Rabu, 10 Juni 2015

Mengapa PTN Surabaya Kurang Diminati?

Mengapa PTN Surabaya Kurang Diminati?

Redi Panuju  ;  Peminat dan Pemerhati Pendidikan;
Pernah menjadi Purek I Unitomo Surabaya (1997-2005)
JAWA POS, 10 Juni 2015

                                                                                                                                     
                                                

JAWA POS (8/6) menyajikan data sepuluh besar kampus yang diminati dalam seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBM PTN). Data tersebut sangat menggelitik pikiran saya, mengapa tak satu pun PTN di Surabaya yang masuk sepuluh besar kampus yang diminati calon mahasiswa. Padahal, Malang menyumbangkan Universitas Brawijaya di urutan ketiga.

Surabaya sebagai ibu kota Provinsi Jatim dengan segala kelebihannya (mulai infrastruktur pendidikan, peredaran uang, pusat kebijakan publik, hingga diversifikasi program studi) mestinya tidak layak kalah oleh Malang, yang hanya satu daerah tingkat dua dan masih relatif muda dalam penyelenggaraan pendidikan. Di Surabaya, ada ITS, Unair, Unesa, UIN, UPN, ditambah dengan banyak PTS yang cukup mapan.

Kalau dilihat dari segi mutu akademiknya, PTN di Surabaya tidaklah buruk. Unair, misalnya, masuk peringkat ke-127 dalam Top 200 Asian Universities menurut versi Quacquarelli Symonds World University Rankings (QSWUR) pada 2014. Bahkan, Unair memperoleh indeks sitasi 100, mengungguli Tokyo Medical and Dental University (99,9) dan National University of Singapore (99,8).

Indeks sitasi merupakan indikasi banyaknya hasil penelitian yang dijadikan rujukan ilmuwan internasional. Belum lagi ITS, yang tahun lalu dirilis Webometrics masuk urutan ke-9 perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Peringkat itu diukur dari jumlah halaman publikasi elektronik, relevansi sumber elektronik yang dipublikasikan, dan jumlah publikasi jurnal secara internasional.

Pertanyaannya, mengapa fakta keseriusan dan kualitas pendidikan itu tidak beriringan dengan minat masyarakat dalam menentukan pilihan? Tentu banyak penjelasan yang bisa dihadirkan. Salah satunya, sangat mungkin informasi tentang kualitas pendidikan seperti yang disebutkan itu kurang dipublikasikan secara baik. Publikasi bukan sekadar asal menginformasikan realitas melalui media elektronik (seperti web) yang dimiliki. Itu adalah publikasi pasif yang sangat berpotensi mengalami distorsi sehingga tidak sampai pada sasaran.

Generasi yang kini memasuki perguruan tinggi adalah generasi cyber (generasi Z) yang memperlakukan informasi bukan sebagai pengetahuan. Informasi diperlakukan bersama dengan tabiat penikmatan hedonistis. Mereka cenderung menghindari hal-hal formalistis, serius, apalagi prosedural. Sangat mungkin pihak PTN mengatakan telah berupaya menyampaikan profil PTN-nya dengan kerja keras, tapi tidak sempat terakses oleh mereka. Ada yang serius harus diperhatikan dalam hal ini, yakni informasi yang disampaikan tidak sampai pada sasaran.

Beda dengan PTN di Malang. Meskipun jumlahnya relatif lebih sedikit, mereka agresif dalam memasarkan diri. Universitas Brawijaya, misalnya, sangat menyadari bahwa saluran komunikasi massa masih efektif sebagai media penyampai pesan. Sebab, tidak semua warga masyarakat sudah akrab dengan media internet. Di antara orang tua calon mahasiswa yang umumnya masih tergolong generasi X dan Y, masih lebih banyak yang menggunakan media massa (televisi dan surat kabar) sebagai sumber informasi. Sementara para orang tua itu masih sangat berpengaruh dalam menentukan pilihan sang anak.
Humas Universitas Brawijaya masih memanfaatkan media cetak sebagai sarana promosi, termasuk media cetak yang terbit di Surabaya. Bahkan, Universitas Brawijaya sudah memiliki lembaga penyiaran komunitas TV yang berizin resmi. Institusi itu penting bukan hanya sebagai relasi korporasi dengan masyarakat, tetapi juga wahana praktikum bagi mahasiswa ilmu komunikasi di tingkat S-1 maupun S-2. Sementara Unair, yang sama-sama punya prodi ilmu komunikasi, baru mengurus radio siarannya pada tahun-tahun belakangan.

Kini kita hidup pada zaman di mana kemasan sering menjadi lebih penting daripada substansi. Surabaya kaya gizi, tapi lemah dalam packing. Yang tampak serius memang cenderung dihindari. Masyarakat lebih menyukai belajar sambil bergembira. Belajar dari bagaimana masyarakat menonton acara TV atau film bioskop, yang bermutu hanya menang dalam penghargaan-penghargaan, tetapi sepi penonton.

Support Pemerintah Daerah

Bergesernya minat kuliah dari Surabaya ke Malang tak terlepas dari pencitraan secara keseluruhan pemerintah kota masing-masing.

Sekarang masyarakat dari kawasan timur (mulai Nusa Tenggara, Maluku, Papua, bahkan Timor Leste) -yang pada dekade '90-an memilih Jogjakarta- memilih studi lanjut ke Malang. Tradisi itu sudah tumbuh mulai tataran SMP. Pada tahun pelajaran baru ini, banyak orang tua murid SD yang memilih melanjutkan studi anaknya ke SMP di Malang. Pendidikan berbasis agama (Islam), termasuk pesantrennya, menjadi jujukan dari daerah lain.

Sementara itu, pemerintah Surabaya tampaknya lepas dari desain itu. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini lebih banyak membangun citra Kota Surabaya sebagai kota bisnis (pariwisata). Taman menjadi nomor satu, bangunan menjulang tinggi, sementara pendidikan menjadi industri kapitalistis. Bahkan, pendidikan yang berbasis Islam pun tak lepas dari ciri kapitalismenya.

Nah, citra metropolitan, industrialisasi, modernitas, dan sejenisnya yang melekat pada Surabaya cenderung mulai dipersepsikan sebagai sebuah kebisingan, kekacauan, kekeringan jiwa, dan sebagainya. Sebagian masyarakat kemudian membuat antitesis dari itu. Mereka mendambakan pendidikan yang dapat membangun akhlak bagi putra-putrinya, menyelamatkan kehidupan mereka di dunia maupun akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar