DISRUPSI EKONOMI
Tantangan Periode II Jokowi
Tidak lama lagi Presiden Jokowi akan memulai periode kedua pemerin- tahannya. Ada persamaan antara permulaan pemerintahan periode kedua dengan periode pertama di tahun 2014.
Disrupsi lingkungan kebijakan
Perubahan lingkungan kebijakan baik dalam maupun luar negeri — seperti pergeseran aliansi dunia, perang dagang, perubahan demografis dan perilaku pelaku-pelaku ekonomi — akan menjadi tantangan terbesar. Kebijakan-kebijakan yang akan diambil tidak dapat lagi hanya menggantungkan diri pada pakem teori konvensional tanpa ada penyesuaian.
Contoh pertama dari negara Paman Sam, adalah penurunan suku bunga bank sentral AS pada saat masih terdapat ketidaksepakatan tentang waktu tibanya resesi. Pendapat ini didasarkan atas argumen bahwa resesi kali ini adalah buatan manusia akibat perang dagang antara dua lokomotif penggerak perekonomian dunia, AS dan China. Apalagi, data tingkat pengangguran masih menunjukkan ekspansi kesempatan kerja di AS, walaupun data-data sektor keuangan sudah menunjukkan ke arah tibanya resesi di pertengahan atau penghujung tahun 2020.
Contoh lain adalah perilaku pemodal di AS terhadap perubahan kebijakan suku bunga bank sentral AS. Penurunan suku bunga bank sentral AS untuk mendorong perekonomian malahan membuat pemodal tambah khawatir bahwa resesi kian dekat, sehingga mereka memindahkan dananya ke negara-negara Asia yang prospektif. Hal-hal tersebut mengundang beberapa kritik terhadap beberapa kerangka berpikir yang berpengaruh dalam pengambilan kebijakan ekonomi, misalnya model pengelolaan makroekonomi jangka pendek IS-LM.
Contoh di dalam negeri adalah kesulitan dalam menganalisis perilaku masyarakat dan pebisnis. Terdapat perbedaan antara ekspektasi dan realisasi data ekonomi. Indeks keyakinan konsumen (IKK) untuk bulan September mengalami pelemahan dari 123,1 di bulan sebelumnya menjadi 121,8, melanjutkan tren penurunan sejak Juli 2019. Walaupun demikian data riil menunjukkan hal sebaliknya.
Pertumbuhan konsumsi masyarakat pada triwulan II-2019 adalah 5,17 persen (year on year/yoy), naik cukup signifikan dibandingkan dengan 5,05 persen yoy pada triwulan I-2019. Jika ditelusuri lebih jauh, kesehatan dan pendidikan menjadi kelompok pengeluaran yang tumbuh paling cepat di atas pertumbuhan konsumsi masyarakat dengan 6,63 persen yoy, naik signifikan dari 5,71 persen pada periode sebelumnya.
Sementara, di tempat kedua adalah pengeluaran hotel dan restoran sebesar 5,82 persen yoy, naik dari 5,37 persen. Tampaknya yang dikorbankan adalah pengeluaran transportasi yang dua triwulan berturut-turut turun dari 6,14 persen dan 5,93 persen dari triwulan IV- 2018 dan triwulan I-2019 menjadi 4,67 persen pada triwulan II-2019. Pola ini dipengaruhi oleh dimulainya tahun ajaran baru pada bulan Agustus-September. Pola ini terlihat di tahun 2015, 2016 dan 2017, tetapi tidak muncul di 2018.
Dari sisi pebisnis, setelah mencapai titik terlemah pada Maret 2019 sejak tahun 2017, Indeks Tendensi Bisnis (ITB) terus membaik. Pada bulan Agustus 2019 ITB mencapai skor 108,1 dibandingkan dengan 102,1 pada triwulan I-2019. Gambaran di atas berlawanan dengan yang terekam di data PDB Indonesia. Pertumbuhan investasi tidak banyak beranjak dari sedikit di atas 5 persen yoy baik untuk triwulan I maupun triwulan II-2019. Gambaran ini didukung oleh industri mesin dan perlengkapan yang mencatat pertumbuhan negatif 3,96 persen.
Pergeseran pola belanja ini bersama dengan berita-berita tentang perang dagang dan resesi dunia tampaknya menjelaskan mengapa masyarakat menahan pengeluaran untuk barang-barang tahan lama, akan tetapi tetap mempertahankan pendidikan dan kesehatan serta hotel dan restoran. Hal ini tercermin dari pertumbuhan negatif dua triwulan terakhir berturut-turut untuk industri alat angkutan, sebesar minus 6,63 dan 3,73 persen yoy. Hal sama terjadi untuk industri barang-barang elektronik dan komputer yang mengalami pertumbuhan negatif 2,52 persen triwulan II-2019.
Ekspektasi tampaknya tidak selalu sama dengan perilaku di lapangan. Apalagi jika ditelusuri sampa ke data mikro, yang lebih mencerminkan tingkah laku individu pelaku ekonomi. Ketidakkonsistenan data makro dan mikro timbul dari disrupsi teknologi. Perkembangan teknologi informasi telah membuat sumber informasi menjadi sangat beragam dan menyimpulkannya merupakan privasi masing-masing pelaku ekonomi.
Walaupun tidak terdeteksi dari survei Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), situasi wait and see menjelang penentuan menteri-menteri kabinet Presiden Jokowi periode kedua juga turut memengaruhi perilaku masyarakat dan pebisnis. Revolusi teknologi informasi menimbulkan kebutuhan untuk menelaah reaksi dari masyarakat yang berpotensi terkena berbagai kebijakan dalam periode kedua nanti. Pada periode kedua, pemerintah akan menghadapi masyarakat yang semakin kritis dengan kinerja pemerintahan. Hal ini mengingatkan pada model reputasi, kredibilitas dan time-incosistency yang mulai dikembangkan di tahun 1990-an oleh Alesina, Roubini dan Cohen [1997] dan Kydland dan Prescott [1982).
Dalam model ini berita-berita negatif entah benar atau tidak akan cepat diterima sebagai kebenaran jika tidak ada alternatif informasi. Sebaliknya berita-berita positif akan diverifikasi berulang-ulang sebelum dapat memengaruhi perilaku masyarakat. Pemerintah dan masyarakat akan saling mengevaluasi sebelum berinteraksi dalam jangka panjang untuk membentuk rasa saling percaya (intertemporal game).
Apa yang perlu diperkuat
Untuk itu ada beberapa hal yang dapat diperkuat. Pertama, adalah untuk menuntun ekspektasi masyarakat dengan membuat sinyal kuat tentang arah kebijakan-kebijakan pada periode kedua. Hal ini sudah dilakukan pemerintah dalam berbagai kesempatan, misalnya pidato Presiden di Sentul dan pengantar Nota Keuangan beberapa waktu yang lalu. Penekanan pada pembangunan SDM dan memperjelas kebijakan-kebijakan turunannya yang akan dilakukan di bidang pendidikan di segala tingkat termasuk vokasi dan perguruan tinggi.
Laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF) yang menyatakan Indonesia turun peringkat dari posisi 45 ke 50 tidak perlu menimbulkan kepanikan, tetapi justru menunjukkan bahwa prioritas kebijakan pada periode kedua sudah pada jalur yang tepat. Skor Indonesia tidak terlalu berubah hanya turun 0,3 poin, masih di atas beberapa negara Asia Tenggara seperti Vietnam dan Filipina. Hal ini terjadi karena terutama untuk indikator-indikator yang terkait SDM.
Kedua adalah penekanan pada keberlanjutan dari yang sudah dilakukan pada periode pertama (continuous improvement). Pembangunan infrastruktur tulang punggung dilanjutkan dengan pembangunan infrastruktur pendukung yang menghubungkan pelosok-pelosok daerah dengan daerah-daerah aglomerasi utama penduduk dan industri.
Hal ini dilakukan untuk menyalurkan daya beli masyarakat kelas menengah dari daerah perkotaan ke daerah pedesaan/perbatasan dan meningkatkan akses penduduk pedesaan ke perkotaan baik untuk perdagangan, keuangan dan mobilitas tenaga kerja, untuk menciptakan pertumbuhan yang inklusif.
Ketiga adalah peningkatan kualitas kebijakan. Sesuai dengan prediksi model reputasi dan kredibilitas yang menggunakan pendekatan game theory, hubungan antara pembuat kebijakan dan masyarakat berubah menjadi interaksi dua arah di mana kedua belah pihak saling mengevaluasi.
Teknologi high performance computing (HPC) dengan data analitiknya yang tersebar di berbagai kementerian— termasuk Biro Pusat Statistik —dapat digunakan untuk mengevaluasi apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dan mengoordinasi kegiatan pada tingkat kemenko, dengan menggunakan data historis maupun real time. Kemampuan evaluasi ini akan menjadi daya tawar (leverage) bagi kantor kemenko untuk meciptakan sinergi pada kementrian-kementrian yang menjadi ruang lingkup kerjanya. HPC dapat juga mempermudah harmonisasi peraturan-peraturan yang tumpang tindih baik di pusat dan daerah yang menghambat investasi.
Keempat adalah memasukkan unit intelijen bisnis di perwakilan-perwakilan Indonesia di luar negeri. Untuk memperkenalkan Indonesia tak cukup hanya mengadakan pameran dagang tetapi dilanjutkan dengan membuat brosur yang menunjukkan proses investasi di Indonesia sampai ke lokasi produksi disertai dengan pendampingan dan pelobi, sehingga baik pebisnis baru maupun yang akan melakukan relokasi lebih mudah mengambil keputusan. Perizinan yang tumpang-tindih antara pusat daerah dapat diharmonisasikan pada tingkat menko dengan bantuan HPC.
Untuk melakukan implementasi di lokasi tujuan investasi di daerah, pemerintah dapat menggunakan leverage melalui transfer pusat-daerah terutama melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) dan penentuan lokasi pembangunan infrastruktur seperti halnya negara-negara yang mempunyai luas teritori dan penduduk besar lainnya seperti AS, Brasil, India dan lain-lain.
Sebagai penutup, lingkungan kebijakan seperti struktur ekonomi, struktur demografis, perilaku masyarakat, teknologi dan aliansi internasional memang sudah berubah. Dalam hal kecakapan perseorangan sebagai birokrat, yang dibutuhkan adalah kemampuan memecahkan masalah yang kompleks, berpikir abstrak (helicopter view), kreatif, sekaligus implementatif menghasilkan solusi. Dari segi organisasi, diperlukan struktur yang datar (flat), tidak berjenjang terlalu banyak, sehingga luwes dan gesit dalam menghadapi dinamika perubahan lingkungan kebijakan.
(Ari Kuncoro ; Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar