Sabtu, 16 Juni 2012

Vonis In Absensia Sherny BLBI


Vonis In Absensia Sherny BLBI
Didik Endro Purwoleksono ; Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Airlangga
Sumber :  JAWA POS, 16 Juni 2012


SELAIN penangkapan koruptor, kita disibukkan dengan berita dipulangkannya dari Amerika Serikat buron terpidana kasus BLBI Sherny Konjongian. Pelbagai komentar muncul, termasuk dari advokat terpidana yang menginginkan digelar ulang sidang atas nama terpidana 20 tahun penjara yang merugikan negara hampir Rp 2 triliun itu. Dalihnya, dulu sidangnya tidak sah. Sebab, pada saat tersebut, sidang dilakukan tanpa kehadiran terdakwa atau in absensia.

Pertanyaannya, apakah dalam peraturan di Indonesia mengenal peradilan secara in absensia? Apa hak-hak seseorang yang sudah diputus secara in absensia?

UU Nomor 8/1981 (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), ada beberapa ketentuan terkait pemeriksaan perkara pidana, khususnya kehadiran atau ketidakhadiran terdakwa.

Beberapa kemungkinan ketidakhadiran terdakwa di sidang pengadilan. Misalnya, karena terdakwa tidak dipanggil secara sah sehingga terdakwa merasa tidak perlu hadir. Panggilan akan sah bila pemberitahuan kepada terdakwa dilakukan dengan surat panggilan ke tempat tinggalnya. Apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, surat panggilan disampaikan di tempat kediaman terakhir.

Jika di tempat kediaman terakhir pun tidak diketahui, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir. Surat panggilan berisi tanggal, hari, dan jam sidang untuk perkara apa dia dipanggil dan diterima selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.

Kemungkinan yang lain, terdakwa tidak hadir, yaitu memang surat panggilan sudah sah, namun terdakwa mangkir. Biasanya dia melarikan diri dan bersembunyi, baik di dalam maupun luar negeri.

Ketidakhadiran terdakwa di sidang pengadilan diantisipasi dalam pasal 154 KUHAP. Yang pertama, jika terdakwa absen, karena dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang menunda pemeriksaan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.

Terdakwa yang sudah dipanggil secara sah, namun tidak hadir tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan. Hakim ketua sidang memerintah jaksa penuntut umum (JPU) untuk memanggil terdakwa kembali. Bila JPU sudah menjalankan perintah hakim dan terdakwa tetap mangkir, hakim ketua sidang memerintah JPU untuk menghadirkan secara paksa terdakwa pada sidang berikutnya. Masalahnya, bagaimana jika alamat terdakwa juga tidak diketahui.

Prinsipnya, pasal 196 KUHAP menegaskan bahwa pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang menentukan lain. Itu berarti pengadilan memeriksa dengan hadirnya terdakwa. Tetapi, pengadilan dapat memeriksa tanpa hadirnya terdakwa dengan catatan ada undang-undangnya. Karena itu, jelas kehadiran terdakwa bukan merupakan hal yang mutlak, khususnya terhadap perkara-perkara pidana khusus.

UU Antiterorisme dan Antikorupsi

UU khusus tersebut, antara lain, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (PTPT) atau UU Antiterorisme. Dalam pasal 35 ditegaskan bahwa dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.

Yang menarik, UU Antiterorisme tersebut mengatur bahwa jika terdakwa hadir pada saat sidang berikutnya, sebelum ada putusan dijatuhkan, terdakwa wajib diperiksa. Bila terdakwa benar-benar diputus bersalah dalam sidang in absensia, hanya dapat diajukan upaya hukum kasasi. Terdakwa tidak dapat mengajukan upaya hukum banding.

Pengaturan proses pemeriksaan in absensia berdasar UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) atau UU Antikorupsi dalam pasal 38 mengatur bahwa dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, namun tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa. Terdakwa atas putusan pemidanaan itu tidak dapat mengajukan banding.

Sesuai dengan ketentuan pasal 196 KUHAP dan UU Antiterorisme, serta UU Antikorupsi, ada beberapa catatan penting. Pertama, dua UU tersebut merupakan UU yang secara khusus mengatur proses pemeriksaan perkara pidana jika dibandingkan dengan KUHAP yang diberlakukan untuk perkara terorisme maupun perkara korupsi (asas lex specialis derogate legi generalis). Kedua, khusus untuk tindak pidana terorisme dan tindak pidana korupsi tetap dapat diberlakukan peradilan in absensia. Ketiga, bedanya, peradilan in absensia untuk terorisme, upaya hukumnya hanyalah kasasi. Sedangkan untuk kasus korupsi, terdakwa yang dijatuhi pidana dalam peradilan in absensia dapat mengajukan banding dan kasasi.

Titik sentral dalam peradilan in absensia adalah ketidakhadiran terdakwa di sidang. Tak dibedakan apakah terdakwa korupsi atau terorisme itu WNI atau WNA, maka dia dapat diadili berdasar UU Indonesia. Meskipun alamat terdakwa diketahui, apakah di Indonesia atau di luar negeri, asalkan sudah dipanggil secara sah dan ternyata terdakwa tidak hadir, peradilan tetap bisa dilakukan secara in absensia.

Apakah terdakwa in absensia bisa memberikan kuasa hukum kepada penasihat hukum yang mewakili kepentingannya di sidang? Bagi terdakwa yang tidak ditahan, ada kemungkinan memberikan kuasa hukum kepada seorang penasihat hukum untuk kepentingannya. Bila setelah memberikan surat kuasa terdakwa melarikan diri ke luar negeri atau bersembunyi, itu memberikan peluang dia punya kuasa hukum dalam peradilan in absensia.

Bagi terdakwa yang diadili secara in absensia dan dijatuhi pidana, sebagaimana diuraikan di atas, ternyata tidak mengajukan upaya hukum apa pun, statusnya menjadi terpidana. Bagi terpidana tersebut, termasuk di sini adalah Sherny Konjongian, upaya hukum yang dapat dilakukan hanya dua, yaitu peninjauan kembali (PK) dan grasi.

Seperti sudah diatur, PK bisa dilakukan bila ada bukti baru (novum) yang diyakini bisa membuktikan ketidakbersalahannya. Kedua, PK bisa ditempuh bila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata. Sedangkan grasi diajukan kepada presiden selaku kepala negara.

Jadi, peradilan in absensia itu memang dikenal dan dijalankan di Indonesia.

Selanjutnya, sebagai terpidana di penjara, hak-hak dan kewajibannya diatur UU Lembaga Pemasyarakatan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar