Kelokalan
dan Keindonesiaan
Yenny Wahid ; Aktivis
Sosial dan Direktur Wahid Institute
|
KOMPAS, 03 Juni 2015
Dari pelosok yang
jauh, para kepala desa dan perangkatnya pada Rabu (27/5) datang ke Istana
meminta atensi Presiden Joko Widodo perihal Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No 6/2014 tentang Desa.
Mereka yang digaris depan pembuktian bahwa negara ada
dengan melayani mayoritas rakyat Indonesia di hampir 80.000 desa itu
berpandangan bahwa PP No 43/2014 telah mengecewakan dan meresahkan.
Peraturan
pemerintah-produk pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono yang pelaksanaannya dimulai pada masa Jokowi-itu
menghilangkan akses kepala desa pada hak asal-usul desa, yaitu aset yang
lazim disebut tanah bengkok. Kelolaannya dimasukkan ke dalam skema anggaran
pendapatan dan belanja (APB) desa. Akibatnya, pendapatan dan tunjangan
perangkat desa maupun biaya operasional pemerintahan desa, badan
permusyawaratan desa sampai RT serta RW berkurang dalam jumlah signifikan.
Sebelumnya, tanah
bengkok memang dikelola mandiri dengan "diskresi" kepala desa dan
perangkat desa. Kelaziman ini bersumber kepada hak asal-usul kelokalan dan
hak tradisional desa, hak yang diakui eksistensinya dalam UU No 6/2014.
Kemudian di desa kini
hadir pengarusutamaan prinsip-prinsip good governance. Patut diingat
paradigma tata kelola baru yang baik itu mensyaratkan pula penghargaan dan
pengakuan atas hak-hak tradisional asal-usul budaya masyarakat lokal dan
heterogenitas.
Dua hal perlu dicatat
terkait berlakunya PP tersebut dalam konteks
penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan berbangsa serta bernegara.
Pertama, fenomena penetrasi Jakarta
yang menembus sampai komunitas paling bawah dengan penunggalan dan
penyeragaman kebijakan menunjukkan masih sentralistiknya pemerintahan
nasional. Fenomena semacam ini bukan saja menghambat pertumbuhan kemampuan
kreasi lokal, tetapi sekaligus mematikan daya mampu lokal dalam mengembangkan
karakteristik kelokalan pada semua dimensi kehidupan. Juga dapat menimbulkan
perlakuan yang dirasakan tidak adil bagi pemerintahan dan masyarakat lokal.
Memberlakukan sistem
"satu ukuran cocok untuk semua" yang generik dengan menafikan
kebutuhan lokal yang sangat plural jelas hanya akan menimbulkan
permasalahan-permasalahan baru. Kita tentu masih ingat akan kegagalan
pemerintah dalam membangun relasi yang sehat dengan masyarakat Timor Timur, yang berujung pada
proses pemisahan diri dari NKRI.
Jenderal Kiki
Syahnakri yang lama bertugas di sana menegaskan bahwa salah satu penyebab
kegagalan tersebut adalah kebijakan Pemerintah Indonesia yang ahistoris,
dengan menghapus struktur pemerintahan adat-mulai dari Regulado (raja besar)
sampai tingkat paling bawah, Uma Fukun-yang telah eksis selama beratus tahun.
Struktur itu lalu diganti dengan sistem yang telah seragam ada di segenap
penjuru Tanah Air: RT, RW, kelurahan, dan lain sebagainya.
Suprastruktur dan
infrastruktur politik lokal yang teralienasi dari budaya lokal tersebut,
ditambah dengan resistensi dari para tokoh lokal, melahirkan kepemimpinan
politik yang lemah dan tidak efektif.
Kedua, dalam langgam
ilmu kepemimpinan yang efektif, sebuah kebijakan akan lebih mudah diterima
apabila dilakukan secara gradual dengan mengindahkan norma kearifan lokal
dari para penerima kebijakan. Mengintrodusir sebuah sistem baru tanpa
melakukan proses dialog untuk mengawalnya, memiliki risiko ditolaknya sistem
baru tersebut, apalagi kebijakan yang berdampak langsung kepada hilangnya
atau berkurangnya secara drastis livelihood
(mata pencaharian) dari para penerima kebijakan.
Acap kali ide dan
nilai baru yang ditransfer dari pusat kekuasaan pemerintah kemudian dirasakan
sebagai intervensi terhadap berbagai dimensi kehidupan yang sah di
daerah-daerah. Lantas digantikan dengan nilai-nilai baru yang bersifat
seragam. Jakarta bagai masinis kereta, sekali tekan tombol semua pintu
gerbong dari Aceh sampai Papua kontan tertutup. Penyeragaman tanpa ruang yang
cukup bagi perkembangan ciri dan sifat khas daerah dan desa ini tak lain
adalah bentuk dari peluluhlantakan sendi-sendi loyalitas tradisional dan
pengingkaran pluralitas budaya bangsa Indonesia.
Pemerintahan
lokal yang modern demokratis sejatinya penting menimbang aspek sosial dan
heterogenitas kultural. Tuntutan yang berbasis isu dan nilai kultural marak
menggejala dari seantero negeri. Mengabaikan budaya lokal akan melahirkan
pemerintahan lokal yang tidak efektif untuk kepentingan nasional dan tidak
pula berbasis kepada aspirasi lokal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar