Selasa, 09 Juni 2015

Green Konsumsi Pangan

Green Konsumsi Pangan

Posman Sibuea  ;   Guru Besar Tetap
di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Katolik Santo Thomas Sumut;
Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
MEDIA INDONESIA, 06 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
TEMA Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2015 yang ditetapkan United Nations Environment Programme (UNEP) yang diperingati pada 5 Juni ialah Seven billion dreams. One planet. Consume with care. Secara nasional, Indonesia mengusung tema Mimpi dan aksi bersama untuk keberlanjutan kehidupan di bumi. Pertimbangan pemilihan tema itu ialah pembangunan berkelanjutan harus bisa menyejahterakan penduduk dunia yang saat ini sudah berjumlah 7 miliar jiwa.

Sejak digelar pertama kali pada 1972, perayaan Hari Lingkungan Hidup menjadi media bagi PBB untuk mengampanyekan pentingnya kelestarian lingkungan hidup. Perayaan itu pun bertujuan menyadarkan semua pihak untuk ikut bertanggung jawab merawat bumi, menjadi pelopor perubahan, penyelamat bumi, dan lingkungan hidup.

Namun, belakangan ini, pembangunan ekonomi semakin berdampak buruk pada kua litas lingkungan hidup. Tujuh miliar manusia, dengan berbagai keinginan dan kebutuhannya, menghuni satu bumi yang menjadi rumah bersama. Dengan pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi yang terus berlangsung, ekosistem bumi mendekati titik kritis.

Bertambah berat

Penetapan tema itu amat penting dimaknai ketika sejumlah negara di seluruh dunia masih dibayangi ancaman krisis finansial global. Krisis itu bertambah berat karena diikuti dengan persoalan serius yang terkait dengan degradasi sumber daya alam, energi, lingkungan, dan pangan. Di Indonesia, tantangan terasa lebih berat di tengah model pembangunan ekonomi yang cenderung bersifat ekstraktif terhadap sumber daya alam dan berjangka pendek. Upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari masih jauh dari yang diharapkan.

Pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya alam yang mengatasnamakan kesejahteraan hidup rakyat, tetapi tidak diimbangi upaya konservasi mulai menampilkan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan hidup. Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim menjadi isu lingkungan yang demikian pelik untuk diperhatikan, tidak hanya bersifat lokal, tetapi juga global. Pemanasan global, misalnya, tidak hanya mengancam pembangunan berkelanjutan, tetapi juga menjadi monster yang setiap saat dapat mendatangkan bencana bagi hidup dan kehidupan manusia.

Banjir dan kekeringan sebagai dampak pemanasan global membuat gagal panen di sejumlah negara, tidak terkecuali di Indonesia. Negara berkembang seperti Indonesia yang kurang piawai mengantisipasi dampak perubahan iklim global telah menyengsarakan jutaan petani lokal dan memiskinkan pemerintah. Pangan impor menjadi pilihan praktis untuk mengatasi kelaparan akibat gagal panen.

Namun, pemerintah yang bijaksana harus mulai mengedukasi masyarakatnya untuk memikirkan masa depan pangan lokal. Dengan mengurangi kebergantungan pada pangan impor, kita sudah melakukan persahabatan dengan lingkungan. Proses pengangkutan pangan impor dari negara asal ke negara tujuan memboroskan bahan bakar yang memproduksi gas rumah kaca di atmosfer dan mendorong percepatan pemanasan global.

Permintaan pangan impor yang kian tinggi dari negara berkembang, selain memboroskan bahan bakar fosil, telah membuang secara sia-sia sekitar 30% atau 1,3 miliar ton per tahun dari pangan yang diproduksi di dunia. Hal itu disebabkan perubahan gaya hidup masyarakat yang makin boros energi. Jumlah itu setara dengan jumlah produksi pangan yang dihasilkan di seluruh negara sub-Sahara Afrika. Di sisi lain, pada saat yang sama, satu dari setiap tujuh orang di dunia tidak bisa tidur nyenyak di malam hari karena perut lapar. Kemudian, lebih dari 20 ribu anak-anak meninggal dunia setiap hari karena kelaparan.

Fenomena itu seharusnya membuka kesadaran baru bagi masyarakat Indonesia untuk mengubah pola konsumsi pangannya. Negeri agraris ini, yang usianya semakin tua, dipastikan masih mampu menyediakan bahan pangan untuk sekitar 250 juta jiwa penduduknya. Sayangnya, dalam keseharian, kita acap membuang-buang makanan dan belum bijak menyikapi peran lingkungan dalam penyediaan makanan secara berkelanjutan. Perilaku boros konsumsi pangan di tengah masyarakat meningkatkan jumlah makanan yang terbuang sia-sia.

Pemanfaatan pangan lokal secara lebih serius dapat mereduksi penggunaan energi transportasi secara bermakna dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Berbeda dengan pangan impor, yang membutuhkan ener gi transportasi besar dari negara asal ke negara yang membutuhkan. Proses pendinginan yang dilakukan guna memperpanjang masa simpan juga sangat boros energi. 

Makanan yang membusuk dalam jumlah besar sebelum sampai di negara tujuan juga mengatrol suhu bumi menjadi semakin panas lantaran menghasilkan gas metana, salah satu gas rumah kaca. Kualitas lingkungan hidup akan semakin buruk karena gas rumah kaca yang ditimbulkan transportasi pangan impor (food mile) berkorelasi positif dengan pemborosan konsumsi bahan bakar.

Kedaulatan petani

Pada perayaan Hari Lingkungan tahun ini, kita diingatkan untuk lebih mengutamakan penggunaan pangan lokal untuk konsumsi. Penyelamatan itu bertujuan untuk kemandirian bangsa dan kedaulatan petani. Untuk mencapai tujuan itu, optimalisasi pemanfaat an pangan lokal harus terus dilakukan dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan menggerakkan ekonomi kerakyatan untuk mengatasi kemiskinan petani lokal.

Selama ini, pertumbuhan ekonomi nasional masih bertumpu pada industri ekstraktif dengan watak yang rakus pada sumber daya alam dan menafikan pertanian lokal. Secara perlahan tapi pasti, sumber daya alam dan ekosistemnya menuju kehancuran yang tidak dapat dipulihkan.

Pemanfaatan pangan lokal akan mendorong mesin percepatan pembangunan pertanian bioindustri yang sejatinya ialah membentuk atmosfer dan ruang `inkubator' ekonomi ramah lingkungan (ekonomi hijau). Di sana ada penghargaan terhadap lokalitas, kearifan lokal, dan solidaritas sosial yang lepas dari urusan profit perusahaan kapitalistis, tetapi mengutamakan pembangunan sosial.

Derivatisasi ekonomi hijau ialah green konsumsi pangan untuk meningkatkan penggunaan pangan lokal. Untuk mencapai hal itu, perlu perubahan pola pikir dari ekonomi kapitalistis ke konsep pembangunan ekonomi berkelanjutan, yakni pembangunan yang berbasis efisiensi penggunaan sumber daya alam dan pola konsumsi pangan yang berkelanjutan dengan memasukkan biaya lingkungan dan perubahan sosial.

Tidak dapat disangkal, kemajuan teknologi pertanian dan peningkatan pendapatan masyarakat menyebabkan perubahan pola konsumsi pangan. Iklan di televisi yang gencar mempromosikan ayam goreng cepat saji, hamburger, mi instan, donat, dan piza berbahan terigu telah membawa perubahan gaya hidup sebagian besar masyarakat.

Permintaan daging yang meningkat untuk kebutuhan hamburger telah membawa revolusi peternakan. Produksi jagung pun meningkat secara drastis untuk menyuplai bahan pakan ternak. Dapat dibayangkan jika masyarakat semakin boros mengonsumsi daging lewat hamburger, misalnya, angka kelaparan kian bertambah besar.

Untuk itu, harus ada kampanye tanpa henti dari pemerintah agar masyarakat luas mau mengonsumsi pangan berbasis sumber daya lokal dengan sikap dan pola konsumsi yang berorientasi pada green economy. Warga Indonesia harus menolak untuk tidak menjadi bagian dari masyarakat yang memiliki gaya hidup boros energi dengan lebih menomorsatukan pangan lokal ketimbang pangan impor.

Indonesia sesungguhnya berpotensi untuk memproduksi berbagai jenis bahan pangan berbasis sumber daya lokal, mulai sumber karbohidrat, minyak/lemak, protein, hingga vitamin dan mineral. Sebab, Indonesia memiliki lahan pertanian pangan yang subur dan luas. Demikian juga sumber pangan ternak, ikan dari laut yang melimpah, dan ragam jenis ikan air tawar yang bisa digunakan sebagai sumber protein guna memutus mata rantai pangan impor sekaligus mengurangi pencemaran lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar