Rabu, 10 Juni 2015

Era Politik Populis di Asia Tenggara dan Demokrasi

Laporan Diskusi Kompas-Murdoch University
Populist Politics in Southeast Asia: Transforming or Impending Democracy?

Era Politik Populis di Asia Tenggara dan Demokrasi

KOMPAS, 09 Juni 2015



                                                                                                                                                           
                                                
Pengantar Redaksi

Harian "Kompas" bersama Asia Research Centre, Murdoch University, Australia, mengadakan diskusi terbatas bertema "Populist Politics in Southeast Asia: Transforming or Impending Democracy?" di Redaksi "Kompas" Jakarta, akhir April lalu. Panelis dari Asia Research Centre adalah Dr Jane Hutchison, Prof Kevin Hewison, Prof Richard Robison, dan Prof Vedi R Hadiz. Pembahas adalah Pemimpin Redaksi Jurnal "Prisma" Dr Daniel Dhakidae, Dr Hilmar Farid dari Seknas Jokowi, sosiolog Dr Ignas Kleden, dan moderator peneliti LIPI Dr Riwanto Tirtosudarmo. Laporan disajikan Ninuk M Pambudy, Adi Prinantyo, B Josie S Hardianto, dan MH Samsul Hadi berikut ini.

Tema diskusi "Populist Politics in Southeast Asia: Transforming or Impending Democracy?" berangkat dari kampanye dua calon Presiden RI, yaitu Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Meskipun memiliki pendekatan berbeda, keduanya memperlihatkan kecenderungan sama, yaitu menggunakan politik populis untuk menarik suara pemilih.

Politik populis merupakan fenomena baru di Indonesia, meskipun sudah dilakukan di Amerika Latin, Amerika Serikat melalui kelompok Tea Party di dalam partai Republik, dan Timur Tengah.

Di Eropa, politik populis ditandai munculnya partai-partai politik anti Uni Eropa, seperti Partai Front Nasional di bawah Marine Le Pen di Perancis, United Kingdom Independence Party di Inggris, selain di Spanyol, Finlandia, dan Belanda. Yang paling mencolok adalah kemenangan Partai Syriza di Yunani. Di Asia Tenggara, ciri-ciri politik populis pernah hadir di Thailand dan Filipina.

Kemunculan politik populis secara global merupakan reaksi atas munculnya ketidakpercayaan sebagian besar masyarakat terhadap institusi sosial dan politik di negara bersangkutan.

Ketimpangan keadilan dan kemakmuran melahirkan pemimpin yang menggunakan politik populis. Politik ini juga muncul karena kekecewaan pada janji-janji politik liberal, terutama di Barat, dan janji modernisme di negara berkembang.

Dapat dikatakan, politik populis berkaitan erat dengan efek globalisasi neoliberal dan sering kali berbarengan dengan dominasi oligarki yang melahirkan ketidakpercayaan pada kekuatan politik dan organisasinya.

Muncul pertanyaan, apa pendorong dan basis sosial respons populis terhadap globalisasi neoliberal, hubungan antara populisme serta politik otoritarian dan demokrasi, serta bagaimana populisme menjawab bekerjanya ekonomi pasar pada satu sisi dan agenda redistribusi kemakmuran pada sisi lain.

Jawab atas pertanyaan tersebut dapat menggunakan pendekatan biner. Populisme pada dasarnya melibatkan konsepsi politik sebagai konflik antara massa atau orang biasa pada satu sisi dan elite yang opresif pada sisi lain. Bisa juga kontras antara "ekonomi tidak rasional" pada populisme dan "rasional" yang melekat pada pasar. Dalam organisasi, politik populis cenderung memotong kelembagaan dan memobilisasi massa untuk "demokrasi langsung", sementara politik liberal menekankan pada sistem keterwakilan.

Beragam

Politik populis tidak tunggal dan bersifat kompleks. Justru karena keberagaman basis sosial politik populis, mungkin terjadi bentuk-bentuk populisme yang saling bersaing.

Di Peru, Argentina, dan Thailand, misalnya, kebijakan ekonomi pro pasar mendukung politik populis. Karena politik ini merupakan reaksi atas dampak globalisasi neoliberal yang menyebabkan sebagian anggota masyarakat terpinggirkan, program redistribusi sosial menjadi bagian yang melekat.

Dapat dikatakan, pendekatan politik populis pada ekonomi tergantung dari konteks sejarah dan basis dukungan sosial.

Dalam hubungan dengan demokrasi, politik populis dapat melahirkan kecenderungan politik eksklusif pada masyarakat demokrasi seperti di Barat. Namun, politik populis juga dapat menekan institusi demokrasi sehingga ruang politik dipaksa melebar untuk mengakomodasi kelompok sosial marjinal, jika perlu dengan mengorbankan politik keterwakilan.

Jelas kelompok populis dapat bersaing dengan kelompok nonpopulis, tetapi keduanya juga dapat beraliansi. Agenda tokoh atau partai yang dianggap populis dapat diadopsi partai atau kekuatan lain yang lebih mapan sebagai kompetisi politik, termasuk pada alam demokrasi.

Dengan demikian, populisme di banyak negara mengalami "pengarus-utamaan" dalam berbagai bentuk.

Karena itu, untuk memahami politik populis harus melihat dari diskursus yang terjadi di dalam politik populis sendiri.

Populisme Asia Tenggara

Di Asia Tenggara, contoh politik populis dilakukan Thaksin Shinawatra di Thailand dan Joseph Estrada di Filipina. Di Indonesia, dua kandidat presiden, Prabowo Subianto dan Joko Widodo, menggunakan politik populis untuk menarik pemilih.

Ada persamaan dan perbedaan politik populis di tiga negara ini. Estrada hanya mengandalkan popularitasnya sebagai eks bintang film dan gagal menggalang kekuatan massa pendukung menjadi kekuatan politik.

Thaksin berhasil membangun kekuatan massa rakyat miskin kota dan pedesaan, tetapi gagal menghadapi elite politik dan ekonomi saat mencoba merealisasi janji redistribusi kemakmuran.

Di Indonesia, dua kandidat presiden, Prabowo Subianto dan Joko Widodo, sama-sama membawa agenda populisme, antara lain janji redistribusi kemakmuran pro rakyat kecil. Meskipun memakai pendekatan berbeda, keduanya menggunakan jargon dari era Soekarno dan sedikit banyak membawa semangat nasionalisme.

Sebagai presiden terpilih, Joko Widodo membawa komitmen redistribusi melalui program jaminan kesehatan dan pendidikan untuk semua, membangun infrastruktur, dan membangun dari pinggiran.

Ada sejumlah tantangan untuk memenuhi komitmen tersebut. Pertama-tama, penyediaan anggaran dan untuk itu memerlukan reorganisasi fiskal. Jokowi, misalnya, menaikkan target penerimaan pajak 30 persen dan menimbulkan pertanyaan dari kalangan bisnis.

Reorganisasi hanya akan berhasil jika juga mereformasi sistem yang merupakan kelindan antara birokrasi dan oligarki.

Oligarki dalam hal ini merujuk pada aliansi politik-birokratis dan bisnis yang menggabungkan kepentingan bagian teratas birokrasi negara, partai politik, dan pebisnis beserta keluarga mereka (Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, Richard Robison dan Vedi R Hadiz, 2004). Aliansi sudah terbentuk pada era Orde Baru, tetapi masih memiliki kekuatan dan menguasai institusi demokrasi melalui politik uang.

Joko Widodo mendapat dukungan masyarakat kelas menengah-bawah, tetapi tidak memiliki organisasi petani atau buruh seperti pada Lula da Silva (Brasil) dan Hugo Chavez (Venezuela). Dia juga tidak memiliki basis dukungan dari kalangan bisnis seperti Recep Tayyip Erdogan (Turki) atau Thaksin (Thailand). Juga tidak memiliki parpol meskipun PDI-P, partai pendukungnya, mendapat suara terbanyak pada Pemilu 2014.

Meskipun enam bulan waktu yang pendek untuk menentukan masa kepresidenan lima tahun, hal itu telah cukup untuk memberi gambaran sehingga memunculkan pertanyaan, apakah era partai politik telah berakhir. Jika Jokowi tidak dapat melakukan transformasi institusi politik karena tidak memiliki kapasitas organisasi, mampukah dia mengatasi politik oligarki?

Kemungkinan lain, politik Indonesia akan lebih diwarnai persaingan politik populis daripada pertarungan antara politik otoriter dan demokrasi atau antara tata kelola pemerintahan yang baik melawan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar