Menyurutnya
Geliat Pembaruan Agraria
Usep
Setiawan ; Ketua
Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Sumber :
SINAR HARAPAN, 26 Juni 2012
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
memberhentikan Joyo Winoto sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional dan
menggantinya dengan Hendarman Supandji (14 Juni 2012). Penggantian Kepala BPN
terjadi pada situasi keagrariaan macet pada tiga tataran.
Pada tataran kebijakan, Rancangan Peraturan
Pemerintah tentang Pembaruan Agraria masih terkatung-katung pengesahannya. RPP
ini konon sudah lama ada di meja presiden, bahkan sidang kabinet untuk
membahasnya sudah beberapa kali digelar.
Kenapa RPP tersebut tak kunjung
ditandatangani? Alih-alih mengesahkannya, SBY malah mengganti Winoto, pejabat
yang paling getol menyuarakan pentingnya pembaruan agraria.
Kemacetan kedua pada penanganan dan
penyelesaian konflik agraria. Konflik agraria nyaris setiap hari terjadi dan
kekerasan kerap menyertainya. Cakupannya meluas di kehutanan, perkebunan,
pertambangan, pertanahan, dan lainnya.
Berbagai hasil kajian menyimpulkan, konflik
agraria bersifat struktural dan lintas sektoral. Struktural karena lahir akibat
sistem dan politik hukum agraria yang memberi celah konflik. Ketiadaan
mekanisme dan kelembagaan khusus yang menangani dan menyelesaikan pun
melanggengkan konflik agraria.
Kewenangan BPN untuk menangani konflik
pertanahan memang diperkuat Perpres 10/2006 tentang BPN. Kedeputian khusus yang
menangani sengketa, konflik, serta perkara pertanahan sudah dibentuk dan
bekerja.
Namun, kedeputian ini (dan BPN keseluruhan)
tak sanggup menyentuh konflik yang kewenangannya ada di sektor lain.
Fragmentasi kewenangan menyebabkan penanganan konflik agraria tertatih-tatih.
Kemacetan ketiga pada pelaksanaan
redistribusi tanah bagi rakyat miskin. BPN telah meredistibusi tanah dalam
skala terbatas. Hambatannya, sebagian besar tanah yang potensial
didistribusikan kewenangannya tak berada di tangan BPN.
Contohnya, jutaan hektare tanah potensi landreform berada dalam kewenangan
Kementerian Kehutanan. Melepas tanah bekas hutan jadi tanah negara yang
dikelola BPN dalam rangka pembaruan agraria, bukanlah gampang. Muncul kesan,
sektor lain enggan melepaskan sebagian kawasannya untuk pembaruan agraria.
Hemat penulis, andai Presiden SBY lebih kukuh
memimpin pembaruan agraria maka semua kemacetan ini bisa segera dicairkan. PP
Pembaruan Agraria segera diterbitkan lalu dijalankan. Semua menteri dan
instansi diarahkan agar menyukseskannya. Presidenlah yang menentukan.
Setelah Fondasi
Ada spekulasi, pergantian Kepala BPN demi
kepentingan politik pencitraan SBY. Maraknya konflik agraria membuat SBY
pusing. Protes rakyat korban konflik agraria berpotensi mendelegitimasi
kepemimpinan SBY. Seolah dibutuhkan “kambing hitam” untuk menunjukkan bukan
presiden yang salah. Dalam hal ini, Joyo Winoto dipandang “layak” dikorbankan.
Secara politik, Winoto dianggap lemah karena
ia bukan kader partai politik. Winoto ialah pejabat pemerintah dari kalangan
profesional. Dia dosen IPB dengan kepakaran ekonomi politik. Kemampuan akademik
dan pengalaman di birokrasi pemerintahan (Bappenas) telah membuka jalan bagi
Winoto untuk berkiprah di dalam pemerintahan SBY.
Memimpin BPN sejak 2005 hingga 2012 tentu
bukanlah pekerjaan ringan. Di tengah tumpukan “dosa” masa lalu BPN, ketiadaan
visi ideologis, kelemahan organisasi, manajemen, dan keterbatasan anggaran
serta sumber daya manusia telah diterobos Winoto. Sejumlah karya mendasar
ditorehkannya.
Masuk dan berkembangnya agenda pembaruan
agraria di dalam tubuh BPN merupakan buah kegigihan Winoto. Banyak yang
mencibir, menentang, bahkan menjegal, tapi ia terus melangkah. Identifikasi
tanah potensial untuk pembaruan agraria terus dilakukan.
Penertiban tanah telantar yang dikuasai
korporasi besar digencarkan. Sinergi dengan penyokong pembaruan agraria
dirintis Winoto. Lingkar-lingkar belajar dan praktik pembaruan agraria pun
ditumbuh-kembangkan.
Di bawah kepemimpinan Winoto, BPN meniupkan
angin segar perubahan agraria menuju keadilan. Program landreform digencarkan melalui skema redistribusi tanah objek landreform bagi rakyat miskin.
Sertifikasi tanah murah (bahkan gratis)
dilancarkan melalui berbagai proyek yang dibiayai negara. Anggaran BPN pun naik
berkali lipat untuk menyukseskan program strategis pertanahan dalam bingkai
praksis pembaruan agraria.
Memang pembaruan agraria yang digulirkan
belum utuh dan ideal, apalagi sempurna. Masih perlu pembenahan, pelurusan,
pematangan, dan penguatan.
Hal yang dilakukan Winoto bersama BPN berguna
bagi penyiapan fondasi komitmen politik pemerintah untuk melaksanakan pembaruan
agraria. Di era Hendarman Supandji, akankah pembaruan agraria terus bergulir
maju atau justru surut mundur ke belakang?
Meminjam pesan pendeknya Dr Gunawan Wiradi
(Ketua Dewan Pakar KPA) kepada penulis, “Semoga
saja dasar-dasar yang telah diletakan Joyo Winoto tidak diobrak-abrik lagi”
(14/06/12, 13.52). Mari kita cermati dengan saksama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar