Bocah
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 15 Juni 2015
Seorang bocah menggambar. Ia bayangkan seekor
ular sanca menelan utuh seekor gajah. Dalam gambarnya, sosok gajah itu sudah
tak tampak lagi. Yang kelihatan: perut si ular yang menggelembung.
Si bocah pun menunjukkan gambar itu kepada
orang dewasa.
Kau tak takut melihat ini, tanyanya. Kenapa
harus takut melihat gambar sebuah topi, jawab si orang dewasa.
Di situlah, sebagaimana diutarakan dalam Pangeran
Kecil Antoine de Saint-Exupéry, orang dewasa gagal. Mereka tak gentar, tapi
itu karena mereka tak bisa membayangkan sesuatu yang lain dari apa yang
kasatmata, yang praktis dan lazim. Mereka tak betah berbincang tentang ular
yang menelan gajah di rimba yang aneh. Mereka lebih tertarik membicarakan
"jembatan, dan golf, dan politik, dan dasi".
Imajinasi telah mengering di dunia
mereka—sebuah dunia yang terpisah dari kehidupan anak-anak yang berkhayal dan
bermain.
Pangeran Kecil dengan lembut mengukuhkan keterpisahan
itu: di satu pihak wilayah anak dengan keasyikan dan keindahan yang
tersendiri; di lain pihak dunia orang dewasa yang dibentuk teknologi, uang,
dan pertarungan. Buku kecil ini sebuah kritik. Ia menjauhi kehidupan yang
dikuasai rasionalitas untuk meraih hasil. Saint-Exupéry mengajak kita
menyaksikan sebuah kehilangan yang bernama dunia modern. Kita tak bisa lagi
mengatakan bahwa manusia tinggal di dunia secara puitis, "dichterisch
wohnet der Mensch", untuk memakai ungkapan Heidegger. Tak ada lagi
padang pasir tempat kita berjumpa si pangeran kecil. Kini manusia menghuni
dunia dan ia menghitung.
Beda yang tajam itu pernah dilukiskan Tagore
dalam sajak terkenal ini: "Nelayan menyelam mencari mutiara, saudagar
berlayar mengarungkan perahu, sementara anak-anak menghimpun batu dan
menebarkannya kembali…."
"Menghimpun batu dan menebarkannya
kembali" adalah kegiatan yang dicerca di dunia orang dewasa, dunia
modern, karena tak produktif.
Tentu saja Tagore, sebagaimana Saint-Exupéry,
tak hendak menyebut bahwa sebenarnya tak ada batas yang kedap antara dunia
yang "mencari mutiara" dan dunia anak yang hanya bermain dengan
batu dan ombak.
Terutama ketika pengertian
"anak-anak" belum tergaris tegas.
Ada masa dan tempat di mana akta kelahiran tak
dikenal dan orang tak menandai persis tanggal dan tahun dalam hidupnya. Belum
ada sekolah yang menentukan batas umur murid. Belum ada administrasi kota
yang meminta kita mengisi formulir untuk KTP. Di dalam lingkungan itu,
perjalanan hidup manusia dari bayi hingga mati ditandai dengan ritus: sunat,
potong gigi, pingitan, membunuh hewan buruan. Jarak antara "masa
kanak" dan "akil balig"" praktis pendek atau berbatas
kabur. Apa yang kini dilihat sebagai "buruh anak-anak"
jangan-jangan bukan kejahatan, hanya karena tenaga kerja tak dibedakan
umurnya dan semua anggota keluarga harus mencari nafkah. Di daerah pertanian
yang melarat, anak adalah bagian dari alat produksi.
Dengan kata lain, konsep "bocah" tak
datang sejak awal kehidupan sosial. Ia sebuah konstruksi masyarakat, sebuah
sebutan yang ditemukan sesuai dengan perkembangan sejarah.
Mungkin sebab itu kita tak pernah melihat
tokoh anak dalam wayang kulit atau golek, bahkan ketika dalang mengisahkan
lahirnya Gatotkaca. Phillipe Ariés, yang menelaah sejarah anak-anak di Eropa,
menunjukkan bahwa di sana pun sampai sekitar abad ke-12 seni rupa "tak
kenal masa anak-anak dan tak mencoba menggambarkannya". Bayi Ismail dari
Perjanjian Lama dilukiskan dengan otot perut lelaki dewasa. Bayi Yesus baru
tampak sebagai bayi di abad ke-14 seni rupa Italia.
Dalam kehidupan sehari-hari, di masa itu, anak
memang bukan kehadiran istimewa yang terpaut di hati. Kematian lumrah. Bocah
gampang datang dan pergi. Ariés mengutip Montaigne, penulis esai termasyhur
itu: "Aku telah kehilangan dua atau tiga anak di masa kecil mereka,
bukannya tanpa sesal, tapi tanpa dukacita yang dalam."
Baru kemudian, anak-anak mengambil posisi
sentral. Di masa lalu yang lebih miskin, ketika lampu belum ditemukan dan
malam adalah jam panjang yang gelap, anak-anak tidur bersama sekamar dengan
orang dewasa. Ketika kehidupan semakin baik, dan kebutuhan semakin beragam,
mereka mendapatkan kamar sendiri. Pakaian mereka tak lagi hanya miniatur
pakaian orang tua. Model baju mereka lain, seperti tampak pada potret si
kecil yang dipasang di mana-mana.
Sejak itu, masa depan tergaris bersama
anak-anak. Kindergarten muncul di tiap sudut: persiapan ke tahap pendidikan
sesudahnya. Di Indonesia, sejak kelas menengah tumbuh, majalah seperti Ayah
Bunda jadi penting: yang baru jadi orang tua butuh bimbingan untuk mengantar
buah hati mereka dari awal. Di Jepang, orang tua mendera anak-anak mereka
sejak usia dini agar jadi murid yang 12 tahun kemudian bisa masuk ke
universitas terkemuka. Harapan dibangun dengan rasa cemas.
Maka sebuah paradoks baru muncul: ketika anak
jadi makhluk spesial, mereka juga jadi proyek. Mereka disiapkan jadi penerus
orang tua, baik dalam iman maupun harta. Mereka tak dibayangkan mandiri,
sebagai pembaharu apalagi pembangkang. Masa kecil yang spontan pun hilang: si
bocah tak lagi "menghimpun batu dan menebarkannya", melainkan sejak
dini berangkat "mencari mutiara". Kontrol diberlakukan, dan
kadang-kadang tak jelas mana bimbingan dan mana penganiayaan.
"Semua orang dewasa dulu juga
anak-anak... tapi hanya sedikit yang ingat itu"—Antoine de
Saint-Exupéry, Pangeran Kecil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar