Selasa, 26 Juni 2012

Tafsir Penangalan Abadi Hijriyah

Tafsir Penangalan Abadi Hijriyah
Abu Su’ud ;  Guru Besar Emiritus Universitas Negeri Semarang (Unnes),
Pemerhati Masalah Keagamaan
Sumber :  SUARA MERDEKA, 25 Juni 2012


MENJELANG tahun baru Hijriyah 1433, saya mendapat kiriman kalender Hijriyah, dilengkapi penangalan Masehi yang ditulis dengan angka-angka kecil. Pada lembaran bulan Ramadan, tanggal 1 didampingi tanggal 20 Juli, juga dengan angka kecil. Semua bulan, dari Muharam sampai Zulhijah, sudah tercetak jumlah harinya, seperti halnya penanggalan Masehi.

Penerbit menuliskan penanggalan itu bukan hasil hisab atau rukyat melainkan sepenuhnya dari Alquran. Sebagaimana kita ketahui ritus-ritus dalam agama Islam selalu ditentukan waktunya sesuai dengan gejala alam, terutama perilaku matahari dan bulan. Waktu shalat, penentuan awal Ramadan, atau waktu wukuf pada hari Arafah, semuanya mendasarkan perhitungan hari bulan komariyah.

Ada dua metodologi yang dominan digunakan dalam dunia Islam. Pertama; mendasarkan pada hisab mutlak tanpa mengecek silang dengan rukyat, yang disebut hisab haqiqi. Keyakinan akan kebenaran dari metodologi itu disebut  ilmul yaqin, memedomani pada QS Al-Baqarah yang antara lain berbunyi man syahida minkum as-syahra  fal yasumhu.  Kedua; kelompok yang memandang  sabda Nabi itu sebagai isyarat untuk melihat secara visual, yaitu ru’yatul hilal bil fi’li. Meskipun  mengembangkan ilmu hisab, mereka mengujinya lagi dengan rukyat, mengingat bulan (hilal) baru itu belum memungkinkan diamati. Bagi yang menggunakan hisab haqiqi, meski hilal baru tidak mungkin terlihat, mereka menganggap hari baru itu telah tiba karena sudah wujud. Itu sebabnya meski belum dilakukan rukyat, penanggalan mereka sudah dicetak sesuai dengan hasil rukyat yang sejatinya belum dilakukan.

Kalender Abadi

Akibat perbedaan prosedur untuk menentukan tanggal bagi pelaksanaan ritus, seringkali terjadi perbedaan waktu pelaksanaan ritus awal puasa atau Idul Fitri dan Idul Adha, meskipun berada di satu kawasan geografis. Kemudian, muncullah sistem kalender alternatif yang bisa dianggap baru, yang dianggap dapat menghilangkan perbedaan-perbedaan itu. Mereka menyebutnya penanggalan Hijriyah abadi, sebagaimana yang dikirimkan ke saya.

Para ulama mereka memperkenalkan kelender Hijriyah yang pasti dan ”abadi”, seperti serbapastinya penanggalan Masihiyah atau Miladiyah. Seperti kita ketahui, jumlah hari pada tiap bulan tahun apa pun selalu sama, kecuali bulan Februari. Mereka mengabaikan hadis sebagai acuan mela-kukan ru`yatul hilal karena bagi mereka Alquran telah memberikan informasi secara gamblang.

Kalender ”baru” itu tertera seperti kalender Hijriyah lain, diawali dengan bulan Muharam sebagai bulan pertama. Hari-harinya dimulai dengan hari Ahad (hari pertama), kemudian Isnen (Senin, hari kedua), Tsalasa (Selasa), Arbaa (Rabu), Khamis (Kamis, Khamsa), Jum’ah (hari untuk shalat berjamaah pada akhir pekan), dan Sab’ah (Sabtu, Sabat, hari ketujuh).

Menurut perancangnya, langkah rukyah dilakukan seperti dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Artinya, bukan pada 29 Sya’ban yang sering terkendala cuaca melainkan tanggal 14 atau 15. Seba­gaimana kita ketahui, bulan Sya’ban berumur 30 hari sehingga kita bisa menghitung  kapan jatuhnya 1 Ramadan, yaitu hari ke-16 berikutnya. Itulah yang dilakukan Nabi Muhammad Saw karena ketika itu belum ada alat canggih seperti teropong atau ilmu astronomi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar