Akhir September lalu, perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disetujui DPR. Revisi UU itu ditujukan untuk mengubah empat materi muatan, yaitu pemantauan dan peninjauan terhadap UU yang telah berlaku, evaluasi program legislasi nasional jangka menengah, perubahan nomenklatur menteri atau lembaga yang berwenang dalam pembentukan perundang-undangan, serta harmonisasi rancangan peraturan daerah.
Terkait materi terakhir, perubahan dilakukan terhadap kewenangan harmonisasi ranperda. Awalnya, harmonisasi diatur sebagai wewenang biro atau bagian hukum tiap pemerintah daerah. Dalam revisi, tepatnya Pasal 58 Ayat (2) UU PPP, kewenangan harmonisasi ditarik jadi urusan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. Terlepas apa pun alasan di balik perubahan itu, kebijakan itu telah mendelegitimasi kewenangan konstitusional daerah dalam membentuk perda.
Perangkat otonomi daerah
Dalam Pasal 18 Ayat (6) UUD 1945 ditegaskan, ”Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan­lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Ketentuan konstitusi itu menegaskan dua hal terkait perda. Pertama, perda merupakan atribusi UUD 1945 sehingga pembentukannya menjadi hak konstitusional pemda. Sebagai wewenang atributif, perda dapat dibentuk tanpa harus menunggu delegasi pengaturan dari peraturan yang lebih tinggi. Dalam arti pembentukannya merupakan kewenangan penuh pemda.
Kedua, konstitusi menghendaki untuk kelancaran pelaksanaan otonomi, pemda diberi hak membentuk perda demi menampung keberagaman urusan tiap daerah. Dengan wewenang itu, pemda diharapkan dapat membentuk perangkat hukum daerah secara mandiri sehingga agenda mewujudkan kesejahteraan masyarakat ditopang pula oleh produk hukum lokal yang sesuai karakter tiap daerah.
Dalam konteks ini, konstitusi menempatkan perda sebagai perangkat daerah otonom sebagai sarana mengakomodasi aspek kekhususan dalam pelaksanaan otonomi luas. Konstitusi juga menghendaki agar otonomi sesuai asas desentralisasi tak dilaksanakan secara seragam, termasuk dalam pembentukan produk hukum daerah. Tiap-tiap daerah sangat mungkin melahirkan produk hukum tingkat lokal sekalipun tak terdapat peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang mengatur ini.
Desain konstitusi yang demikian juga mendapatkan alasan pembenar secara teori. Montesquieu mengatakan, proses legislasi seharusnya tak mengusahakan keseragaman yang berlebihan dalam sebuah sistem hukum. Hans Kelsen menegaskan, desentralisasi dengan pemberian otonomi biasanya diadakan karena masalah yang sama benar- benar memungkinkan diatur secara berbeda bagi daerah-daerah yang berbeda.
Dengan demikian, semestinya perda sebagai perangkat otonomi dibiarkan sepenuhnya untuk dibentuk pemda. Hal itu ditujukan agar keberagaman daerah, termasuk keberagaman perangkat hukumnya, tumbuh sesuai kebutuhan masyarakat. Pada saat yang sama, peran pemerintah seharusnya dibatasi agar produk hukum daerah itu tak kemudian berubah jadi sekadar peraturan pelaksana dari peraturan tingkat pusat. Jika demikian, apakah berarti kontrol pemerintah terhadap perda sama sekali tak dilakukan melalui proses harmonisasi?
Hakikat harmonisasi
Harmonisasi ranperda merupakan proses menyesuaikan sebuah ranperda terhadap peraturan yang ada, prinsip kepastian dan keadilan norma, serta kejelasan tujuan dan kegunaannya. Harmonisasi berfungsi mencegah sekaligus menanggulangi terjadinya disharmoni peraturan perundang-undangan.
Harmonisasi juga merupakan sarana preventif terhadap cacat hukum yang dikandung peraturan yang akan diterbitkan. Selain itu, harmonisasi merupakan dapur pembentukan perda. Ketika ia dijadikan wewenang pusat, intervensi atas materi muatan perda akan begitu kuat sehingga ruang memunculkan regulasi sesuai kebutuhan daerah jadi sangat kecil. Di ranah ini, harmonisasi akan mengubah fungsi jadi sarana membatasi munculnya keberagaman perda.
Dengan menjadikan harmonisasi sebagai wewenang pusat, agaknya pembentuk UU berpikir bahwa proses ini perlu diintervensi untuk mengontrol pembentukan perda. Paling tidak untuk mengendalikan proliferasi produk hukum daerah. Hanya saja, pembentuk UU lupa perda sesungguhnya perangkat otonomi daerah di mana pembentukannya jadi hak konstitusional pemda. Kalaupun akan dikontrol, seharusnya wewenang harmonisasi tak diambil alih, tetapi cukup dengan cara memperkuat peran kementerian dalam mendampingi proses harmonisasi.
Selain itu, harus pula diingat, tambunnya postur perda yang ada hari ini bukanlah semata- mata kesalahan daerah. Dalam banyak kesempatan, Presiden dan beberapa menteri menyampaikan, banyaknya perda yang dibatalkan karena bertentangan dengan peraturan lebih tinggi, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan memperpanjang jalur birokrasi. Berbagai alasan itu tak sepenuhnya salah.
Merujuk penelitian Enny Nurbaningsih, persoalan perda sesungguhnya bukan terletak pada pembentukannya, melainkan karena banyaknya ketidaksesuaian peraturan dan belum tertatanya peraturan perundang-undangan di tingkat pusat. Karena itu, semestinya obyek kontrol yang akan diawasi ketat bukan perda, melainkan peraturan perundang-undangan tingkat pusat, khususnya peraturan menteri. Sayangnya, ini tak disentuh dalam perubahan UU No 12/2011.
Pembentuk UU terlalu curiga dengan perda sehingga proses harmonisasinya pun dijadikan wewenang kementerian. Padahal, obesitas peraturan juga terjadi di tubuh pemerintah pusat. Kalaupun daerah berkontribusi, penyelesaiannya tak harus dengan sentralisasi harmonisasi ranperda.
Kebijakan sentralisasi harmonisasi ranperda akan memunculkan setidaknya tiga implikasi serius. Pertama, harmonisasi akan jadi instrumen pengawasan tambahan di samping mekanisme konsultasi dan evaluasi perda yang telah ada sebelumnya. Berbeda dengan konsultasi dan evaluasi yang dilakukan setelah ranperda dibahas, harmonisasi dilakukan di tahap awal pembentukan perda. Ini membuktikan, pemerintah betul-betul hendak turut campur dalam pembentukan semua perda.
Kedua, wewenang harmonisasi perda oleh pemerintah akan menyebabkan organ pembentuk tata hukum yang sama membentuk produk legislasi yang berbeda. Konsekuensinya, kerangka pikir harmonisasi akan didominasi pikiran menyeragamkan produk hukum daerah. Pada gilirannya, penentu substansi perda bukan lagi pemda, melainkan kementerian.
Ketiga, pembentukan perda akan mengarah pada pembentukan peraturan delegasi semata, di mana perda akan lebih diposisikan sebagai pelaksana peraturan yang lebih tinggi. Akibatnya, perda tak lagi jadi produk hukum daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi dan menjaga keberagaman dalam negara kesatuan, tetapi sebagai alat membangun keseragaman. Pada ranah ini, otonomi yang didesain dalam UUD 1945 akan kian tersudut.
Sebagai solusinya, pembentuk UU perlu meninjau kembali keberadaan Pasal 58 Ayat (2) perubahan UU No 12/2011. Jika itu tak dilakukan, pengujian oleh MK tentu akan jadi alternatif jalan melakukan koreksi. Bagaimanapun, harmonisasi tetap harus jadi wewenang pemda. Pengawasan pembentukan perda cukup dilakukan dengan memperkuat peran kementerian dalam proses harmonisasi. Caranya, frasa ”dapat mengikutsertakan” dalam norma itu diubah jadi ”wajib  mengikutsertakan”.
 Khairul Fahmi ;  Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas