Urgensi
Pembangunan Kilang
Pri
Agung Rakhmanto ; Dosen
Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti; Pendiri ReforMiner
Institute
Sumber :
KOMPAS, 26 Juni 2012
Porsi penggunaan bahan bakar minyak dalam
bauran energi final nasional selama satu dasawarsa terakhir 58,3 persen.
Itu artinya, ketergantungan pemenuhan
kebutuhan energi nasional terhadap BBM masih tinggi. Tingkat konsumsi BBM
tumbuh rata-rata 6-8 persen setiap tahun, dengan tingkat konsumsi BBM saat ini
mendekati 1,1 juta barrel per hari (bph).
Namun, pertumbuhan dan tingkat konsumsi itu
tidak diimbangi dengan penambahan kapasitas kilang (refinery) yang memadai. Kapasitas terpasang kilang nasional memang
mencapai 1,15 juta bph. Namun, dalam operasionalnya tahun 2011, kilang yang ada
hanya mampu mengolah minyak mentah (intake)
sebesar 823.000 bph saja (ReforMiner
Institute, 2012).
Dari pengolahan itu tidak semuanya
menghasilkan BBM, tetapi hanya sekitar 652.000 bph saja, berarti hanya 79
persen. Output lainnya adalah LPG, produk petrokimia, aspal, dan residu
lainnya. Dengan tingkat konsumsi BBM mendekati 1,1 juta bph, berarti ada
sekitar 448.000 bph (40 persen) dari kebutuhan BBM nasional dipenuhi dari
impor.
Dengan ketergantungan energi nasional
terhadap BBM masih tinggi dan sekitar 40 persen BBM impor, ketahanan energi
nasional jelas sangat rentan. Gangguan keamanan produksi minyak mentah dan BBM
dunia berarti juga gangguan serius terhadap ketersediaan pasokan BBM nasional.
Saling Berlomba
Patut dicatat bahwa saat ini dan ke depan,
negara-negara di dunia akan saling berlomba memenuhi kebutuhan minyaknya. Dari
perbandingan tingkat produksi dan konsumsi yang ada, negara-negara di kawasan
Amerika Tengah, Eropa, dan Asia Pasifik rata-rata mengalami defisit
masing-masing 9,3 persen, 1,1 persen, dan 21,3 persen. Hanya negara-negara di
kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Selatan yang masih surplus,
masing-masing 1,9 persen, 8,4 persen, dan 21,3 persen.
Artinya, persaingan untuk mendapatkan minyak
di pasar internasional akan sangat ketat. Memiliki minyak mentah dan BBM dalam
bentuk barang (inkind) akan jauh
lebih berharga dan lebih strategis daripada sekadar memiliki uang (daya beli).
Membangun kilang untuk memproduksi BBM bukan
lagi pilihan, melainkan keharusan jika kita bersungguh-sungguh memikirkan
ketahanan energi nasional. Dari proyeksi konsumsi hingga tahun 2015, kita
membutuhkan setidaknya dua kilang baru masing-masing dengan kapasitas 300.000
bph.
Hingga tahun 2020, kita memerlukan lagi
tambahan tiga kilang baru dengan kapasitas kurang lebih sama. Negara lain di
Asia Pasifik, seperti China, India, Thailand, dan Vietnam, menyadari betul
urgensi pembangunan kilang baru untuk memenuhi kebutuhan BBM negaranya.
Mereka berlomba menawarkan insentif fiskal
dan nonfiskal untuk mendorong pembangunan kilang. Keringanan pajak, pembebasan
bea masuk impor, pembebasan atau pengurangan biaya sewa lahan, hingga kemudahan
birokrasi diberikan untuk mempercepat pembangunan kilang.
Gerus Devisa
Indonesia sudah lebih dari satu dekade tidak
membangun kilang baru dan hanya sibuk membicarakan dari waktu ke waktu.
Membangun sendiri dengan dana atau penjaminan pemerintah tidak mau, menjadi
fasilitator dengan memberikan kemudahan dan insentif kepada investor pun
enggan. Dampaknya sudah kita rasakan bersama, impor BBM makin lama semakin
meningkat hingga mencapai 40 persen dari total kebutuhan.
Akibat lain yang tak kalah strategis adalah
fakta bahwa impor yang semakin meningkat itu terus menggerus devisa negara.
Sejak tahun 2011, neraca perdagangan migas kita untuk pertama kalinya dalam
sejarah bahkan sudah defisit, yaitu 851 juta dollar AS. Faktor terbesar adalah
impor BBM yang menggerus devisa 26,5 miliar dollar AS. Pada triwulan pertama
tahun 2012, nilai impor BBM bahkan sudah 7,4 miliar dolar AS sehingga neraca
perdagangan migas keseluruhan defisit 849 juta dollar AS.
Devisa dari ekspor migas ternyata tak cukup
untuk membiayai impor. Dari sisi makroekonomi dan ketahanan ekonomi nasional,
khususnya menyangkut stabilitas nilai tukar rupiah, impor BBM yang menggerus
devisa ini jelas kontraproduktif.
Jika berkomitmen menjaga ketahanan (energi)
nasional, pemerintah harus segera merealisasikan pembangunan kilang baru dan
berhenti berwacana. Pemerintah dapat memilih sikap progresif: membangun dengan
dana yang disisihkan dari pengurangan anggaran subsidi BBM dan kemudian
menugaskan Pertamina melaksanakan; atau memilih moderat: pemerintah sekadar
memberikan penjaminan, insentif fiskal dan nonfiskal kepada investor yang saat
ini tengah menjajaki kerja sama dengan Pertamina. Jika terus berlama-lama tidak
memilih, berarti pemerintah tidak sungguh-sungguh memikirkan ketahanan energi
nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar