Perlu Juru Bicara
James Luhulima ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 13 Juni 2015
Presiden Joko Widodo
mengajukan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai
calon Panglima Tentara Nasional Indonesia untuk menggantikan Jenderal
Moeldoko yang akan pensiun pada 1 Agustus 2015. Surat Presiden Jokowi terkait
hal itu diterima DPR, 9 Juni lalu.
Surat Presiden Jokowi
ditanggapi secara kritis oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Menurut Fahri,
Presiden sebaiknya memberikan penjelasan terkait pencalonan KSAD sebagai
Panglima TNI. Persoalannya, tradisi yang dilakukan presiden terdahulu adalah
menetapkan Panglima TNI secara bergiliran dari kepala staf setiap angkatan.
Dan, itu sesuai dengan
Pasal 13 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang
menyatakan, Panglima TNI bisa dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi
aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat kepala staf
angkatan.
Jika mengikuti tradisi
itu, seharusnya pengganti Jenderal Moeldoko adalah Kepala Staf TNI Angkatan
Udara Marsekal Agus Supriatna. Pasalnya, sebelum Jenderal Moeldoko, Panglima
TNI dijabat Laksamana Agus Suhartono dari TNI Angkatan Laut.
Adalah wajar jika
Fahri mempertanyakan hal itu karena Presiden Jokowi mengubah tradisi yang
diterapkan pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014). Fahri
menambahkan, penjelasan dari Presiden penting karena meski tidak melanggar
undang-undang, Presiden tetap perlu menjaga suasana di dalam TNI yang sudah
kondusif.
Presiden memang tidak
melanggar undang-undang. Jika kita baca dengan saksama, Pasal 13 Ayat 4 UU No
34/2004 tentang TNI menyatakan bahwa Panglima TNI dapat dijabat secara
bergantian..., maka kata ”dapat dijabat secara bergantian” itu bisa saja
diasumsikan, ”dapat juga tidak dijabat secara bergantian”. Kecuali jika UU
itu menggunakan kata ”harus dijabat secara bergantian”.
Pertanyaannya adalah
mengapa Presiden mengubah tradisi yang sudah berjalan selama ini? Itu yang
perlu dijelaskan. TNI Angkatan Udara, dalam hal ini KSAU, yang paling
terpukul oleh keputusan Presiden itu. Sejak dituduh terlibat dalam peristiwa
G30S pada 1965, posisi TNI AU seperti terpinggirkan. Keadaan AU mulai membaik
setelah Presiden Soeharto menyatakan mundur, 21 Mei 1998.
Posisi AU menjadi
setara dengan AD dan AL. AU lega karena Pasal 13 Ayat 4 UU No 34/2004 tentang
TNI intinya menetapkan bahwa Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian
oleh ketiga angkatan. Dan, Presiden Yudhoyono membuatnya menjadi kenyataan.
Dengan memutus tradisi
Panglima TNI secara bergantian yang dimulai oleh Yudhoyono itu, Jokowi
seperti membuka kembali luka lama.
Diperlukan penjelasan
Melihat keputusannya
untuk menggantikan Jenderal Moeldoko dengan Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai
Panglima TNI ramai dipersoalkan, menjawab pertanyaan wartawan, Presiden
Jokowi menegaskan, penunjukan itu merupakan perwujudan dari hak
prerogatifnya. Pemilihan Gatot itu juga dimaksudkan untuk penguatan
organisasi TNI yang dikaitkan dengan situasi geopolitik dan geostrategi
terkini.
Penegasan Presiden itu
sama sekali tidak menjelaskan mengapa ia memutus tradisi yang dinilai banyak
kalangan sebagai sudah baik itu. Dengan memegang jabatan Panglima TNI secara
bergantian, hal tersebut akan menghilangkan dominasi angkatan tertentu.
Bahwa penunjukan Panglima
TNI itu adalah hak prerogatif Presiden rasanya tidak ada yang
mempertanyakannya, mengingat Pasal 13 Ayat 2 UU No 34/2004 tentang TNI
menyebutkan, Panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah
mendapatkan persetujuan DPR.
Bukan itu saja,
Undang-Undang Dasar 1945 pun menetapkan Presiden sebagai Panglima Tertinggi
memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan
Udara.
Yang ingin didengar
oleh masyarakat mengapa Presiden menggunakan hak prerogatifnya untuk memutus
tradisi itu. Sesungguhnya, Presiden sudah menyebut, pemilihan Gatot ini
dimaksudkan untuk penguatan organisasi TNI yang dikaitkan dengan situasi
geopolitik dan geostrategi terkini.
Namun, penyebutan
masih kurang jelas. Misalnya, apakah Presiden menganggap organisasi TNI yang
ada sekarang ini tidak cukup kuat sehingga perlu diperkuat? Dan, situasi
geopolitik dan geostrategi terkini seperti apa yang dimaksudkan? Menteri
Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Sekretaris Kabinet
Andi Widjajanto, dan Teten Masduki dari Tim Komunikasi Presiden saat ditanya
wartawan mengenai masalah itu juga tidak membuat persoalan tersebut menjadi
lebih jelas.
Kasus seperti itu
bukan terjadi kali ini saja. Beberapa kali kebijakan Presiden Jokowi
dikritisi atau dipertanyakan karena apa yang mendasari keputusan yang
diambilnya tidak tersampaikan secara jelas, rinci, dan tuntas. Akibatnya,
orang-orang berspekulasi mengenai apa yang menjadi dasar keputusan yang
diambil Presiden.
Semua itu memperlihatkan
bahwa Presiden memerlukan seorang juru bicara yang dapat merumuskan apa yang
ingin disampaikan oleh Presiden secara jelas, rinci, dan tuntas sehingga
orang-orang tidak berspekulasi macam-macam. Menjadi tugas Presiden untuk
memilih orang yang mampu dan cocok menjalankan tugas itu secara baik.
Sesungguhnya, Wakil
Presiden Jusuf Kalla saat ditanya wartawan seusai Rapat Koordinasi Nasional
Kepegawaian di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, 10 Juni lalu, memberikan
jawaban yang bagus. Pada intinya, Jusuf Kalla mengatakan, Gatot dipilih oleh
Presiden karena ia dianggap kandidat terbaik untuk Panglima TNI di antara
tiga kepala staf angkatan yang ada.
Namun, rinciannya juga
tidak ada. Jika kelebihan Gatot dibandingkan dengan kepala staf angkatan yang
lain bisa diberikan secara rinci, dan juga diberikan pengertian, masak
kandidat yang terbaik harus dikalahkan hanya gara-gara bukan gilirannya, maka
persoalannya menjadi lain. Adalah tugas juru bicara melakukan itu…. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar