Selasa, 16 Juni 2015

Pengarusutamaan Persaingan dan Revolusi Produksi

Pengarusutamaan Persaingan dan Revolusi Produksi

Muhammad Syarkawi Rauf  ;  Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI
KORAN SINDO, 13 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Permasalahan utama perekonomian nasional dalam satu dekade terakhir terletak pada lambannya proses transformasi ekonomi dari factor driven ke productivity driven.  

Pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada kegiatan ekonomi yang bersifat ekstraktif dan terkonsentrasi pada beberapa pelaku usaha tertentu saja yang disebut oligopolis. Hal ini sejalan dengan pandangan dua profesor ekonomi, Daron Acemoglu dari MIT dan James A. Robinson dari Universitas Harvard yang menulis buku berjudul Why Nations Fail; The Origin of Power, Prosperity and Poverty, dalam waktu singkat menjadi rujukan di seluruh dunia.

Keduanya berkesimpulan bahwa kemiskinan yang terjadi di negara miskin bukan karena faktor geografis atau budaya, tetapi karena pemimpinnya gagal membuat kebijakan yang tepat. Negara gagal karena institusi ekonominya bersifat ekstraktif yang hanya menguntungkan segelintir pelaku usaha( oligopolis).

Institusi ekonomi di negaranegara berkembang yang meliputi peraturan, kebijakan, kelembagaan, norma dan lainnya tidak memberikan insentif bagi masyarakatnya untuk berinvestasi dan berinovasi (Acemoglu dan Robinson, 2013). Institusi ekonomi yang buruk tidak memberikan ruang bagi bekerjanya mekanisme persaingan.

Perangkap Pendapatan Menengah

Transformasi ekonomi Indonesia dari lower middle income group ke upper middle income group mengalami hambatan karena Institusi ekonomi bersifat ekstraktif yang lebih menghidupkan pemburu rente (rent seeker). Pemburu rente lebih memilih berspekulasi mengambil margin harga tinggi memanfaatkan situasi pasar yang tidak stabil.

Perilaku ini menghambat hilirisasi di setiap komoditas ekspor. Institusi ekonomi bersifat ekstraktif yang tercermin pada kebijakan pemerintah yang cenderung menyuburkan kartel, yaitu perilaku persekongkolan dalam penetapan harga (price fixing), pengaturan wilayah pemasaran (market allocation), membatasi pasokan (output restriction), danpersekongkolan memenangkan tender (collusive bid rigging).

Akibatnya, perekonomian nasional rentan mengalami middle income trap, yaitu situasi suatu negara yang melayang-layang di tengah sebagai negara berpendapatan menengah yang tidak bisa naik kelas menjadi negara maju, tetapi lebih rentan turun kasta menjadi negara miskin. Suatu negara disebut terjebak sebagai negara berpendapatan menengah jika negara tersebut selama 28 tahun tidak bisa naik kelas menjadi negara maju.

Secara teknis, negaranegara dapat diklasifikasi berdasarkan besaran pendapatan per kapita, yaitu low income group dengan pendapatan per kapita lebih kecil USD2.000, middle income group dengan pendapatan per kapita antara USD2.000-11.750, high income group dengan pendapatan lebih besar USD11.750 (ADB, 2013). Middle income group diklasifikasi lagi menjadi lower middle income dan upper middle income.

Lower middle income group merujuk pada kelompok negara dengan pendapatan per kapita antara USD2.000-7.250 dan upper middle income group berpendapatan per kapita USD7.250-11.750 (PPP - 2005). Artinya, dengan pendapatan per kapita hanya sekitar USD3.918 pada tahun 2015, perekonomian Indonesia sudah terjebak sebagai negara berpendapatan menengah.

Terhitung sejak tahun 1985 hingga saat ini, perekonomian Indonesia sudah sekitar 29 tahun naik kelas dari poor income group (pendapatan per kapita di bawah USD2.000) menjadi middle income group (pendapatan di atas USD2.000) tetapi tidak sanggup naik kelas lagi menjadi high income group. Jika hanya mengandalkan pertumbuhan 7-8 persen per tahun hingga tahun 2030 maka pendapatan per kapita hanya akan mencapai USD5.918 pada 2019 dan USD12.500 pada 2030.

Jika mampu tumbuh lebih tinggi lagi, yaitu 10 persen per tahun maka pendapatan per kapita Indonesia akan mencapai USD16.618 pada 2030 (ADB, 2014). Artinya, pada saat pemerintahan Jokowi-JK berakhir dalam lima tahun ke depan, perekonomian Indonesia belum bisa naik kelas dari lower middle income group ke upper middle income group. Sesuai definisi ADB, pada saat yang sama perekonomian Indonesia masih terjebak sebagai negara berpendapatan menengah.

Pengarusutamaan Persaingan

Singkatnya, pemerintah membutuhkan upaya ekstra untuk menghindar dari Middle Income Trap pada tahun 2030. Syaratnya sederhana, mengubah tata kelola pembangunan, termasuk disain ulang kebijakan makro dan mikro yang bersifat sektoral sehingga mampu memberikan insentif untuk berinovasi.

Pilihan kebijakannya tidak banyak, salah satunya adalah pengarusutamaan kebijakan persaingan ke dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan publik mulai dari pemerintah pusat hingga ke daerah. Sehingga produk kebijakan publik mampu memberikan insentif berinovasi, meningkatkan efisiensi dan produktivitas sebagai basis pertumbuhan ekonomi tinggi dalam jangka panjang.

Secara umum, permasalahan utama emerging markets adalah mewujudkan pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif dan berkesinambungan. Pengalaman negara maju menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi yang berkelanjutan hanya bisa dicapai jika ditopang oleh pertumbuhan produktivitas (productivity driven). Hal ini sejalan dengan Paul Krugman yang menyatakan bahwa: ”productivity isnt everything, but in the long run it is almost everything“.

Sehingga satu-satunya cara untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkesinambungan adalah meningkatkan produktivitas melalui persaingan usaha yang sehat. Percepatan proses transformasi ekonomi nasional menjadi kata kunci untuk mencapai pertumbuhan tinggi dalam jangka panjang, yaitu dari perekonomian berbasis komoditas primer (factor driven economy) ke pertumbuhan ekonomi berbasis efisiensi (efficiency driven economy) dan inovasi (innovation driven economy).

Pergeseran ini sekaligus akan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional menjadi tujuh persen pada tahun 2017 dari saat ini sekitar 5-6 persen (year on year). Pertumbuhan ekonomi tujuh persen pada tahun 2017 dapat dicapai jika ditopang pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP) minimal 1,5 persen dari hanya 1,0 pada tahun 2013 dan 1,1 persen pada tahun 2014.

Singkatnya, pencapaian target pertumbuhan yang tertuang dalam RPJMN 2015- 2019 membutuhkan perubahan manajemen makro nasional. Langkah reformasi kebijakan yang dapat dilakukan adalah pengarusutamaan kebijakan persaingan dengan memberikan porsi yang besar bagi bekerjanya mekanisme pasar di atas prinsip demokrasi ekonomi sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.

Sehingga opsi kebijakan bagi Jokowi-JK harus juga mencakup “Revolusi Produksi” dengan cara mendorong pertumbuhan produktivitas melalui kebijakan persaingan. Jalur transmisinya melalui tiga saluran, yaitu: (1) Persaingan mendorong efisiensi penggunaan sumber daya. (2) Persaingan menghilangkan hambatan masuk dan keluar pasar. (3) Persaingan memberikan insentif melakukan inovasi serta penelitian dan pengembangan (R&D).

Artinya, program pemerintah dalam jangka menengah tidak cukup dengan hanya mendorong “Revolusi Mental” sebagaimana yang tertuang dalam Nawacita yang diperkenalkan oleh pemerintahan sekarang. Perubahan harus mencakup dua aspek sekaligus, yaitu aspek character building (pembangunan jiwa) dan juga nation building (pembangunan raga).

Pemerintah membutuhkan revolusi kedua, yaitu “Revolusi Produksi” (supply-side revolution). Revolusi sisi produksi dapat dilakukan dengan mendorong persaingan usaha sehat di semua sektor, baik di pasar input maupun output.

Persaingan usaha sehat meningkatkan daya saing nasional, mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan (making competition work for the poor).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar