Melawan Bayang-Bayang Kekalahan
Ario Djatmiko ; Penerima Satyalencana ”Ksatria Airlangga”
pada Peringatan
100 tahun Pendidikan Dokter di Surabaya
|
JAWA
POS, 23 Juni 2015
”SETIAP orang ada zamannya, setiap zaman ada
orangnya.” Begitu kata orang bijak. Pesan itu membuat saya merasa enteng saat
menerima undangan acara pelepasan purnabakti Fakultas Kedokteran (FK) Unair.
Tokoh baru memang harus muncul di setiap zaman. Dialah yang menghadirkan
perubahan di setiap institusi dan bangsanya. ”Tanpa kemampuan untuk berubah,
kita punah,” pesan Darwin. Benar, kegagalan melahirkan orang baru yang unggul
dan mampu bersaing adalah awal tereliminasinya sebuah organisasi.
Sebutan
purnabakti adalah semacam eufemisme dari kata pensiun. Banyak makna terkandung
di sana. Hakikat pensiun adalah perubahan posisi, dari pelaku menjadi
penonton. Yang bertanggung jawab memenangi pertarungan adalah sang pelaku,
bukan si penonton. Lantas, bisakah saya yang kini jadi penonton melepaskan
diri dari tanggung jawab, di saat anak didiknya bertarung di arena Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA)?
Nilai Pendidikan
Knowledge economy adalah ilmu pengetahuan yang digunakan untuk dapat menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai ekonomi. Di sini level pertempurannya terletak pada kemampuan perusahaan dan negara mengembangkan pengetahuan dan teknologi serta mempersiapkan SDM-nya. Daya saing industri, apakah itu manufaktur, jasa, perkebunan, pertanian, otomotif, tambang, musik, atau produksi apa saja, sepenuhnya terletak pada penguasaan teknologi.
Di industri kesehatan, kemajuan teknologi
medisnya dikatakan dua kali lebih cepat dibanding sebagian industri lain.
Terobosan teknologi medis telah menembus batas yang tak terbayangkan. James
Canton menulis: ” New knowledge needs new
doctors, goodbye primitive medicine.” Terasa benar, zaman baru
telah hadir dan mengancam.
Menarik, penemuan biochip untuk mengukur
reaksi obat pada liver tidak hanya dibahas di forum ilmiah kedokteran. Tetapi
juga menjadi berita di majalah The Economist (edisi 13–19 Juni 2015). Itu
menandakan begitu pentingnya perkembangan teknologi medis bagi dunia
industri.
Bicara tentang ilmu pengetahuan dan
teknologi berarti kita bicara tentang pendidikan tinggi. Sebab, pengetahuan,
teknologi, dan manusia terampil pengguna teknologi modern adalah produk
pendidikan tinggi. World University
Rankings kini sering dibicarakan. Sebab, di sanalah dunia usaha dan
negara berlindung dalam menghadapi persaingan hebat ini.
Pertanyaannya, di level mana (FK) Unair
mampu bicara? Tampil sebagai technology producer atau tetap sebagai
technology consumer? Seberapa jauh (FK) Unair mempersiapkan anak didiknya
agar bisa diterima bekerja di dunia medis yang ultramodern ini?
Industri Pendidikan
Saat pertama masuk FK Unair 46 tahun lalu, saya yakin di
sanalah tempat terbaik membangun manusia Indonesia. Tetapi, kini World University Rankings menunjukkan
hal berbeda. Banyak tempat lain yang lebih baik. Riset SCIMAGO January 2015
mencatat, Unair berada di ranking ke-8 di Indonesia. Tidak masuk 300
universitas terbaik Asia dan 1.000 universitas terbaik dunia.
Surprise! Universitas Brawijaya (Malang) dan UNS (Solo), yang
dulu merupakan pilihan kedua atau ketiga, kini bercokol di atas Unair di
peringkat ke-4 dan 6. Sungguh pertanda buruk! Terasa galau di hati, benarkah
saya telah memberikan yang terbaik bagi Unair? Tak perlu dijawab! Yang
dibutuhkan saat ini adalah jawaban dari: siapa yang mampu membawa Unair naik?
Tak bisa dielakkan, zaman telah berganti. Dunia pendidikan kini memasuki era
korporasi-industri.
Produknya harus jelas! Produk universitas (baca: teknologi baru
dan manusia terampil) harus match
dengan kebutuhan pasar dan siap untuk terus bersaing.
John Kotter menulis tiga syarat survive di era baru ini. Pertama, perusahaan harus terus-menerus melakukan bench marking. Atau kita akan menghasilkan produk yang kedaluwarsa. Kedua, intensif melakukan outsourcing and offshore. Artinya, bila tenaga lokal tidak dapat diandalkan lagi dalam keilmuan dan teknologi, cepat datangkan tenaga baru dari luar. Ketiga, memilih staf berbakat, dialah sang pembangun. Negeri jiran telah lama melakukan perubahan, sementara kita tidak banyak berubah.
Tidak bisa lagi dunia pendidikan dibangun di atas budaya
birokratis kuno dan feodalistis yang penuh nepotisme. Tenaga akademis yang
tidak produktif, tidak kreatif, dan tidak mampu membawa hal baru tidak perlu
berlama-lama di sana. Harus segera dibangun lembaga yang terbuka, produktif,
adaptif, dan bermobilitas tinggi.
Richard O Sinnott, lulus Bachelor University of East
Anglia Norwich, meraih MSc dan PhD di bidang software dari
Stirling University Scotland, dikenal sebagai ilmuwan dahsyat kelas dunia,
memimpin penelitian di berbagai negara. Posisi terakhirnya eScience director
di Glasgow University. Karya ilmiahnya berderet di jurnal elite dunia.
Tahun 2010, Melbourne University, perguruan tinggi terbaik
Australia, menunjuk dia sebagai direktur eResearch. Masa depan eResearch
Melb-Uni dipertaruhkan di pundaknya. Artinya, jabatan penting di Melb-Uni
tidak harus diduduki alumnus MelbUni. Meritokrasi berjalan sehat, reputasi
menjadi pertimbangan utama, tidak ada primordialisme dan nepotisme.
Jadwal pertarungan anak-anak kita di MEA kian dekat. Jonathan
Ledgard mengingatkan, ” The new civilization is
coming! Exit zombie from the engineer.”
Sang purnabakti bergidik. Selamat datang, MEA. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar