Draf RUU Pertanahan memang tak bersesuaian dengan Nawacita, visi-misi, dan Program Aksi Jokowi-Jusuf Kalla. Dalam rapat terbatas RUU Pertanahan, 22 Maret 2017, Presiden menegaskan, semua regulasi ihwal pertanahan harus sejalan dengan reformasi agraria yang diinginkan pemerintah, yakni mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Tanah tak boleh hanya dikuasai segelintir orang atau badan usaha karena bisa memicu ketimpangan tajam.
Kedua, setiap regulasi pertanahan harus mampu menyelesaikan pelbagai masalah pertanahan, seperti sengketa kepemilikan tanah antarmasyarakat ataupun antara masyarakat dan perusahaan. Ketiga, pengaturan pertanahan memerlukan sistem hukum dan administrasi pertanahan yang komprehensif dan visioner, tak tambal sulam dan bertahan dalam jangka waktu lama. Menurut Presiden Jokowi, pengaturan pertanahan harus mampu keluar dari sektoralisme, tak tumpang tindih, tak saling berbenturan.
Keempat, pengaturan pertanahan harus dapat mengatur permasalahan tanah telantar. Karena itu, perlu diatur kewenangan mencabut serta mengambil izin dan hak guna usaha yang terbukti tak produktif dan tak dimanfaatkan, serta selanjutnya diredistribusi demi dimanfaatkan secara maksimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam rapat terbatas mengenai RUU Pertanahan selanjutnya, 12 Agustus 2019, Presiden telah menerima laporan perkembangan dan meminta penyelesaian masalah yang dihadapi sebelum pemerintahan berakhir pada Oktober 2019.
Tidak tepat
Penulis berpendapat alasan utama RUU ini—yakni perlunya pengaturan menuju single land administration system—dilakukan pihak yang tak tepat. RUU ini tak memenuhi satu prasyarat fundamental: kesediaan pihak yang akan menjadi pengatur ikut partisipasi dalam pembuatan pengaturan itu. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyampaikan keberatan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam laporan 20 Agustus 2019. Isinya, usul materi pengaturan dalam RUU itu tidak utuh, mengandung cacat formal, mengandung langkah pemutihan atas pelanggaran perbuatan hukum dalam kawasan hutan negara (perkebunan sawit di luar Jawa dan permukiman/industri di hutan Jawa), serta berpotensi rancu dunia usaha (daftar ulang dalam setahun untuk yang berizin lama ataupun baru, diselesaikan batas ulang lima tahun, dan akan selesai sistem pendaftaran dalam 10 tahun).
Prinsip jalan terus yang dianut promotor RUU di parlemen dan pemerintah akan menuai risiko tak terkirakan sehubungan dengan muatan RUU ini tak dapat tertangani. Aturan yang dikandungnya tak bisa berjalan, dan pembagian kerja antara yurisdiksi, teritori, dan kewenangan yang diurus BPN dan sektor lain dikocok ulang tanpa pengaturan memadai.
Jelas terlihat bagaimana acuan yang ada dan sudah dipakai dirancukan. Penilaian Sofyan Djalil, Menteri ATR/Kepala BPN, bahwa UU Pokok Agraria (No 5/1960) yang sudah hampir 60 tahun itu tak relevan dengan perkembangan zaman sesungguhnya berfungsi sebagai pemberi jalan pembaca menyetujui RUU Pertanahan tanpa merasa perlu lagi mempertanyakan apa saja spesifikasi kritik atas UU PA dan apa maksud RUU ini.
Para pemerhati RUU Pertanahan frustrasi dengan cara kerja Panja DPR yang membahas perubahan pasal demi pasal. Pembahasan Panja RUU Pertanahan DPR selayaknya didasari naskah akademik terus-menerus. Ironisnya, naskah akademik diperlakukan ibarat ”proposal proyek”, tugas selesai setelah disetujui.
Daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diajukan pemerintah menanggapi draf RUU Pertanahan yang diserahkan DPR kepada Presiden ternyata tak didasari suatu naskah akademik komprehensif, lebih berisikan butir-butir komentar pasal per pasal yang bermuara pada pernyataan disetujui, ditolak, atau dimodifikasi.
Belum lagi budaya birokrasi pemerintah pusat yang cenderung sama-sama kerja dengan partitur masing-masing. Pada budaya inilah permasalahan sektoralisme dalam pembuatan perundang-undangan berada. Tentu hal ini tak lagi spesifik perihal RUU Pertanahan, tetapi secara umum pada kelembagaan, proses, dan mekanisme dalam legislasi nasional. Presiden telah menjadikan hal ini sebagai agenda pemerintahan di masa datang.
Masih sektoral
Memberi penugasan pembuatan draf naskah akademik dan usulan RUU kepada kementerian tertentu membuat sektoralisme berlangsung kian kuat dan kronis, terlebih ketika satu unit dalam kementerian itu membuatnya sebagai proyek pengadaan pihak ketiga. Pada kasus RUU Pertanahan inisiatif DPR ini, kesiapan BPN mempromosikan telah dimulai semasa BPN meminta, bekerja sama, dan mendapat asistensi teknis dari Bank Pembangunan Asia (ADB) pada 2007.
Meski dalam proyek terdapat kelompok kerja hukum dan teknis yang menyertakan komponen multisektor, serta ada keharusan konsultasi multipihak, draf RUU hasil proyek ini tak menunjukkan hasil orkestrasi bersama.
Sejak didirikan pada 1998, BPN adalah suatu lembaga pemerintah nondepartemen, yang meningkat statusnya sebagai kementerian tahun 2014 dalam kabinet Jokowi-Kalla. Interaksi kelembagaan Kementerian ATR/BPN dengan Kementerian LHK belum sampai pada tingkat bekerja sama dalam satu partitur dan jadi harmonis.
Syukurlah, Presiden telah menunda pengesahan RUU Pertanahan. Presiden bisa memberi naskah RUU itu kepada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Badan Pembinaan Hukum Nasional, LIPI, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan perguruan tinggi negeri serta meminta mereka membahas untuk memberi pandangan ilmiah dan rekomendasi.
Sesungguhnya lembaga tersebut dapat inisiatif sendiri dan membangun kerja sama atau berjaringan mengkaji RUU ini. Pertanyaan pokok, apakah RUU Pertanahan secara formal ataupun materiil bersesuaian dengan norma dasar dalam UUD 1945, putusan MK, dan TAP MPR RI No IX/MPR RI/2001, serta berbagai UU yang berlaku. Selain itu, sebagai pihak yang dibiayai APBN, semua lembaga tersebut dapat menyadari keperluan presiden bahwa semua regulasi mengenai pertanahan harus sejalan dengan reforma agraria yang pemerintah gariskan untuk mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah.
(Noer Fauzi Rachman ; Peneliti Politik dan Kebijakan Agraria Indonesia)