Sabtu, 16 Juni 2012

Positioning Indonesia dalam KTT Rio+20

Positioning Indonesia dalam KTT Rio+20
Rokhmin Dahuri ; Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB;
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia
Sumber :  SINDO, 16 Juni 2012
 

Kesadaran dan gerakan mondial untuk mengatasi kerusakan lingkungan global sebenarnya telah dimulai sejak Konferensi PBB pertama tentang pembangunan dan lingkungan pada 1972 di Stockholm, Swedia.

Upaya itu semakin bergaung lewat publikasi buku Our Common Future oleh World Commission on Environment and Development pada 1986. Kemudian dilanjutkan dengan Konferensi PBB kedua tentang tema yang sama di Rio de Janeiro pada 1992 dan ketiga di Johannesburg, Afrika Selatan pada 2002. Minggu depan, tepatnya pada 20–22 Juni, PBB kembali akan menggelar Konferensi Lingkungan Sedunia (Rio+20) di Rio de Janeiro, ibu kota Brasil.

KTT Bumi di Rio de Janeiro pada 1992 melahirkan Agenda- 21 berisi tentang sejumlah prinsip, arah, dan kebijakan untuk membangun dunia yang lebih baik, sejahtera, dan berkelanjutan. Sepuluh tahun kemudian, KTT Pembangunan Berkelanjutan ketiga di Johannesburg menghasilkan Plan of Implementation of Agenda-21. Sayang, sejumlah kesepakatan dari para kepala negara yang tergabung dalam PBB untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan global itu retorika politik belaka.

Beragam jenis kerusakan lingkungan, mulai dari pencemaran, overfishing, deforestasi, pengikisan keanekaragaman hayati, banjir, hingga ke global warming (pemanasan global), bukannya reda, malah semakin meluas dan parah. Dalam dua dasawarsa terakhir, krisis pangan, energi, air, dan ekonomi juga semakin sering terjadi. Saat ini kerusakan lingkungan tampak hampir di seluruh pelosok dunia.

Dalam Living Planet Report (2006),WWF mengungkapkan bahwa ekosistem bumi saat ini sedang mengalami degradasi pada tingkat yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah umat manusia. Perusakan hutan hujan tropis di Kongo, Amazon, dan Indonesia misalnya tengah melaju dengan kecepatan tinggi menuju kehancuran total. Laju konversi hutan di Indonesia tergolong yang paling dahsyat di dunia, sekitar 1,5 juta ha setiap tahunnya (WWF, 2011).

Sekitar 85% sumber daya ikan di kebanyakan wilayah laut dunia telah mengalami tangkap jenuh (fully exploited), tangkap lebih (overfishing), dan kepunahan (FAO, 2010). Konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat dari 357 ppm pada 1992 menjadi 389 ppm pada 2011. Bersamaan dengan itu, suhu rata-rata bumi naik 0,20C per dekade (IPCC, 2011).

Akibat pemanasan bumi, sekitar 200 juta orang bakal menjadi pengungsi karena bencana banjir dan kekeringan. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh pemanasan global disinyalir melebihi kerugian akibat Perang Dunia I dan II plus krisis ekonomi dunia pada 1930 (UNEP,2010).

Akar Permasalahan Lingkungan

Pada dasarnya akar masalah dari semua jenis kerusakan lingkungan adalah permintaan total manusia terhadap sumber daya alam (SDA) dan jasa-jasa lingkungan telah melampaui daya dukung lingkungan suatu wilayah (desa, kabupaten/kota, provinsi, negara, atau bumi) untuk menyediakannya dalam kurun waktu tertentu.

Menurut hasil pengkajian tim peneliti dari Universitas Harvard (2002) bahwa total permintaan umat manusia terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan pertama kali melewati daya dukung lingkungan bumi terjadi pada 1980. Selanjutnya pada 1999 total permintaan manusia itu 20% lebih besar dari pada daya dukung lingkungan bumi.

Dengan perkataan lain, umat manusia sejak 1980 sebenarnya mengeksploitasi SDA dan jasa-jasa lingkungan secara berlebihan, dengan memanfaatkan modal dasar buminya (the earth’s natural assets). Bukan SDA dan jasajasa lingkungan yang dihasilkan oleh bumi setiap tahunnya. Kondisi inilah yang sejatinya merupakan akar masalah dari munculnya global bubble economy sejak dua dekade terakhir.

Wujud nyata dari global bubble economy (ekonomi dunia yang keropos bagaikan buih) adalah krisis ekonomi yang sejak 2008 melanda AS dan Eropa. Pada dasarnya bubble economy terjadi di suatu negara, manakala jumlah uang yang dicetak di negara itu jauh melebihi kemampuan negara tersebut menghasilkan barang dan jasa dari sektor riilnya (Stiglitz, 2009).

Ekonomi Hijau dan Biru

Maka itu, dalam rangka mewujudkan masa depan dunia yang lebih baik, sejahtera,dan sustainable (berkelanjutan) sebagaimana diharapkan dari Konferensi Lingkungan Sedunia keempat (Rio+20), secara teknis kita harus melakukan dua prakarsa terobosan (breakthrough) secara simultan pada tingkat negara dan global.

Pertama, kita mesti memelihara dan meningkatkan daya dukung bumi agar mampu menyediakan bahan pangan, energi, air, SDA lain, ruang, serta kualitas lingkungan hidup yang sehat, nyaman, dan berkecukupan secara lestari. Untuk itu, tata ruang wilayah yang dapat memproteksi kawasan lindung (minimal 30% total luas wilayah) dan menempatkan segenap sektor (kegiatan) pembangunan pada lokasi yang secara biofisik sesuai, harus diimplementasikan dan ditegakkan di setiap negara.

Laju pemanfaatan SDA terbarukan (seperti hutan, perikanan, dan lahan pertanian) harus tidak melebihi kemampuan pulih dari SDA tersebut. Sementara eksploitasi SDA tidak terbarukan mesti dilakukan secara ramah lingkungan. Sebagian keuntungan ekonominya harus digunakan untuk menghasilkan bahan-bahan substitusi dan mengembangkan berbagai kegiatan ekonomi dan bisnis yang ramah lingkungan serta berkelanjutan.

Kita harus merehabilitasi semua ekosistem alam yang mengalami kerusakan. Pencemaran lingkungan juga harus dikendalikan. Kurangi penggunaan bahan bakar fosil (BBM dan batu bara),dan mulai sekarang beralih ke energi terbarukan seperti biofuel,panas bumi, energi air, energi surya, angin, pasang surut, gelombang laut, OTEC (ocean thermal energy conversion), dan hidrogen.

Kedua, kita harus menurunkan total permintaan manusia terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan, dengan cara mengendalikan jumlah penduduk dan menurunkan laju konsumsi (penggunaan) SDA serta pembuangan limbah per kapita. Menurut perhitungan Brown (2003) dan Bank Dunia (2011), dengan rata-rata GNP per kapita USD9.000 dan konsumsi energi per kapita 2.500 kg (kg of oil equivalent) (seperti kondisi Malaysia sekarang), jumlah maksimum penduduk dunia yang mampu ditopang oleh daya dukung planet bumi hanya sekitar 8 miliar orang.

Saat ini penduduk dunia telah mencapai 7 miliar jiwa, sedangkan konsumsi energi per kapita bangsa Indonesia baru sebesar 850 kg. Mengingat kesenjangan antara warga dunia yang kaya vs miskin kian melebar, dan sekitar 2 miliar penduduk dunia masih miskin, upaya penurunan laju penggunaan SDA dan pembuangan limbah per kapita harus dilakukan dengan cara menurunkan standar kehidupan (standard of living) orang-orang kaya.

Pada saat yang sama, kita punya kewajiban moral untuk memperbaiki kualitas hidup penduduk miskin melalui penyediaan lapangan kerja yang terhormat agar mereka mampu memenuhi kebutuhan dasarnya dan hidup sejahtera. Program pemerataan kesejahteraan tersebut hanya dapat diwujudkan bila perilaku individu dan masyarakat dunia yang selama ini didominasi oleh sifat konsumtif, materialistis, dan hedonistis ditransformasi menjadi pola hidup yang lebih sederhana.

Untuk transformasi perilaku manusia tersebut, tidaklah cukup hanya dilakukan melalui pendekatan teknologi,kelembagaan, hukum, dan ekonomi, tetapi juga harus dibarengi dengan pendekatan spiritual (keagamaan). Yang dimaksud dengan pendekatan keagamaan adalah seseorang harus yakin bahwa hidup sederhana, menolong mereka yang membutuhkan, berbagi kelebihan kepada sesama, dan tidak melakukan kerusakan di muka bumi ini merupakan amal saleh dan bagian dari ibadah kepada Allah SWT. Bagi mereka yang mengamalkannya, akan mendapat kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Sebaliknya, bagi mereka yang melanggar, akan hidup sengsara di dunia dan akhirat.

Optimalisasi Peran Indonesia

Di KTT Rio+20 Indonesia memiliki peluang sangat besar untuk menjadi trend setter, yang dapat meyakinkan dan mengajak seluruh kepala negara dan bangsa di dunia untuk menerapkan konsep ekonomi hijau dan biru (green and blue economy) seperti diuraikan di atas demi mewujudkan dunia yang lebih baik, sejahtera, dan berkelanjutan.

Indonesia dalam posisi untuk mendorong masyarakat dunia memperbaik sistem perdagangan bebas yang berkeadilan (free and fair trade), dan mendesak negara-negara maju untuk mentransfer teknologi, sumber daya keuangan, dan sumber daya sosial kepada negara-negara miskin. Hal itu supaya negara-negara miskin juga mampu mengimplementasikan green and blue economy guna meningkatkan kesejahteraan rakyatnya secara berkelanjutan.

Secara ekologis Indonesia merupakan negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia, dengan kekayaan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia dan keanekaragaman hayati darat terbesar kedua di dunia.Artinya,keberlanjutan produksi bahan pangan, farmasi, dan SDA terbarukan lainnya sangat bergantung pada Indonesia.

Demikian juga halnya dengan fungsi laut dan hutan Indonesia yang sangat besar dalam menyerap karbon (carbon sink) yang sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya global warming. Ekosistem laut Indonesia sebagai pusat segi tiga terumbu karang dunia (the world’s coral triangle), dan pengendali dinamika iklim global, khususnya El-Nino dan La-Nina.

Secara sosial-ekonomi, Indonesia juga negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia yang memiliki potensi pasar domestik yang sangat besar pula. Indonesia merupakan anggota G-20 (kelompok negara-negara maju dan emerging economies) dengan GNP sebesar USD1 triliun, terbesar ke-16 di dunia.

Kata kuncinya, agar Indonesia bisa mengajak seluruh kepala negara yang hadir dalam Rio+20 untuk melaksanakan green and blue economy, seperti ketika Presiden Soekarno berhasil membentuk gerakan nonblok dan Konferensi Asia- Afrika, kita sendiri harus memberikan teladan untuk mengimplementasikan green and blue economy di Tanah Air tercinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar