Tata kelola impor pangan yang buruk kembali tersaji luas ke ranah publik. Lewat operasi tangkap tangan, Komisi Pemberantasan Korupsi belum lama ini mencokok 12 orang dan kemudian menetapkan enam orang di antaranya sebagai tersangka. Nyoman Dhamantra, anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, adalah salah satu dari mereka. Menurut KPK, mereka terlibat laku lancung pengurusan izin impor bawang putih 20.000 ton. Nyoman, lewat orang kepercayaannya, meminta komitmen fee Rp 3,5 miliar dan fee impor Rp 1.700-Rp 1.800 per kilogram. Realisasi fee Rp 2 miliar diterima Nyoman.
Ini seperti mengulang kasus serupa sebelumnya. Pada 2016, Ketua DPD Irman Gusman dicokok KPK saat tertangkap tangan terima suap Rp 100 juta dalam penentuan kuota impor gula. Irman mengajukan peninjauan kembali atas vonis 4,5 tahun penjara. Tiga tahun sebelumnya, KPK menangkap Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq dalam suap impor daging sapi.
Di tingkat kasasi, Luthfi divonis 18 tahun penjara dan dicabut hak politiknya. Irman dan Luthfi memperdagangkan pengaruh dengan memanfaatkan jabatan.
Mengapa korupsi dalam impor pangan berulang? Korupsi dalam impor pangan berurat akar dari kebijakan pengendalian impor berbasis rezim kuota. Intinya, pemerintah membagi kuota (jatah) impor kepada importir sesuai dengan kebutuhan di dalam negeri. Rezim kuota impor berpotensi melahirkan masalah hukum, baik dari aspek pidana maupun hukum persaingan usaha.
Secara pidana, rezim kuota bisa memfasilitasi persekongkolan antara pemberi dan calon penerima kuota. Sementara dari sisi hukum persaingan usaha, rezim kuota berpotensi memfasilitasi terjadinya praktik kartel, yaitu persekongkolan antar pelaku usaha dalam menetapkan harga dan mengatur pasokan ke pasar (Rauf, 2016).
Rezim kuota dikendalikan lewat surat persetujuan impor (SPI) yang otoritasnya di Kementerian Perdagangan. Untuk produk tertentu, produk hortikultura, seperti bawang putih, importir mesti mengantongi rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) terlebih dahulu dari kementerian teknis, dalam hal ini Kementerian Pertanian, sebelum mengajukan SPI.
Sebagian ekonom berpandangan, kebijakan (RIPH dan SPI) itu ibarat barang dagangan yang ada harganya. Harga ditentukan oleh pasar. Ketika pasokan kecil (karena kuota) sedangkan permintaan tinggi, harganya akan tinggi.
Penetapan penerima kuota impor yang tidak transparan membuka celah terjadinya korupsi, transaksi gelap, dan hanky-panky. Tak tertutup kemungkinan kuota impor hanya terkonsentrasi pada segelintir grup perusahaan. Ini kemudian membuat struktur pasar komoditas pangan jadi oligopoli, terpusat pada hanya secuil pemain besar.
Karena, dalam banyak kasus, pemegang kuota impor juga mengendalikan pasokan pangan produksi lokal. Ujung- ujungnya, rezim kuota impor berbuah kelangkaan dan persistensi kenaikan harga komoditas pangan di dalam negeri. Produsen dan konsumen sama-sama dirugikan.
Disparitas harga
Suburnya perburuan rente dalam impor pangan tidak terlepas dari begitu besarnya disparitas harga antara harga di dalam negeri dan harga internasional. Disparitas ini tidak hanya memberikan keuntungan luar biasa bagi penerima kuota, tetapi juga memberi insentif bagi calon penerima kuota untuk menyuap dalam jumlah yang amat besar. Dalam kasus bawang putih, misalnya, rata-rata harga bawang putih impor 2018 sebesar 0,85 dollar AS per kg (Rp 12.197 per kg). Di pasar domestik, harga jual bisa Rp 30.000 per kg, bahkan Rp 50.000 per kg. Potensi keuntungan yang eksesif inilah yang membuat ngiler banyak pihak.
Impor pangan masih akan menjadi aktivitas rutin Indonesia ke depan, terutama untuk pangan yang tidak bisa kita hasilkan sendiri atau yang produksi domestik masih kurang. Ini terjadi pada banyak komoditas penting: beras, jagung, gula, kedelai, gandum, ubi kayu, bawang putih, garam, daging sapi, dan susu. Sepuluh komoditas ini bukan hanya nilai impornya tinggi, secara volume juga besar.
Pada 2018, tujuh komoditas pertama volume impornya mencapai 27,3 juta ton, naik dari 21,7 juta ton pada 2014 (Santosa, 2019). Dari sisi nilai, impor bawang putih saja sebesar 582.000 ton pada 2018 mencapai 497 juta dollar AS (Rp 7,1 triliun). Nilai yang besar dan faktor kali dari volume ini menjadi insentif menarik bagi pemburu rente untuk melanggengkan tata kelola impor tetap karut-marut.
Dari tiga kasus korupsi impor pangan, praktik ini terjadi melibatkan tiga pihak: pengusaha sebagai penyuap, birokrat sebagai pemberi izin impor atau kuota, dan politikus yang memperdagangkan pengaruh. Dalam jangka pendek, tak mudah mengikis praktik culas ini. Diperlukan langkah untuk mengikis dua penyakit kronis sekaligus, yaitu korupsi dalam penetapan penerima kuota impor dan praktik kartel pangan dari pemberian kuota yang tak transparan.
Pertama, di hulu pemerintah harus menggenjot produktivitas dan efisiensi di sektor pertanian, terutama komoditas yang penting. Langkah ini bertujuan menekan disparitas biaya produksi dan harga pangan domestik dengan harga pasar dunia.
Kedua, mengubah sistem pengendalian impor dari rezim kuota ke rezim tarif. Rezim tarif selain transparan juga adil karena memberi peluang yang sama kepada semua pelaku usaha untuk mengimpor dengan membayar tarif yang ditetapkan. Lebih dari itu, perolehan tarif juga masuk kas negara, tidak mengalir ke kantong para pencoleng seperti selama ini.
Ketiga, dalam jangka pendek, perlu transparansi dalam penetapan penerima kuota impor. Ini bisa ditempuh dengan menggelar tender terbuka disertai persyaratan harga jual di pasar lokal. Langkah ini selain menutup peluang moral hazard juga melindungi konsumen dari kenaikan harga yang tidak masuk di akal.
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia; Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan Pusat