Hari Pangan Sedunia 16 Oktober tahun ini mengangkat tema “Aksi Kita adalah Masa Depan Kita, Pola Makan Sehat untuk Dunia Tanpa Kelaparan”.  Pola makan dan ‘diet’ manusia telah menunjukkan proses perubahan yang dramatis sebagai akibat dari globalisasi, urbanisasi, dan peningkatan pendapatan.
Secara garis besar perubahan yang terjadi adalah dari pola makan yang didominasi makanan berbasis tanaman musiman kaya serat menjadi makanan kaya tepung-tepungan halus, gula, lemak, garam, dan makanan olahan.
Badan Pangan Dunia (FAO) melaporkan, perubahan ke arah pola makan yang kurang sehat itu berkaitan erat dengan keadaan saat ini di mana di dunia ada 820 juta orang menderita kelaparan, dan pada saat yang sama ada 670 orang dewasa dan 120 juta orang muda (usia 5-19 tahun) serta 40 juta anak di bawah 5 tahun kelebihan berat badan (obese).
Biaya kesehatan yang timbul akibat masalah yang bertentangan itu—kelaparan dan kelebihan berat badan—diperkirakan mencapai 2 triliun dollar AS per tahun.
Pola makan itu juga menimbulkan tekanan lebih besar pada lingkungan hidup, karena cenderung mengacu pada pertanian monokultul skala luas, membutuhkan transportasi dan rantai pasok yang lebih panjang, dan dilakukannya kegiatan pengolahan makanan yang lebih banyak dan intensif. Kesemuanya menciptakan jejak karbon yang lebih besar, serta membutuhkan energi dan sumber daya yang lebih banyak.
Oleh sebab itu, ketahanan pangan, hilangnya kelaparan dan berbagai masalah ketahanan pangan dan gizi lainnya (termasuk obesitas) membutuhkan perubahan pola makan yang lebih baik, lebih sehat, dan juga lebih ramah lingkungan. Hal ini sejalan dengan usaha pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan SDG2 (Tanpa Kelaparan) dan SDG 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab).
Pendekatan konsumsi ini memiliki arti sangat penting dan strategis, terutama karena “konsumen memang raja” yang menentukan tren bisnis pangan, sebagaimana juga ditunjukkan oleh kajian Perhepi (2015) yang memberi indikasi kuatnya pengaruh pola konsumsi pangan (beras) dalam ketahanan pangan masyarakat Indonesia.
Perubahan pola konsumsi
Perlunya mendorong pola makan lebih bergizi, beragam dan berimbang ternyata sesuai perkembangan ‘keinginan’ konsumen pangan di berbagai negara. Laporan Innova Market Insight (Oktober 2019) pada “Anuga 2019” Jerman, salah satu pameran makanan terkemuka di dunia, pola konsumsi masyarakat menunjukkan perubahan yang perlu dicermati.
Pertama, konsumen cenderung kian senang “berpetualang” (adventurous) dalam mengonsumsi makanan. Diperkirakan 17 persen pertumbuhan penjualan makanan diperoleh dari temuan baru dalam hal rasa, tekstur, dan manfaat makanan. Bahkan 65 persen pertumbuhan terjadi pada makanan dan minuman yang mengedepankan cita rasa etnik tradisional.
Kedua, konsumen memang berusaha kian banyak mengonsumsi makanan berbasis tanaman. Sebanyak 54 persen konsumen berusaha menambah porsi buah dan sayur dalam dietnya.  Semakin banyak pula konsumen menerima bahkan mencari produk-produk berbasis tanaman pengganti daging.
Ketiga, konsumen juga semakin memerhatikan dampak produk pada lingkungan, terutama pada penggunaan air, penggunaan bahan kimia tambahan, limbah dan polusi akibat pertanaman asal makanan maupun dari produk makanannya sendiri; serta perhatian yang lebih besar pada fitur-fitur etis (termasuk halal) baik dari produk maupun kemasan produk.
Keempat, dalam pola makanan terjadi peningkatan dalam konsumsi makanan berbentuk kudapan (snack) dari pada ‘makan besar’. Kesibukan, keterbatasan waktu, dan gaya hidup urban jadi penyebab utama.
Sebanyak 63 persen milenial menyatakan kian sering mengganti makan besar dengan makan kudapan, 70 persen mencari alternatif kudapan yang lebih sehat, dan terjadi 30 persen pertumbuhan penjualan pada kudapan berbasis sayuran.
Kelima, konsumen semakin memerhatikan komposisi makanan yang bersifat pribadi. Pola makanan yang dianggap tepat tak lagi bersifat umum tetapi tergantung kondisi fisik dan aktivitas masing-masing pribadi.
Berbagai tawaran model diet (yang tak lagi berarti mengurangi makan tapi mengatur makan) turut mendorong perkembangan ini. Namun di antara jenis makanan yang hampir selalu dipentingkan dalam aneka bentuk diet itu adalah yang beri asupan serat tanaman.
Keenam, konsumen kian menghargai penyedia makanan lokal skala kecil, baik bahan makanan, makanan jadi, atau makanan olahan. Konsumen memandang makanan lokal lebih sesuai selera, lebih beragam, dan lebih sehat; serta memberi nilai tambah lain seperti nilai etnik budaya, nostalgia, dan nilai-nilai personal lain.
Ketujuh, perkembangan bisnis makanan berkembang pesat didorong perilaku berbagi info dan foto melalui medsos serta dukungan transaksi melalui internet dan sistem logistik-penghantaran yang juga berbasis internet. Perkembangan ini pula yang membuat perubahan pola makan dan diet berkembang meluas dalam waktu singkat.
Bagi Indonesia, ‘tren’ pola makan di atas terasa nyata dan dapat jadi kesempatan yang baik untuk mengatasi berbagai masalah pangan dan gizi. Keragaman jenis makanan (kuliner) Indonesia dapat didayagunakan untuk membuat pola makan yang bergizi, beragam, dan berimbang sekaligus membawa nilai lokal dan sosio-kultural.
Indonesia kaya, bukan hanya dari hal yang terkait dengan produksi, tetapi juga konsumsi pangan. Hari Pangan Sedunia 2019 ini mengingatkan, kita perlu lebih mendayagunakan potensi konsumsi itu untuk membangun ketahanan pangan dan gizi masyarakat kita.
(Bayu Krisnamurthi ; Guru Besar Madya Departemen Agribisnis IPB, Ketua IPB SDG Network, Ketua Penasehat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia)