Green
Konsumsi Pangan
Posman Sibuea ; Guru Besar Tetap
di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas
Katolik Santo Thomas Sumut;
Pendiri dan Direktur Center for National Food
Security Research (Tenfoser)
|
MEDIA INDONESIA, 06 Juni 2015
TEMA Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2015 yang
ditetapkan United Nations Environment Programme (UNEP) yang diperingati pada
5 Juni ialah Seven billion dreams. One
planet. Consume with care. Secara nasional, Indonesia mengusung tema
Mimpi dan aksi bersama untuk keberlanjutan kehidupan di bumi. Pertimbangan
pemilihan tema itu ialah pembangunan berkelanjutan harus bisa menyejahterakan
penduduk dunia yang saat ini sudah berjumlah 7 miliar jiwa.
Sejak digelar pertama kali pada 1972, perayaan
Hari Lingkungan Hidup menjadi media bagi PBB untuk mengampanyekan pentingnya
kelestarian lingkungan hidup. Perayaan itu pun bertujuan menyadarkan semua
pihak untuk ikut bertanggung jawab merawat bumi, menjadi pelopor perubahan,
penyelamat bumi, dan lingkungan hidup.
Namun, belakangan ini, pembangunan ekonomi
semakin berdampak buruk pada kua litas lingkungan hidup. Tujuh miliar
manusia, dengan berbagai keinginan dan kebutuhannya, menghuni satu bumi yang
menjadi rumah bersama. Dengan pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi yang
terus berlangsung, ekosistem bumi mendekati titik kritis.
Bertambah berat
Penetapan tema itu amat penting dimaknai
ketika sejumlah negara di seluruh dunia masih dibayangi ancaman krisis
finansial global. Krisis itu bertambah berat karena diikuti dengan persoalan
serius yang terkait dengan degradasi sumber daya alam, energi, lingkungan,
dan pangan. Di Indonesia, tantangan terasa lebih berat di tengah model
pembangunan ekonomi yang cenderung bersifat ekstraktif terhadap sumber daya
alam dan berjangka pendek. Upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan
pemanfaatan sumber daya alam secara lestari masih jauh dari yang diharapkan.
Pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya alam
yang mengatasnamakan kesejahteraan hidup rakyat, tetapi tidak diimbangi upaya
konservasi mulai menampilkan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan
hidup. Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim menjadi isu lingkungan
yang demikian pelik untuk diperhatikan, tidak hanya bersifat lokal, tetapi
juga global. Pemanasan global, misalnya, tidak hanya mengancam pembangunan
berkelanjutan, tetapi juga menjadi monster yang setiap saat dapat
mendatangkan bencana bagi hidup dan kehidupan manusia.
Banjir dan kekeringan sebagai dampak pemanasan
global membuat gagal panen di sejumlah negara, tidak terkecuali di Indonesia.
Negara berkembang seperti Indonesia yang kurang piawai mengantisipasi dampak
perubahan iklim global telah menyengsarakan jutaan petani lokal dan
memiskinkan pemerintah. Pangan impor menjadi pilihan praktis untuk mengatasi
kelaparan akibat gagal panen.
Namun, pemerintah yang bijaksana harus mulai
mengedukasi masyarakatnya untuk memikirkan masa depan pangan lokal. Dengan
mengurangi kebergantungan pada pangan impor, kita sudah melakukan
persahabatan dengan lingkungan. Proses pengangkutan pangan impor dari negara
asal ke negara tujuan memboroskan bahan bakar yang memproduksi gas rumah kaca
di atmosfer dan mendorong percepatan pemanasan global.
Permintaan pangan impor yang kian tinggi dari
negara berkembang, selain memboroskan bahan bakar fosil, telah membuang
secara sia-sia sekitar 30% atau 1,3 miliar ton per tahun dari pangan yang
diproduksi di dunia. Hal itu disebabkan perubahan gaya hidup masyarakat yang
makin boros energi. Jumlah itu setara dengan jumlah produksi pangan yang
dihasilkan di seluruh negara sub-Sahara Afrika. Di sisi lain, pada saat yang
sama, satu dari setiap tujuh orang di dunia tidak bisa tidur nyenyak di malam
hari karena perut lapar. Kemudian, lebih dari 20 ribu anak-anak meninggal
dunia setiap hari karena kelaparan.
Fenomena itu seharusnya membuka kesadaran baru
bagi masyarakat Indonesia untuk mengubah pola konsumsi pangannya. Negeri
agraris ini, yang usianya semakin tua, dipastikan masih mampu menyediakan
bahan pangan untuk sekitar 250 juta jiwa penduduknya. Sayangnya, dalam
keseharian, kita acap membuang-buang makanan dan belum bijak menyikapi peran
lingkungan dalam penyediaan makanan secara berkelanjutan. Perilaku boros
konsumsi pangan di tengah masyarakat meningkatkan jumlah makanan yang
terbuang sia-sia.
Pemanfaatan pangan lokal secara lebih serius dapat
mereduksi penggunaan energi transportasi secara bermakna dan memperbaiki
kualitas lingkungan hidup. Berbeda dengan pangan impor, yang membutuhkan ener
gi transportasi besar dari negara asal ke negara yang membutuhkan. Proses
pendinginan yang dilakukan guna memperpanjang masa simpan juga sangat boros
energi.
Makanan yang membusuk dalam jumlah besar sebelum sampai di negara
tujuan juga mengatrol suhu bumi menjadi semakin panas lantaran menghasilkan
gas metana, salah satu gas rumah kaca. Kualitas lingkungan hidup akan semakin
buruk karena gas rumah kaca yang ditimbulkan transportasi pangan impor (food mile) berkorelasi positif dengan
pemborosan konsumsi bahan bakar.
Kedaulatan petani
Pada perayaan Hari Lingkungan tahun ini, kita
diingatkan untuk lebih mengutamakan penggunaan pangan lokal untuk konsumsi.
Penyelamatan itu bertujuan untuk kemandirian bangsa dan kedaulatan petani.
Untuk mencapai tujuan itu, optimalisasi pemanfaat an pangan lokal harus terus
dilakukan dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan menggerakkan ekonomi
kerakyatan untuk mengatasi kemiskinan petani lokal.
Selama ini, pertumbuhan ekonomi nasional masih
bertumpu pada industri ekstraktif dengan watak yang rakus pada sumber daya
alam dan menafikan pertanian lokal. Secara perlahan tapi pasti, sumber daya
alam dan ekosistemnya menuju kehancuran yang tidak dapat dipulihkan.
Pemanfaatan pangan lokal akan mendorong mesin
percepatan pembangunan pertanian bioindustri yang sejatinya ialah membentuk
atmosfer dan ruang `inkubator' ekonomi ramah lingkungan (ekonomi hijau). Di
sana ada penghargaan terhadap lokalitas, kearifan lokal, dan solidaritas
sosial yang lepas dari urusan profit perusahaan kapitalistis, tetapi
mengutamakan pembangunan sosial.
Derivatisasi ekonomi hijau ialah green
konsumsi pangan untuk meningkatkan penggunaan pangan lokal. Untuk mencapai
hal itu, perlu perubahan pola pikir dari ekonomi kapitalistis ke konsep
pembangunan ekonomi berkelanjutan, yakni pembangunan yang berbasis efisiensi
penggunaan sumber daya alam dan pola konsumsi pangan yang berkelanjutan dengan
memasukkan biaya lingkungan dan perubahan sosial.
Tidak dapat disangkal, kemajuan teknologi
pertanian dan peningkatan pendapatan masyarakat menyebabkan perubahan pola
konsumsi pangan. Iklan di televisi yang gencar mempromosikan ayam goreng
cepat saji, hamburger, mi instan, donat, dan piza berbahan terigu telah
membawa perubahan gaya hidup sebagian besar masyarakat.
Permintaan daging yang meningkat untuk
kebutuhan hamburger telah membawa revolusi peternakan. Produksi jagung pun
meningkat secara drastis untuk menyuplai bahan pakan ternak. Dapat
dibayangkan jika masyarakat semakin boros mengonsumsi daging lewat hamburger,
misalnya, angka kelaparan kian bertambah besar.
Untuk itu, harus ada kampanye tanpa henti dari
pemerintah agar masyarakat luas mau mengonsumsi pangan berbasis sumber daya
lokal dengan sikap dan pola konsumsi yang berorientasi pada green economy. Warga Indonesia harus
menolak untuk tidak menjadi bagian dari masyarakat yang memiliki gaya hidup
boros energi dengan lebih menomorsatukan pangan lokal ketimbang pangan impor.
Indonesia sesungguhnya berpotensi untuk
memproduksi berbagai jenis bahan pangan berbasis sumber daya lokal, mulai
sumber karbohidrat, minyak/lemak, protein, hingga vitamin dan mineral. Sebab,
Indonesia memiliki lahan pertanian pangan yang subur dan luas. Demikian juga
sumber pangan ternak, ikan dari laut yang melimpah, dan ragam jenis ikan air
tawar yang bisa digunakan sebagai sumber protein guna memutus mata rantai
pangan impor sekaligus mengurangi pencemaran lingkungan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar