Kamis, 28 Juni 2012

Koin untuk Poin

Koin untuk Poin
Bambang Satriya ; Guru Besar dan Dosen Luar Biasa Universitas
Ma Chung dan UIN Malang
Sumber :  MEDIA INDONESIA, 28 Juni 2012


PEMBERIAN koin yang pernah dilakukan publik kepada Prita yang sejatinya berelasi dengan masalah ketidakadilan, kini giliran diberikan pada KPK, suatu institusi strategis di bidang penanggulangan korupsi yang terlahir di era reformasi. Koin diberikan oleh publik setelah KPK ‘disakiti atau dizalimi oleh komunitas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan pihaknya akan menggalang koin pembangunan gedung dari kalangan masyarakat. Akibat panggilan yang menggugah kesadaran nurani ini, sejumlah elemen akhirnya berbondong-bondong mengirimkan ‘koin’ ke KPK. Busyro memang meyakini masyarakat pasti akan terus tergerak untuk membantu karena saat ini korupsi sudah semakin marak.

KPK akan lebih fokus pada pembangunan fondasi birokrasi negara berbasis sistem integritas nasional (SIN) sejalan dengan PP No 55 Tahun 2012 sekaligus mencegah secara sistemik, integral, dan komprehensif terhadap korupsi.

Memang sering kali masalah ringan dijadikan dalih klise oleh dewan untuk menolak penguatan KPK, seperti stigma bahwa KPK hanya lembaga adhoc. Padahal dalam ketentuan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK bahkan tidak disebutkan bahwa KPK merupakan lembaga adhoc.

Dalam Pasal 3 UU No 30 Tahun 2002 justru KPK ditegaskan sebagai lembaga negara independen. Logika dan tafsir adhoc lebih kerap mengemuka ketimbang mempersoalkan bagaimana upaya menguatkan penanggulangan korupsi bukan sebagai ‘kejahatan adhoc’, melainkan sebagai produk kejahatan elitis yang extra ordinary crime.

Pihak KPK menyebut bahwa gedung yang ditempatinya sudah tak lagi memadai untuk menampung seluruh pegawai KPK yang berjumlah sekitar 730 orang. Saat ini, gedung itu ditempati 650 orang. Sisanya, mereka terpaksa berkantor di dua gedung lain. Padahal, kapasitas gedung itu hanya untuk 350 orang. Apalagi, KPK beren cana menambah pegawai untuk memenuhi tuntutan masyarakat, terutama DPR, dalam pemberantasan korupsi.

Idealnya, pegawai KPK sekitar 1.200 orang. Pihak KPK membandingkan dengan jumlah pegawai lembaga antikorupsi di Malaysia yang mencapai 5.000 orang dan di Hong Kong yang mencapai 3.600 orang. Bahkan menurut penjelasan konsultan, umur bangunan dan kondisi kelebihan kapasitas itu berbahaya untuk 2-3 tahun ke depan.

Di sisi lain, selama ini para politikus di Komisi III hanya selalu mengaku mendukung gedung baru, namun tanpa ada realisasi. Pada pertengahan Maret lalu KPK sudah meminta agar Komisi III DPR menghapus tanda bintang atau memberi persetujuan atas rencana pembangunan gedung baru KPK. Total biaya pembangunan gedung baru itu sebesar Rp225,7 miliar.

Di 2012 ini, KPK mendapat pagu anggaran Rp663 miliar. Dari pagu anggaran itu, terdapat dana yang diblokir sebesar Rp61 miliar. Semula dana itu hendak digunakan untuk membangun gedung baru. Lantaran belum disetujui DPR, dana itu diblokir. KPK setuju atas usulan Kementerian Keuangan untuk memotong anggaran KPK sebesar Rp28,4 miliar. Bahkan, KPK mempersilakan anggarannya dipotong hingga Rp42,3 miliar. Namun, KPK berharap tanda bintang itu dihapus agar sebagian dana yang diblokir bisa dipakai untuk membiayai perencanaan, konstruksi, serta sewa gedung selama pembangunan dengan total biaya Rp18,7 miliar (Marwiyah, 2012).

Masalahnya sekarang, ketika rakyat memberikan koin demi terwujudnya fasilitas memadai untuk KPK, apakah kinerja KPK nantinya mampu menghadirkan poin untuk rakyat dan keadilan? Bernyalikah KPK menunjukkan produktivitas kerja yang cerdas dan berintegritas profetis tinggi?

Rakyat dan negeri ini butuh poin. Sudah banyak gedung institusi peradilan dirombak atau dikonstruksi dengan fasilitas memadai, namun pilar-pilar institusi ini masih menunjukkan kinerja mengecewakan dan bahkan mengeliminasi aspirasi keadilan publik. Rakyat atau pencari keadilan masih dibuat merana ketika berurusan dan meminta layanan hukum di institusi peradilan. Bahkan sering kali kondisi ‘kritis’ masyarakat (pencari keadilan) ini dihadapkan dengan kondisi ‘krisis’ profesionalisme para aparat penegak hukum.

Dampak kondisi ‘kritis’ yang menjangkiti negara di ranah aparatur hukum itu dikritisi Gumawan Haz dalam Kegagalan Negara Hukum (2010) bahwa rasanya berat sekali untuk menyebut kalau negara ini masih sebagai negara hukum. Dalam tataran norma (das sollen) dan bunyi konstitusi, memang negara ini tegas-tegas mengklasifikasikan diri nya jadi negara hukum. Namun dalam sisi realitas (das sein), lebih tampak sebagai konstruksi negara dengan sekumpulan manusia (aparat penegak hukum) yang gemar melakukan perlawanan norma atau pembangkangan hukum (legal disobidience), serta membuat hukum gagal menjalankan tugas sucinya dalam keadilan egaliter.

Hukum yang gagal itu merupakan deskripsi hukum yang dalam implementasinya dijadikan objek mainan atau direkayasa oleh manusia-manusia yang seharusnya berintegritas dalam menyidik, mendakwa, menuntut, dan menghakimi setiap orang yang mempermainkan hukum.

Mereka ini oknum aparat penegak hukum yang bukannya teguh amanat dalam mengimplementasikan peran sebagai pilar fundamental yuridis, tetapi malah menggelincirkan dirinya dalam ranah kriminalisasi peran profetisnya.

Mereka tidak menjaga keagungan profesinya, tetapi sebatas mengagungkan keserakahan dan target kapitalisme status sosial, ekonomi, dan politiknya dengan cara menjadi `mesin' kegilaan menghamba pada ambisi yang tak kenal titik nadir.

Berabad-abad lalu, sepak terjang aparatur penegak hukum yang malapraktik itu diingatkan oleh filsuf kenamaan Socrates bahwa keadil an merupakan nilai tertinggi dalam masyarakat sehingga harus mengatasi (kepentingan) individualitas tiap orang. Ini artinya, keadilan yang menjadi produk implementasi sistem peradilan (justice system) bukan sematamata menjadi miliknya institusi sang pengadil, tetapi juga kepentingan makro-universal yang menjadi jati diri negara hukum yang berbasis melindungi hak-hak para pencari keadilan.

Sekarang KPK memang diberi koin oleh rakyat, namun sejatinya ke depan, KPK diharapkan kembali pada ranah khitah dihadirkannya dirinya di belantara rimba hukum di negeri ini, yakni sebagai institusi strategis yang wajib memberikan poin kepada rakyat. KPK diidealisasikan oleh publik supaya kembali fokus memikirkan atau mengonsentrasikan kinerjanya yang berbasis egalitarian, berkejujuran, dan berkeadilan. Apa memang KPK belum melakukan prinsip adiluhung ini?

Belakangan ini, KPK dinilai oleh publik sedang terseret jadi lembaga yang ‘pemilih’ dalam penanganan perkara-perkara korupsi. KPK dinilai bisa tegas di satu kasus korupsi, namun berkinerja mengambang saat berhadapan dengan kasus lain. Saat yang dihadapinya perkara yang dirasionalisasikan akan berhadapan dengan elite berpengaruh, KPK kurang menunjukkan kinerja besarnya. Bahkan sebagian publik menyebut KPK kali ini sangat pintar obral janji tapi masih minim bukti.

Terlepas berlapisnya beban hukum atau korupsi yang dihadapi dalam upaya menangani sejumlah elite yang sedang bermasalah secara yuridis, KPK sepatutnya perlu menunjukkan kepada publik bahwa mereka belum tereduksi kekuatan moral dan independensinya untuk melakukan perlawanan total. Pasalnya KPK sudah didaulat oleh rakyat dan negara ini menjadi institusi yudisial terdepan dalam membuka kunci atau mengurai sindikasi kekuasaan yang diduga beraroma penyimpangan dan pembusukan.

Gedung yang hendak dikonstruksi oleh koin publik merupakan perwujudan wajah pencari keadilan yang sedang membangun sebuah benteng yang kukuh, yang di dalamnya diidealisasikan diisi oleh pejuang-pejuang tangguh dari KPK. Gedung (KPK) ini bisa berbalik menjadi tempat yang menyakiti pencari keadilan jika elemen KPK yang jadi pilar utamanya justru lebih sibuk menggelincirkan dirinya dalam pertarungan wacana dan membiaskan (merancukan) kinerjanya, dan bukannya menguatkan mentalitas dan komitmen sebagai negarawan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar