Resesi selalu diperdebatkan, sebelum akhirnya terjadi. Itulah mengapa biasanya resesi terlambat diantisipasi karena tak segera diambil aksi.
Secara umum, resesi selalu punya dua dimensi, yaitu kerentanan ekonomi (economic vulnerability) sebagai faktor fundamental dan kepanikan sebagai pemicu gejolak. Resesi parah biasanya diakibatkan kelemahan fundamental disertai kepanikan hebat. Keduanya saling memengaruhi secara negatif membentuk gerakan spiral ke bawah (spiraling down), menjerumuskan perekonomian ke jurang resesi dalam.
Menghadapi parahnya kerentanan ekonomi, salah satu kuncinya adalah mereduksi kepanikan. Meski rentan, jika dimitigasi dengan baik dan tak terjadi kepanikan, perekonomian bisa keluar dari resesi tanpa guncangan berarti atau soft landing. Sebaliknya, meski kerentanan tak terlalu besar, jika kepanikan tak terhindarkan dan memicu gejolak, bisa terjadi hard landing atau bahkan crash landing yang memakan banyak korban.
Perilaku panik sering kali membuat kerentanan berubah menjadi petaka. Tak salah jika John Maynard Keynes meyakini perekonomian digerakkan animal spirit yang bisa menjadi ganas saat panik. Senada dengan itu, filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, pernah mengingatkan, ”Waspadalah jika memerankan setan karena bisa jadi akan menampilkan bagian terbaik diri Anda”.
Mengelola ekspektasi sehingga tak memicu kepanikan adalah salah satu kunci menghadapi potensi resesi. Menghadapi risiko global, perekonomian domestik harus dijaga agar tak terjadi kerentanan sehingga memicu kepanikan. Diperlukan beberapa langkah antisipasi yang memadai.
Kerentanan global
Bank Dunia dalam International Debt Statistic 2020 menunjukkan betapa risiko finansial kelompok negara berpenghasilan rendah dan menengah meningkat beberapa tahun terakhir. Jika risiko ini tak dimitigasi, bisa menimbulkan gelombang gagal bayar yang akan memperburuk perekonomian global.
Sejak krisis keuangan global 2008, kelompok negara ini mendapatkan limpahan likuiditas dalam jumlah besar akibat kebijakan suku bunga rendah di negara maju. Pada periode 10 tahun terakhir, banyak negara mengalami peningkatan utang sedikitnya dua kali lipat. Bagi beberapa negara, termasuk Indonesia, melimpahnya likuiditas juga terjadi akibat booming komoditas.
Risiko gagal bayar meningkat sejak kenaikan suku bunga di negara maju, yang diikuti berkurangnya aliran modal ke negara berkembang. Di sisi lain, booming komoditas telah berakhir dan prospek pertumbuhan ekonomi juga menurun akibat perang dagang. Secara umum, kelompok negara ini mengalami peningkatan risiko karena di satu sisi beban utang meningkat, di sisi lain kemampuannya membayar kembali utang menurun akibat pelambatan ekonomi.
Pada 2008, total utang luar negeri Indonesia mencapai 159,9 juta dollar AS dan 2018 nilainya sudah menjadi 369,8 juta dollar AS. Atau mengalami kenaikan hampir dua kali lipat selama 10 tahun. Begitu pun Thailand yang mengalami kenaikan dari 66,6 juta dollar AS pada 2008 menjadi 169,2 miliar dollar AS atau naik 2,5 kali lipat lebih pada 2018. India naik dari 227,1 juta dollar AS menjadi 521,3 juta dollar AS. Vietnam naik drastis sekitar empat kali lipat, dari 26,4 juta dollar AS menjadi 108 juta dollar AS.
Utang tidak bisa hanya dinilai dari besarannya. Mengingat utang adalah kewajiban, maka harus dilihat dari kemampuan mengembalikannya. Pertama, rasio utang luar negeri terhadap penerimaan nasional secara agregat (gross national income). Kedua, rasio utang terhadap penerimaan ekspor.
Pada 2018, rasio utang luar negeri terhadap pendapatan nasional Indonesia 37 persen. Beban utang kita lebih tinggi dibandingkan dengan Thailand yang rasionya 35 persen dan India 19 persen. Jika dibandingkan dengan Vietnam dengan rasio utang luar negeri terhadap pendapatan nasional 47 persen, beban utang luar negeri kita lebih baik. Namun, prospek perekonomian Vietnam lebih baik dari kita sehingga kemampuan bayar kembali kewajiban luar negerinya juga lebih baik.
Jika dilihat dari rasio utang luar negeri terhadap penerimaan ekspor, pada 2018 Indonesia nilainya 170 persen, sementara Thailand hanya 49 persen, India 93 persen, dan Vietnam 42 persen. Jelas sekali, dibandingkan negara lain, kita memiliki persoalan amat serius dengan penerimaan ekspor yang rendah dibandingkan dengan kewajiban melunasi utang luar negeri.
Bagi perekonomian kita, risiko resesi global 2020 akan menjadi pukulan gelombang kedua menyusul pukulan pertama yang diakibatkan penurunan harga komoditas. Berakhirnya booming komoditas telah membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia tak mampu beranjak lebih tinggi dari kisaran 5 persen. Resesi global 2020 berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah 5 persen. Menghadapi situasi ini, salah satu langkah yang harus ditempuh adalah mengurangi utang baru secara proporsional agar tak menimbulkan kerentanan bagi perekonomian.
Risiko korporasi
Jika secara makro perekonomian kita menghadapi peningkatan risiko utang, akibat penurunan kemampuan membayar kembali, begitu pun potret mikronya. Lembaga investasi Moody’s baru saja menerbitkan laporan yang salah satu isinya memperingatkan Indonesia dan India sebagai dua dari 13 negara di Asia Pasifik yang memiliki risiko gagal bayar korporasi paling tinggi. Studi ini mencakup Australia, China, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Taiwan, dan Thailand.
Laporan bertajuk ”Risks from Leveraged Corporates Grows as Macroeconomic Conditions Worsen” ini secara umum menjelaskan suku bunga rendah yang terjadi pada periode cukup lama telah memicu tingginya utang korporasi di kawasan Asia Pasifik. Di tengah meningkatnya utang sektor swasta, dunia menghadapi risiko resesi yang mengakibatkan banyak korporasi berpotensi tak mampu membayar kembali kewajibannya.
Perang dagang antara AS dan China yang berkepanjangan telah memicu pelambatan ekonomi. Siklus pelambatan ini tentu berdampak pada sektor korporasi, di mana secara umum terjadi penurunan penerimaan, bahkan banyak yang menderita kerugian atau bangkrut sehingga tak mampu memenuhi kewajibannya.
Indonesia sebenarnya bukanlah negara dengan rasio utang korporasi besar. Hong Kong memiliki rasio utang korporasi paling tinggi, lebih dari 200 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), disusul China lebih dari 150 persen, Singapura di atas 100 persen, sedangkan Jepang dan Korea utang luar negeri swastanya sekitar 100 persen terhadap PDB.  Sementara rasio utang korporasi Indonesia terhadap PDB tergolong paling rendah atau di bawah 20 persen, masih di bawah India sekitar 45 persen dan Thailand sekitar 50 persen.
Mengapa Indonesia bersama India termasuk yang paling rentan? Pertama, meskipun rasio utang korporasi terhadap PDB rendah, distribusinya tidak aman mengingat banyak perusahaan yang memiliki utang sangat tinggi. Kedua, ketika dilakukan stress test, terjadi penurunan sekitar 25 persen terhadap penerimaan sebelum pajak (EBITDA) sehingga kemampuan melunasi utang juga menurun drastis.
Di Indonesia, korporasi yang sangat bergantung pada harga komoditas mengalami penurunan penerimaan sangat tajam sehingga kelompok perusahaan ini memiliki risiko gagal bayar paling tinggi. Potensi risiko sektor korporasi akan menimbulkan dampak sistemik ketika banyak perusahaan yang mengalami potensi gagal bayar dan melibatkan porsi kredit cukup besar di sektor perbankan.
Sejauh ini, potensi tersebut relatif kecil mengingat utang korporasi berdenominasi mata uang asing hanya 18 persen dari total pinjaman perbankan hingga Mei 2019.
Meski begitu, kita tak boleh lengah karena pada dasarnya neraca korporasi tak sepenuhnya bisa dijamin transparansinya. Merebaknya kasus gagal bayar perusahaan tekstil Duniatex telah membebani neraca perbankan kita. Saham bank BUMN telah terseret kasus kredit macet yang nilainya besar serta upaya penyelamatan Perusahaan Asuransi Jiwasraya (Kontan, 3/10/2019).
Risiko resesi global menjadi momen penting mawas diri. Jangan sampai risiko global justru bertemu dengan kerentanan domestik. Apalagi jika kerentanan dipicu kepanikan tak hanya pada bidang ekonomi, tapi juga politik. Jangan biarkan ”sifat liar seperti binatang” (Keynes), apalagi ”perilaku kesetanan” (Nietzsche), menghantui dinamika ekonomi dan politik bangsa kita ini.
(A Prasetyantoko, Ekonom dan Rektor Unika Atma Jaya)