Laporan Diskusi
Kompas-Murdoch University
Populist Politics in Southeast Asia:
Transforming or Impending Democracy?
Era Politik Populis
di Asia Tenggara dan Demokrasi
KOMPAS,
09 Juni 2015
|
Pengantar Redaksi
Harian "Kompas" bersama Asia Research Centre, Murdoch
University, Australia, mengadakan diskusi terbatas bertema "Populist
Politics in Southeast Asia: Transforming or Impending Democracy?" di
Redaksi "Kompas" Jakarta, akhir April lalu. Panelis dari Asia
Research Centre adalah Dr Jane Hutchison, Prof Kevin Hewison, Prof Richard
Robison, dan Prof Vedi R Hadiz. Pembahas adalah Pemimpin Redaksi Jurnal
"Prisma" Dr Daniel Dhakidae, Dr Hilmar Farid dari Seknas Jokowi,
sosiolog Dr Ignas Kleden, dan moderator peneliti LIPI Dr Riwanto Tirtosudarmo.
Laporan disajikan Ninuk M Pambudy, Adi Prinantyo, B Josie S Hardianto, dan MH
Samsul Hadi berikut ini.
Tema diskusi "Populist Politics in Southeast Asia:
Transforming or Impending Democracy?" berangkat dari kampanye dua
calon Presiden RI, yaitu Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Meskipun memiliki
pendekatan berbeda, keduanya memperlihatkan kecenderungan sama, yaitu
menggunakan politik populis untuk menarik suara pemilih.
Politik populis
merupakan fenomena baru di Indonesia, meskipun sudah dilakukan di Amerika
Latin, Amerika Serikat melalui kelompok Tea Party di dalam partai Republik,
dan Timur Tengah.
Di Eropa, politik
populis ditandai munculnya partai-partai politik anti Uni Eropa, seperti
Partai Front Nasional di bawah Marine Le Pen di Perancis, United Kingdom
Independence Party di Inggris, selain di Spanyol, Finlandia, dan Belanda.
Yang paling mencolok adalah kemenangan Partai Syriza di Yunani. Di Asia
Tenggara, ciri-ciri politik populis pernah hadir di Thailand dan Filipina.
Kemunculan politik
populis secara global merupakan reaksi atas munculnya ketidakpercayaan
sebagian besar masyarakat terhadap institusi sosial dan politik di negara
bersangkutan.
Ketimpangan keadilan
dan kemakmuran melahirkan pemimpin yang menggunakan politik populis. Politik
ini juga muncul karena kekecewaan pada janji-janji politik liberal, terutama
di Barat, dan janji modernisme di negara berkembang.
Dapat dikatakan,
politik populis berkaitan erat dengan efek globalisasi neoliberal dan sering
kali berbarengan dengan dominasi oligarki yang melahirkan ketidakpercayaan
pada kekuatan politik dan organisasinya.
Muncul pertanyaan, apa
pendorong dan basis sosial respons populis terhadap globalisasi neoliberal,
hubungan antara populisme serta politik otoritarian dan demokrasi, serta bagaimana
populisme menjawab bekerjanya ekonomi pasar pada satu sisi dan agenda
redistribusi kemakmuran pada sisi lain.
Jawab atas pertanyaan
tersebut dapat menggunakan pendekatan biner. Populisme pada dasarnya
melibatkan konsepsi politik sebagai konflik antara massa atau orang biasa
pada satu sisi dan elite yang opresif pada sisi lain. Bisa juga kontras
antara "ekonomi tidak rasional" pada populisme dan
"rasional" yang melekat pada pasar. Dalam organisasi, politik
populis cenderung memotong kelembagaan dan memobilisasi massa untuk
"demokrasi langsung", sementara politik liberal menekankan pada
sistem keterwakilan.
Beragam
Politik populis tidak
tunggal dan bersifat kompleks. Justru karena keberagaman basis sosial politik
populis, mungkin terjadi bentuk-bentuk populisme yang saling bersaing.
Di Peru, Argentina,
dan Thailand, misalnya, kebijakan ekonomi pro pasar mendukung politik
populis. Karena politik ini merupakan reaksi atas dampak globalisasi
neoliberal yang menyebabkan sebagian anggota masyarakat terpinggirkan,
program redistribusi sosial menjadi bagian yang melekat.
Dapat dikatakan,
pendekatan politik populis pada ekonomi tergantung dari konteks sejarah dan
basis dukungan sosial.
Dalam hubungan dengan
demokrasi, politik populis dapat melahirkan kecenderungan politik eksklusif
pada masyarakat demokrasi seperti di Barat. Namun, politik populis juga dapat
menekan institusi demokrasi sehingga ruang politik dipaksa melebar untuk
mengakomodasi kelompok sosial marjinal, jika perlu dengan mengorbankan politik
keterwakilan.
Jelas kelompok populis
dapat bersaing dengan kelompok nonpopulis, tetapi keduanya juga dapat
beraliansi. Agenda tokoh atau partai yang dianggap populis dapat diadopsi
partai atau kekuatan lain yang lebih mapan sebagai kompetisi politik,
termasuk pada alam demokrasi.
Dengan demikian,
populisme di banyak negara mengalami "pengarus-utamaan" dalam
berbagai bentuk.
Karena itu, untuk
memahami politik populis harus melihat dari diskursus yang terjadi di dalam
politik populis sendiri.
Populisme Asia Tenggara
Di Asia Tenggara,
contoh politik populis dilakukan Thaksin Shinawatra di Thailand dan Joseph
Estrada di Filipina. Di Indonesia, dua kandidat presiden, Prabowo Subianto
dan Joko Widodo, menggunakan politik populis untuk menarik pemilih.
Ada persamaan dan
perbedaan politik populis di tiga negara ini. Estrada hanya mengandalkan
popularitasnya sebagai eks bintang film dan gagal menggalang kekuatan massa
pendukung menjadi kekuatan politik.
Thaksin berhasil
membangun kekuatan massa rakyat miskin kota dan pedesaan, tetapi gagal
menghadapi elite politik dan ekonomi saat mencoba merealisasi janji
redistribusi kemakmuran.
Di Indonesia, dua
kandidat presiden, Prabowo Subianto dan Joko Widodo, sama-sama membawa agenda
populisme, antara lain janji redistribusi kemakmuran pro rakyat kecil.
Meskipun memakai pendekatan berbeda, keduanya menggunakan jargon dari era
Soekarno dan sedikit banyak membawa semangat nasionalisme.
Sebagai presiden
terpilih, Joko Widodo membawa komitmen redistribusi melalui program jaminan
kesehatan dan pendidikan untuk semua, membangun infrastruktur, dan membangun
dari pinggiran.
Ada sejumlah tantangan
untuk memenuhi komitmen tersebut. Pertama-tama, penyediaan anggaran dan untuk
itu memerlukan reorganisasi fiskal. Jokowi, misalnya, menaikkan target
penerimaan pajak 30 persen dan menimbulkan pertanyaan dari kalangan bisnis.
Reorganisasi hanya
akan berhasil jika juga mereformasi sistem yang merupakan kelindan antara
birokrasi dan oligarki.
Oligarki dalam hal ini
merujuk pada aliansi politik-birokratis dan bisnis yang menggabungkan
kepentingan bagian teratas birokrasi negara, partai politik, dan pebisnis
beserta keluarga mereka (Reorganising
Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, Richard
Robison dan Vedi R Hadiz, 2004). Aliansi sudah terbentuk pada era Orde
Baru, tetapi masih memiliki kekuatan dan menguasai institusi demokrasi
melalui politik uang.
Joko Widodo mendapat
dukungan masyarakat kelas menengah-bawah, tetapi tidak memiliki organisasi
petani atau buruh seperti pada Lula da Silva (Brasil) dan Hugo Chavez
(Venezuela). Dia juga tidak memiliki basis dukungan dari kalangan bisnis
seperti Recep Tayyip Erdogan (Turki) atau Thaksin (Thailand). Juga tidak
memiliki parpol meskipun PDI-P, partai pendukungnya, mendapat suara terbanyak
pada Pemilu 2014.
Meskipun enam bulan
waktu yang pendek untuk menentukan masa kepresidenan lima tahun, hal itu
telah cukup untuk memberi gambaran sehingga memunculkan pertanyaan, apakah
era partai politik telah berakhir. Jika Jokowi tidak dapat melakukan
transformasi institusi politik karena tidak memiliki kapasitas organisasi,
mampukah dia mengatasi politik oligarki?
Kemungkinan lain,
politik Indonesia akan lebih diwarnai persaingan politik populis daripada
pertarungan antara politik otoriter dan demokrasi atau antara tata kelola
pemerintahan yang baik melawan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar