Panglima
TNI Baru untuk Hadapi Perang Nonmiliter
Akhmad Kusaeni ; Alumnus Ateneo de Manila University
Filipina; Pernah mendalami kajian National Security di Saint John University,
New York Amerika Serikat
|
MEDIA INDONESIA, 12 Juni 2015
PRESIDEN Jokowi memilih KSAD Jenderal Gatot
Nurmantyo untuk dicalonkan sebagai Panglima TNI ke DPR. Itu berarti, Jokowi
mendobrak tradisi jabatan Panglima TNI yang diisi antarangkatan di TNI secara
bergantian.
Semestinya, jika mengacu pada urut kacang yang
berlaku selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menjabat
sebagai Panglima TNI ialah KSAU Marsekal Agus Supriyatna.
Jokowi tentu sudah berhitung masak-masak di
balik keputusannya. Presiden tentunya sudah memerhatikan kepentingan penguatan
organisasi TNI untuk menghadapi perubahan geopolitik, geoekonomi, dan
geostrategi kawasan. Salah satunya bertujuan menghadapi ancaman perang
asimetris (asymmetric warfare) dan
perang proksi (proxy war) yang saat
ini sudah dirasakan keberadaannya di Indonesia.
Departemen Pertahanan Australia mendefinisikan
perang asimetris sebagai perang nonmiliter yang bertujuan mengendalikan
ekonomi dan penguasaan sumber daya alam sebuah negara. Perang asimetris
sejalan dengan doktrin yang digagas Henry Kissinger, “Control oil and you control nations, control food and you control
the people.”
Target pada perang asimetris ialah membelokkan
sistem sebuah negara, melemahkan ideologi dengan mengubah pola pikir
rakyatnya, dan menghancurkan ketahanan pangan serta keamanan pasokan energi. Lalu,
menciptakan ketergantungan negara target atas kebutuhan pangan dan energi.
Gunakan boneka
Lalu apa yang dimaksud dengan perang proksi?
Ahli politik Karl Deutsch mendefinisikan perang proksi sebagai konflik
antardua kekuatan asing yang berlangsung di negara ketiga. Seolah-olah itu
merupakan isu konflik internal yang melibatkan pihak-pihak di dalam negeri
tersebut dengan tujuan untuk melemahkan dan mengendalikannya.
Proksi (kadang kala juga disebut boneka)
merupakan kepanjangan tangan dari sebuah negara yang berupaya mendapatkan
kepentingan strategisnya atas negara lain, tetapi menghindari keterlibatan
langsung perang yang mahal dan berdarah.
Dalam perang proksi, tidak dapat dikenali
dengan jelas siapa kawan dan siapa lawan karena musuh mengendalikan boneka `non
state actors' dari jauh dan mereka akan membiayai semua kebutuhan yang
diperlukan. Boneka `non state actors'
bisa berupa LSM, ormas, dan kelompok masyarakat atau perorangan. Imbalannya,
mereka mau melakukan segala sesuatu yang diinginkan penyandang dana untuk
memecah belah kekuatan musuh.
Sosok Gatot tersebut dianggap sangat layak
untuk memegang komando tertinggi matra AD, AL, dan AU dalam menghadapi
ancaman Indonesia sekarang ini, yang terkait dengan perang asimetris dan
perang proksi tersebut.
Gatot yang selama ini berkeliling
mengumandangkan bahaya perang proksi ke berbagai pihak ialah tokoh yang
dinilai paham dengan masalah itu. Ia pun dinilai punya resep untuk
mengantisipasinya.
Pengamat intelijen Susaningtyas Kertopati, misalnya,
memuji figur mantan panglima Kostrad tersebut sebagai jenderal yang memiliki
kemampuan lengkap. Ia menilai Gatot Nurmantyo ialah seorang jenderal
profesional dan intelektual. Gatot beberapa kali menjadi pembicara di
perguruan tinggi, seperti di UI dan Unpad.
Pemikirannya mengenai Indonesia mengantisipasi
perang asimetris dan perang proksi dinilai sangat menarik dan kontekstual
dengan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini. Dalam
berbagai kesempatan, Jenderal Gatot mengatakan penyalahgunaan narkoba di
Indonesia merupakan bagian perang proksi. Hal itu bertujuan merusak generasi
bangsa Indonesia agar di masa mendatang mereka tidak memiliki generasi
berkualitas tinggi.
Di Indonesia, menurut pengamatan Gatot seperti
dikutip Rappler, perang proksi sudah berlangsung dalam beragam bentuk,
seperti gerakan separatis, radikalisme, demonstrasi massa, sistem regulasi
yang merugikan, atau bahkan bentrok antarkelompok.
Indikasi lain yang patut diduga dengan perang
proksi dan perang asimetris ialah kelangkaan beras yang menyebabkan harga
naik belum lama ini, kelangkaan energi dunia, penyebaran narkotika yang
meluas dan seolah tak memiliki efek jera pada pengedarnya meskipun ada
ancaman hukuman mati dan sudah ada yang dieksekusi, dan ancaman terorisme serta
ISIS.
Belum lagi ideologi Pancasila, yang dirumuskan
founding father, yang belakangan mulai terlupakan. Konfl ik KPK dan Polri,
serta lembaga negara di Indonesia yang ‘dilemahkan’ dengan kasus bernuansa
korupsi sehingga tidak lagi dipercayai oleh masyarakat.
Sangat tepat
Dengan demikian, sangatlah tepat Presiden
Jokowi memilih Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI baru yang
menggantikan Jenderal Moeldoko yang segera pensiun. Jadi, persoalannya
bukanlah urut kacang atau menjaga tradisi bergiliran antara Angkatan di TNI.
Kebutuhan Indonesia ialah memiliki pemimpin
militer yang tahu persis akan perang nonmiliter yang disebut sebagai perang
asimetris dan perang proksi yang makin mengkhawatirkan berkembang di
Indonesia. Dengan mengetahui persis hakikat ancaman terhadap keamanan dan
kepentingan nasional, perang nonmiliter tersebut dapat diantisipasi dan
kepentingan nasional bisa terjaga.
Pilihan Presiden Jokowi atas Jenderal Gatot
tentunya juga akan menjadi pilihan wakil-wakil rakyat di DPR yang akan segera
melakukan fit and proper test calon
Panglima TNI. Diharapkan pencalonan itu berjalan lancar dan mulus di Senayan.
Selamat datang Panglima TNI baru. Selamat
menunaikan amanah menjaga NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar