Demam babi Afrika (African swine fever/ASF) adalah penyakit virus yang menyerang babi dengan angka kematian mendekati 100 persen. Tadinya penyakit ini hampir dilupakan dunia karena dianggap hanya menyebar dan endemik di Afrika. Sejak muncul pertama kali di Kenya 1921, ASF berkontribusi pada kemiskinan dan malnutrisi di 27 negara Afrika.
ASF pertama kali menyebar keluar Afrika sejak ditemukan di Portugal dan Spanyol pada 1960-an. Setelah itu menyebar ke hampir seluruh negara di Eropa Barat 1970-1990 dan ke hampir seluruh di Eropa Timur pada 2007 hingga kini. Meski akhirnya juga endemik di Eropa, tak banyak para ahli tertarik meneliti penyakit ini. Tak heran mengapa lebih dari 60 tahun tak banyak tulisan dipublikasikan tentang penyakit ini dan dianggap tetap jadi misteri bagi para ahli dunia.
Saat ini Indonesia sangat khawatir akan ancaman masuknya ASF setelah muncul wabah pertama kali di China, Agustus 2018. Dalam sembilan bulan hingga September 2019, ASF telah menyebar ke 10 negara Asia: Mongolia, Vietnam, Kamboja, Hong Kong, Korea Utara, Laos, Myanmar, Filipina, Korea Selatan, dan Timor Leste.
Virus ASF yang sangat menular telah menjangkiti lebih dari 200 juta ekor babi di seluruh China. Populasi babi di China sekitar 440 juta (2018), lebih dari setengah populasi babi dunia, sehingga China produsen babi terbesar di dunia. Vietnam memiliki 27 juta dan Filipina 13 juta ekor babi.
Sejumlah negara melakukan pemusnahan babi secara besar-besaran dalam upaya menghentikan penyebaran. Jumlah yang telah dimusnahkan di China 1,2 juta ekor. Diperkirakan 60 persen dari seluruh babi di China akan musnah oleh penyakit ini. Vietnam telah memusnahkan 4,8 juta ekor, 18 persen dari populasi babi di negara tersebut. Penyakit ini menyebar sepanjang Asia Tenggara pada tingkat yang mengkhawatirkan. Dengan tertularnya Filipina dan Timor Leste, ancaman kian dekat dengan Indonesia.
Sulit diberantas
Tantangan besar yang dihadapi Asia adalah bagaimana menghentikan penyebaran mengingat belum ada vaksin dan virus bertahan sedemikian rupa di lingkungan. Ditambah lagi kepadatan babi yang luar biasa di wilayah ini yang umumnya dipelihara dalam kondisi biosekuriti rendah. Virus ditemukan pada seluruh cairan dan jaringan tubuh dari babi yang terinfeksi.
Penyakit menyebar melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi atau karena makan sisa-sisa yang mengandung daging babi atau produk daging babi yang tak diproses. Babi yang sembuh dari infeksi dapat membawa virus selama beberapa bulan di tubuhnya.
Virus sangat stabil dalam produk daging dan lingkungan. Meski telah melalui pengolahan, pengemasan, dan pengangkutan, produk daging yang terkontaminasi pada sumbernya  dapat tetap mampu menyebarkan penyakit. Lalat, caplak, dan insekta lain juga dapat menyebarkan virus antar-babi, begitu juga bangunan kandang, kendaraan, alat, atau pakaian yang terkontaminasi.
Pembersihan secara reguler kandang babi, peralatan, alat angkut, dan fasilitas lain tak mampu membunuh virus. Virus dapat bertahan pada temperatur sangat rendah. Resistensi virus yang tinggi dan belum adanya vaksin membuat pengendalian ASF menjadi sangat sulit.
Meski tak menular ke manusia, tetapi menyebabkan kerugian ekonomi sangat besar, berdampak pada perdagangan, mengancam ketahanan pangan, dan membatasi produksi babi di negara tertular. Daging sumber protein penting di sebagian besar negara Asia yang terjangkit ASF. Konsumsi daging babi per kapita China (2018) 39,9 kg, Vietnam 30,4 kg, dan Filipina 15,4 kg. Kelangkaan daging babi telah mengganggu stabilitas sosial di China, bahkan wabah diprediksi akan mengancam rantai suplai daging babi global.
Pemusnahan massal untuk menghentikan penyebaran penyakit, bersamaan dengan upaya pembatasan pergerakan babi, telah menghancurkan mata pencarian produsen babi, memotong produksi daging babi, dan mendorong harga konsumen lebih tinggi.
Seorang ahli dari City University Hong Kong menyebut ASF di Asia sebagai wabah penyakit hewan terbesar yang pernah terjadi di dunia. Dampak wabah penyakit mulut dan kuku dan penyakit sapi gila seperti tak berarti apa-apa dibandingkan dengan kerusakan akibat ASF dan tak ada cara menghentikan penyebaran. Badan Pangan dan Pertanian Dunia mengindikasikan kerugian akibat ASF merepresentasikan lebih dari 10 persen total populasi babi di China, Vietnam, dan Mongolia.
Dampak bagi Indonesia
Tentu harus diantisipasi cermat jika penyakit ini masuk ke Indonesia. Populasi babi kita sekitar 8,5 juta (2019). Kendati sekitar 80 persen populasi Indonesia adalah Muslim, babi tetap spesies penting. Sekitar 5,7 juta ekor (72 persen) terkonsentrasi di NTT, Sumut, Papua, Sulsel, Bali, dan Sulut.
Menurut BPS, ada sekitar 1,2 juta rumah tangga usaha peternakan babi yang sebagian besar peternak rakyat, ditambah sejumlah kecil peternakan semi-komersial. Konsumsi daging babi kita memang rendah 2,4 kg, tetapi jika kematian babi terus meluas bisa menyebabkan kekurangan produksi daging babi domestik sampai 50 persen, seperti di China.
Satu-satunya perusahaan industri babi berorientasi ekspor berlokasi di Pulau Bulan, Kepulauan Riau, mengekspor sekitar 1.000 ekor babi hidup ke Singapura per hari. Apabila Singapura menghentikan keseluruhan perdagangan babi akibat ASF dari Indonesia, diperkirakan nilai ekspor yang hilang Rp 3,05 triliun (BPS, 2018).
Pembatasan lalu lintas antardaerah akan menyebabkan kerugian lebih besar lagi. Dampak yang perlu diperhitungkan ialah hilangnya pendapatan peternak, naiknya harga domestik, berkurangnya penjualan pabrik pakan, dan berkurangnya daging babi untuk digunakan saat upacara adat atau budaya bagi masyarakat daerah tertentu.
Kesiapsiagaan harus menjadi perhatian utama pemerintah dan masyarakat peternak. Dengan menyiapkan kemampuan diagnosis laboratorium, meningkatkan pengawasan impor daging babi dan produknya, termasuk barang bawaan yang mungkin mengandung produk daging babi di perbatasan darat, laut, dan udara. Pemerintah perlu mempersiapkan rencana kontingensi dan prosedur penanggulangan wabah, menurunkan sesegera mungkin tim pengendali ke daerah jika sewaktu-waktu muncul wabah.
 Tri Satya Putri Naipospos ; Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS)