan. Maka, advokasi dan rangsangan serta penjelasan amat perlu diberikan kepada para warga desa.
Soal pendidikan, ditemukan pemberian buku-buku pelajaran dan pemberian makanan gratis di sekolah tidak menaikkan kualitas murid. Kemudian, fokus perhatian diarahkan kepada murid-murid yang kurang mampu mencerna pendidikan. Untuk ini, didorong peran para guru honor dengan insentif, agar fokus memperhatian pada murid. Para guru honor ini diberi insentif, termasuk janji diangkat sebagai pegawai negeri.
Akan tetapi, juga ditemukan fakta di banyak sekolah, jika para guru tak merasa dihargai, kehadiran para guru reguler dan honorer menjadi rendah. Para guru diberi insentif jika berjanji hadir penuh di sekolah, termasuk diawasi lewat kamera. Namun, ditemukan juga fenomena, guru-guru sekolah reguler malah menjadi santai dan mengandalkan atau menyerahkan pengajaran kepada guru honorer.
Kasus lain, tidak semua pelajaran bisa diserap secara efektif oleh para siswa sehingga pendidikan lebih fokus pada pelajaran dasar matematika dan kemampuan baca tulis.
Ditemukan juga pusat-pusat pelayanan kesehatan di desa-desa miskin ternyata tidak didatangi warga. Banyak pusat layanan ini yang tidak berkualitas, buruk bangunannya, dan pegawai kesehatannya sering tidak berada di tempat. Jarak layanan kesehatan juga tak terjangkau. Dari sini berkembang ide agar pusat-pusat kesehatan diperbarui dan kehadiran petugas kesehatan rutin hadir. Klinik-klinik berjalan pun digencarkan.
Soal pemberdayaan jender, satu hal menarik ditemukan di India. Para perempuan yang menjadi lurah lebih dipercayai ketimbang lurah lelaki atau bapak-bapak. Potensi terpilihnya lurah perempuan lebih tinggi.
Inilah juga yang diapresiasi panitia Nobel. Tiga ekonom ini membatasi skop penelitian, tidak terlalu umum. Eksperimen-eksperimen mereka dibatasi pada isu-isu tertentu, misalnya khusus soal pendidikan, kesehatan, dan kredit mikro, sehingga terfokus hasilnya. Dengan demikian, program subsidi soal pemberantasan kemiskinan lebih efektif pelaksanaannya.
Akhirnya, tiga ekonom ini juga mendapatkan apresiasi dari Presiden India Ram Nath Kovind, Perdana Menteri India Narendra Modi, hingga para politisi India. Presiden Perancis Emmanuel Macron juga memberikan ucapan selamat.  ***