Penyusunan kabinet sejatinya terkait upaya menciptakan the dream team yang dapat mengimplementasikan segenap tugas dan kewajiban seorang presiden, termasuk merealisasikan segenap janji- janji kampanye.
Penyusunan kabinet terkait pula dengan kompromi politik untuk menjamin soliditas pemerintahan dan mengamankan posisi politik presiden.
Penyusunan kabinet ini dapat berlangsung lama karena melibatkan kepentingan-kepentingan yang kadang tak mudah dikompromikan. Situasi jadi lebih sulit jika harga politik yang ditawarkan rekan koalisi demikian besar dan cenderung saling meniadakan di antara mereka. Di sinilah akhirnya diperlukan ketegasan sikap seorang presiden.
Dalam sistem presidensial, seorang presiden sebenarnya memiliki kebebasan cukup dalam menyusun kabinetnya. Hal ini sejalan dengan spirit separation of power di mana presiden tak bergantung parlemen dalam menjalankan kabinet. Sedemikian independen sehingga potensi deadlock dalam presidensialisme cukup besar dan menjadi salah satu sisi buruk dari sistem ini.
Uniknya di Indonesia sepertinya ada sebuah keharusan bagi presiden untuk mengakomodasi hampir semua kekuatan di parlemen dalam membentuk kabinet. Belum ada presiden di era Reformasi yang benar-benar terbebas dari keharusan mengakomodasi banyak partai, bahkan partai-partai yang dulunya menolaknya sebagai presiden.
Pemerintahan jilid II Joko Widodo, di sisi lain, sebenarnya tak perlu juga melanjutkan ”tradisi” itu. Karena dia telah memiliki kekuatan dengan komposisi parlemen sekarang, di mana partai-partai pendukung adalah mayoritas dan kunci-kunci utama parlemen dikuasai oleh partai-partai pendukung. Namun, tampaknya ia belum yakin dengan kedudukannya hingga tetap mengundang partai di luar koalisinya untuk bergabung.
Dengan situasi ini, dukungan bagi pemerintahan tinggi, tetapi peluang terjadinya oligarki juga besar karena rawan tergelincir menjadi ”koalisi gendut” bermentalkan kartel.
Potensi itu didukung kondisi dan karakteristik partai-partai saat ini yang umumnya akan cenderung loyal pada seorang presiden. Untuk partai- partai dari koalisi pendukung tampak terlihat jelas komitmen melanjutkan pemerintahan secara bersama-sama. Persinggungan di antara mereka ada, tetapi keinginan menyokong Jokowi tetap besar.
Sementara partai-partai yang dulu ada di Koalisi Indonesia Adil Makmur mengalami pembelahan. Demokrat menjadi partai pertama yang membuka diri bergabung dengan Jokowi. Gerindra dan PAN siap bergabung, tetapi penuh pertimbangan dan prasyarat. PKS satu-satunya partai yang sejak dini menutup peluang koalisi dan memosisikan diri menjadi oposisi.
Memang masih terbuka peluang adanya partai bermain di dua kaki, sebagai bagian dari pemerintahan dan oposisi di parlemen, sebagaimana dilakukan PKS di era Susilo Bambang Yudhoyono dan PAN di era Jokowi jilid I. Bisa jadi itu akan dilakukan Gerindra. Namun, kelihatannya tak akan cukup besar dampaknya, apalagi menggoyahkan kabinet.
Peluang gejolak 
Kalau ada peluang tercipta gejolak bagi kabinet, tampaknya itu bukan berasal dari relasi DPR dan Presiden, melainkan justru dari internal kabinet sendiri ataupun gerakan masyarakat sipil. Dengan terlibatnya pendatang baru, tentu ada beberapa penyesuaian yang harus dilakukan. Jika tak dikelola baik, bukan tak mungkin akan memunculkan faksi-faksi yang saling berkontestasi dan menggerogoti soliditas dan performa kabinet.
Keberadaan masyarakat sipil, termasuk mahasiswa, juga tak dapat dianggap enteng. Sebagai sebuah gerakan moral dan rasional, mereka dapat jadi pemantik gelombang besar aksi unjuk rasa seantero negeri yang akhirnya bisa mendeligitimasi pemerintahan. Untuk itu, Presiden Jokowi jangan lagi memproduksi kebijakan-kebijakan yang dapat memancing masyarakat sipil untuk kembali turun ke jalan.
Terlepas dari adanya potensi friksi internal dan bangkitnya kembali kekuatan masyarakat sipil, Jokowi saat ini amat berpeluang besar dapat benar-benar mandiri dan menentukan dalam banyak hal, termasuk menentukan kabinet yang dia kehendaki. Pada periode terakhir kepemimpinannya ini, Jokowi seharusnya dapat berikap nothing to lose, karena tak ada yang perlu dia tahan demi meraih dukungan guna menang pemilu.
Selain itu, Jokowi juga dapat memanfaatkan momentum partai-partai yang ingin terlihat baik performanya di hadapan publik dalam rangka sukses pada Pemilu 2024. Momentum ini dapat digunakan Jokowi untuk menuntut lebih diperkuat lagi kualitas kerja pemerintahannya. Kuncinya, Presiden benar-benar obyektif dan berkomitmen untuk menunjukkan who’s the boss dalam rangka mengejewantahkan seluruh visi dan misinya.
Lebih dari itu, persoalan penting lain dalam soal pembentukan kabinet dan relasi politik dengan DPR adalah bagaimana kekokohan pemerintahan itu tidak diikuti dengan tendensi penguatan oligarki. Inilah sesungguhnya adalah pekerjaan rumah terpokok bagi kita saat ini sebagai sebuah bangsa yang mengklaim diri prodemokrasi. Dengan kata lain, kekokohan pemerintahan itu jangan menyebabkan bangsa kita terjerembab menjadi Orde Baru jilid II.
Dengan kata lain, yang harusnya dilakukan Jokowi dan kabinetnya bukan hanya menciptakan pemerintahan kuat dan stabil, tetapi juga efektif dan for all the people.
Firman Noor ; Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI