Sabtu, 30 Juni 2012

Politik Lokal dan Tirani Modal


Politik Lokal dan Tirani Modal
Israr Iskandar ; Dosen Sejarah Politik Universitas Andalas Padang
REPUBLIKA, 29 Juni 2012


Berbagai proses politik di daerah hingga kini masih `meniscayakan' hegemoni modal finansial di atas kekuatan visi, kapabilitas, integritas, dan rekam jejak positif para aktor demokrasi lokal. Tidak mengherankan jika saat ini pejabat publik yang terpilih di daerah, khususnya di legislatif dan eksekutif, lebih banyak dari kalangan bermodal kuat, baik modal sendiri maupun sponsor.

Becermin dari hasil Pemilu Legislatif 2009 lalu, misalnya, mesin partai politik sering dikatakan tidak berjalan baik, tapi uang bisa `menggantikan' sebagian fungsinya. Dengan kekuatan uang, ketokohan untuk calon anggota legislatif lokal (DPRD) bisa diciptakan dan dimunculkan di ruang-ruang media dan bahkan dijajakan di pinggir jalan dalam wujud spanduk dan baliho.

Begitu pula dalam banyak pemilihan kepala daerah. Kandidat berkantong tebal memiliki peluang lebih besar untuk terpilih dalam pemilukada. Dalam pemilukada dengan sistem langsung, kandidat dengan kekuatan dana besar bisa `membeli' partai dan bahkan dapat `memblokade' kompetitor, seperti terjadi pada Pemilukada DKI Jakarta lima tahun silam.

Hegemoni uang inilah ihwal malapetaka pelbagai proses demokrasi di daerah hingga saat ini. Nilai-nilai kedaulautan rakyat tereduksi oleh kedaulatan modal. Aktualisasi visi dan misi yang mesti ditonjolkan aktor-aktor politik berganti dengan pelbagai bentuk transaksi ekonomi politik jangka pendek. Akibatnya tentu sangat buruk, tidak hanya bagi kepentingan rakyat, tapi juga upayaupaya konsolidasi demokrasi di daerah.

Anggota DPRD yang terpilih semata-mata mengandalkan kekuatan uang dan popularitas rekaan (absurd) dibandingkan visi (termasuk rekam jejak yang positif) untuk kepentingan rakyat, tentu sulit diharapkan akan memperjuangkan kepentingan publik. Anggota legislatif semacam ini justru berpotensi melahirkan atau menjustifikasi berbagai kebijakan antipublik di daerah.

Hal sama berlaku pada kepala daerah yang hanya mengandalkan kekuatan modal, tapi minus visi, kapabilitas, dan integritas atau rekam jejak yang positif.
Bahkan, jika dana politiknya bersumber dari sponsor, kepala daerah terpilih tentu akan sibuk dengan urusan `balas budi' selama memangku jabatan. Jika sponsornya pengusaha (korup), balas budi bisa berwujud kompensasi proyekproyek APBD atau izin pengelolaan hasil kekayaan alam, seperti pertambangan, hasil hutan, atau laut. Jika sponsornya birokrat korup, kompensasinya sering berupa pemberian jabatan-jabatan birokrasi lebih tinggi sekalipun tak sesuai dengan kapabilitasnya.

Tidak mengherankan bila kinerja pejabat publik di berbagai daerah, khususnya eksekutif dan legislatif, masih banyak mengecewakan publik. Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan lebih separuh gubernur dan puluhan bupati dan wali kota tersangkut kasus hukum, terutama kasus korupsi.

Dampak ikutannya berupa pelambatan pembangunan di banyak daerah, termasuk daerah hasil pemekaran. Data Kementerian Negara Pemberdayaan Daerah Tertinggal (PDT) bahkan menyebutkan masih banyak kabupaten di Indonesia masuk kategori daerah tertinggal, baik dari segi perekonomian masyarakat, SDM, infrastruktur, kemampuan keuangan, maupun aksesibilitas daerah.

Politik Pengabdian

Politik sejatinya arena pengabdian bagi kepentingan rakyat dan negara. Politik semestinya pekerjaan mulia, dedikatif, dan sekaligus aktualisasi tanggung jawab moral dari lapisan elite di masyarakat. Sebab, sebagai pemegang otoritas (kewenangan) dalam memimpin dan mengelola urusan publik, mereka semestinya dapat mengagregasi atau mewujudkan kepentingan rakyat.

Terkait itu, posisi politisi di daerah menjadi sangat penting. Secara fisik, politisi dan pejabat publik di daerah lebih mengetahui, lebih merasakan, dan lebih dekat dengan (masalah-masalah) rakyat. Mereka semestinya bisa menyerap dan bahkan memecahkan secara langsung masalah-masalah yang dihadapi masyarakatnya.

Sebaliknya, apabila politisi, termasuk di daerah, lebih banyak menjadikan politik sebagai arena menumpuk keuntungan pragmatis, oportunistik dan jangka pendek, seperti kecenderungan belakangan ini, yang rusak bukan hanya citra politisi dan politik sebagai arena pengabdian, melainkan kans demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, jika proses demokrasi di daerah kian bermartabat dan sejalan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat dan kualitas pembangunan di daerah, praktik demokrasi liberal kapitalistik ini harus dieliminasi.

Dalam konteks pemilukada, sejauh ini sistem pemilukada langsung dianggap biang masalah dan pemerintah kini hendak menggantinya dengan pemilihan di DPRD, khususnya dalam pemilihan gubernur, seperti tertuang dalam RUU Pemilukada yang kini dibahas di DPR. Namun, hal ini bukan solusi tepat. Sistem pemilukada di DPRD sekalipun tetap berpotensi besar memunculkan proses korup dan hasil yang buruk selama tidak ada sistem yang transparan, terukur, tepercaya, dan terawasi dengan baik oleh masyarakat sipil.

Selain itu, sebagai sumber kepemimpinan politik, partai-partai politik sampai ke tingkat lokal semestinya mereformasi dirinya. Jika sistem akuntabilitas keuangan dan rekrutmen kader di internal partai berjalan baik, proses demokrasi dan pemerintahan di daerah dan nasional akan makin dipercaya karena sejalan dengan aspirasi dan kepentingan riil rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar