Rabu, 27 Juni 2012

Menyurutnya Geliat Pembaruan Agraria

Menyurutnya Geliat Pembaruan Agraria
Usep Setiawan ;  Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Sumber :  SINAR HARAPAN, 26 Juni 2012


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberhentikan Joyo Winoto sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional dan menggantinya dengan Hendarman Supandji (14 Juni 2012). Penggantian Kepala BPN terjadi pada situasi keagrariaan macet pada tiga tataran.
Pada tataran kebijakan, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pembaruan Agraria masih terkatung-katung pengesahannya. RPP ini konon sudah lama ada di meja presiden, bahkan sidang kabinet untuk membahasnya sudah beberapa kali digelar.
Kenapa RPP tersebut tak kunjung ditandatangani? Alih-alih mengesahkannya, SBY malah mengganti Winoto, pejabat yang paling getol menyuarakan pentingnya pembaruan agraria.

Kemacetan kedua pada penanganan dan penyelesaian konflik agraria. Konflik agraria nyaris setiap hari terjadi dan kekerasan kerap menyertainya. Cakupannya meluas di kehutanan, perkebunan, pertambangan, pertanahan, dan lainnya.

Berbagai hasil kajian menyimpulkan, konflik agraria bersifat struktural dan lintas sektoral. Struktural karena lahir akibat sistem dan politik hukum agraria yang memberi celah konflik. Ketiadaan mekanisme dan kelembagaan khusus yang menangani dan menyelesaikan pun melanggengkan konflik agraria.

Kewenangan BPN untuk menangani konflik pertanahan memang diperkuat Perpres 10/2006 tentang BPN. Kedeputian khusus yang menangani sengketa, konflik, serta perkara pertanahan sudah dibentuk dan bekerja.

Namun, kedeputian ini (dan BPN keseluruhan) tak sanggup menyentuh konflik yang kewenangannya ada di sektor lain. Fragmentasi kewenangan menyebabkan penanganan konflik agraria tertatih-tatih.

Kemacetan ketiga pada pelaksanaan redistribusi tanah bagi rakyat miskin. BPN telah meredistibusi tanah dalam skala terbatas. Hambatannya, sebagian besar tanah yang potensial didistribusikan kewenangannya tak berada di tangan BPN.

Contohnya, jutaan hektare tanah potensi landreform berada dalam kewenangan Kementerian Kehutanan. Melepas tanah bekas hutan jadi tanah negara yang dikelola BPN dalam rangka pembaruan agraria, bukanlah gampang. Muncul kesan, sektor lain enggan melepaskan sebagian kawasannya untuk pembaruan agraria.

Hemat penulis, andai Presiden SBY lebih kukuh memimpin pembaruan agraria maka semua kemacetan ini bisa segera dicairkan. PP Pembaruan Agraria segera diterbitkan lalu dijalankan. Semua menteri dan instansi diarahkan agar menyukseskannya. Presidenlah yang menentukan.

Setelah Fondasi

Ada spekulasi, pergantian Kepala BPN demi kepentingan politik pencitraan SBY. Maraknya konflik agraria membuat SBY pusing. Protes rakyat korban konflik agraria berpotensi mendelegitimasi kepemimpinan SBY. Seolah dibutuhkan “kambing hitam” untuk menunjukkan bukan presiden yang salah. Dalam hal ini, Joyo Winoto dipandang “layak” dikorbankan.

Secara politik, Winoto dianggap lemah karena ia bukan kader partai politik. Winoto ialah pejabat pemerintah dari kalangan profesional. Dia dosen IPB dengan kepakaran ekonomi politik. Kemampuan akademik dan pengalaman di birokrasi pemerintahan (Bappenas) telah membuka jalan bagi Winoto untuk berkiprah di dalam pemerintahan SBY.

Memimpin BPN sejak 2005 hingga 2012 tentu bukanlah pekerjaan ringan. Di tengah tumpukan “dosa” masa lalu BPN, ketiadaan visi ideologis, kelemahan organisasi, manajemen, dan keterbatasan anggaran serta sumber daya manusia telah diterobos Winoto. Sejumlah karya mendasar ditorehkannya.

Masuk dan berkembangnya agenda pembaruan agraria di dalam tubuh BPN merupakan buah kegigihan Winoto. Banyak yang mencibir, menentang, bahkan menjegal, tapi ia terus melangkah. Identifikasi tanah potensial untuk pembaruan agraria terus dilakukan.

Penertiban tanah telantar yang dikuasai korporasi besar digencarkan. Sinergi dengan penyokong pembaruan agraria dirintis Winoto. Lingkar-lingkar belajar dan praktik pembaruan agraria pun ditumbuh-kembangkan.

Di bawah kepemimpinan Winoto, BPN meniupkan angin segar perubahan agraria menuju keadilan. Program landreform digencarkan melalui skema redistribusi tanah objek landreform bagi rakyat miskin.

Sertifikasi tanah murah (bahkan gratis) dilancarkan melalui berbagai proyek yang dibiayai negara. Anggaran BPN pun naik berkali lipat untuk menyukseskan program strategis pertanahan dalam bingkai praksis pembaruan agraria.

Memang pembaruan agraria yang digulirkan belum utuh dan ideal, apalagi sempurna. Masih perlu pembenahan, pelurusan, pematangan, dan penguatan.

Hal yang dilakukan Winoto bersama BPN berguna bagi penyiapan fondasi komitmen politik pemerintah untuk melaksanakan pembaruan agraria. Di era Hendarman Supandji, akankah pembaruan agraria terus bergulir maju atau justru surut mundur ke belakang?

Meminjam pesan pendeknya Dr Gunawan Wiradi (Ketua Dewan Pakar KPA) kepada penulis, “Semoga saja dasar-dasar yang telah diletakan Joyo Winoto tidak diobrak-abrik lagi” (14/06/12, 13.52). Mari kita cermati dengan saksama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar