Politik
Lokal dan Tirani Modal
Israr
Iskandar ; Dosen Sejarah Politik Universitas
Andalas Padang
REPUBLIKA, 29 Juni 2012
Berbagai
proses politik di daerah hingga kini masih `meniscayakan' hegemoni modal
finansial di atas kekuatan visi, kapabilitas, integritas, dan rekam jejak
positif para aktor demokrasi lokal. Tidak mengherankan jika saat ini pejabat
publik yang terpilih di daerah, khususnya di legislatif dan eksekutif, lebih
banyak dari kalangan bermodal kuat, baik modal sendiri maupun sponsor.
Becermin
dari hasil Pemilu Legislatif 2009 lalu, misalnya, mesin partai politik sering
dikatakan tidak berjalan baik, tapi uang bisa `menggantikan' sebagian
fungsinya. Dengan kekuatan uang, ketokohan untuk calon anggota legislatif lokal
(DPRD) bisa diciptakan dan dimunculkan di ruang-ruang media dan bahkan
dijajakan di pinggir jalan dalam wujud spanduk dan baliho.
Begitu
pula dalam banyak pemilihan kepala daerah. Kandidat berkantong tebal memiliki
peluang lebih besar untuk terpilih dalam pemilukada. Dalam pemilukada dengan
sistem langsung, kandidat dengan kekuatan dana besar bisa `membeli' partai dan
bahkan dapat `memblokade' kompetitor, seperti terjadi pada Pemilukada DKI
Jakarta lima tahun silam.
Hegemoni
uang inilah ihwal malapetaka pelbagai proses demokrasi di daerah hingga saat
ini. Nilai-nilai kedaulautan rakyat tereduksi oleh kedaulatan modal.
Aktualisasi visi dan misi yang mesti ditonjolkan aktor-aktor politik berganti
dengan pelbagai bentuk transaksi ekonomi politik jangka pendek. Akibatnya tentu
sangat buruk, tidak hanya bagi kepentingan rakyat, tapi juga upayaupaya
konsolidasi demokrasi di daerah.
Anggota
DPRD yang terpilih semata-mata mengandalkan kekuatan uang dan popularitas
rekaan (absurd) dibandingkan visi
(termasuk rekam jejak yang positif) untuk kepentingan rakyat, tentu sulit
diharapkan akan memperjuangkan kepentingan publik. Anggota legislatif semacam
ini justru berpotensi melahirkan atau menjustifikasi berbagai kebijakan
antipublik di daerah.
Hal
sama berlaku pada kepala daerah yang hanya mengandalkan kekuatan modal, tapi
minus visi, kapabilitas, dan integritas atau rekam jejak yang positif.
Bahkan, jika dana politiknya bersumber dari sponsor, kepala daerah terpilih tentu akan sibuk dengan urusan `balas budi' selama memangku jabatan. Jika sponsornya pengusaha (korup), balas budi bisa berwujud kompensasi proyekproyek APBD atau izin pengelolaan hasil kekayaan alam, seperti pertambangan, hasil hutan, atau laut. Jika sponsornya birokrat korup, kompensasinya sering berupa pemberian jabatan-jabatan birokrasi lebih tinggi sekalipun tak sesuai dengan kapabilitasnya.
Bahkan, jika dana politiknya bersumber dari sponsor, kepala daerah terpilih tentu akan sibuk dengan urusan `balas budi' selama memangku jabatan. Jika sponsornya pengusaha (korup), balas budi bisa berwujud kompensasi proyekproyek APBD atau izin pengelolaan hasil kekayaan alam, seperti pertambangan, hasil hutan, atau laut. Jika sponsornya birokrat korup, kompensasinya sering berupa pemberian jabatan-jabatan birokrasi lebih tinggi sekalipun tak sesuai dengan kapabilitasnya.
Tidak
mengherankan bila kinerja pejabat publik di berbagai daerah, khususnya
eksekutif dan legislatif, masih banyak mengecewakan publik. Data Kementerian
Dalam Negeri menunjukkan lebih separuh gubernur dan puluhan bupati dan wali
kota tersangkut kasus hukum, terutama kasus korupsi.
Dampak
ikutannya berupa pelambatan pembangunan di banyak daerah, termasuk daerah hasil
pemekaran. Data Kementerian Negara Pemberdayaan Daerah Tertinggal (PDT) bahkan
menyebutkan masih banyak kabupaten di Indonesia masuk kategori daerah
tertinggal, baik dari segi perekonomian masyarakat, SDM, infrastruktur,
kemampuan keuangan, maupun aksesibilitas daerah.
Politik Pengabdian
Politik
sejatinya arena pengabdian bagi kepentingan rakyat dan negara. Politik
semestinya pekerjaan mulia, dedikatif, dan sekaligus aktualisasi tanggung jawab
moral dari lapisan elite di masyarakat. Sebab, sebagai pemegang otoritas (kewenangan)
dalam memimpin dan mengelola urusan publik, mereka semestinya dapat
mengagregasi atau mewujudkan kepentingan rakyat.
Terkait
itu, posisi politisi di daerah menjadi sangat penting. Secara fisik, politisi
dan pejabat publik di daerah lebih mengetahui, lebih merasakan, dan lebih dekat
dengan (masalah-masalah) rakyat. Mereka semestinya bisa menyerap dan bahkan
memecahkan secara langsung masalah-masalah yang dihadapi masyarakatnya.
Sebaliknya,
apabila politisi, termasuk di daerah, lebih banyak menjadikan politik sebagai
arena menumpuk keuntungan pragmatis, oportunistik dan jangka pendek, seperti
kecenderungan belakangan ini, yang rusak bukan hanya citra politisi dan politik
sebagai arena pengabdian, melainkan kans demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu,
jika proses demokrasi di daerah kian bermartabat dan sejalan dengan peningkatan
kesejahteraan rakyat dan kualitas pembangunan di daerah, praktik demokrasi
liberal kapitalistik ini harus dieliminasi.
Dalam
konteks pemilukada, sejauh ini sistem pemilukada langsung dianggap biang
masalah dan pemerintah kini hendak menggantinya dengan pemilihan di DPRD,
khususnya dalam pemilihan gubernur, seperti tertuang dalam RUU Pemilukada yang
kini dibahas di DPR. Namun, hal ini bukan solusi tepat. Sistem pemilukada di
DPRD sekalipun tetap berpotensi besar memunculkan proses korup dan hasil yang
buruk selama tidak ada sistem yang transparan, terukur, tepercaya, dan terawasi
dengan baik oleh masyarakat sipil.
Selain itu, sebagai sumber kepemimpinan
politik, partai-partai politik sampai ke tingkat lokal semestinya mereformasi
dirinya. Jika sistem akuntabilitas keuangan dan rekrutmen kader di internal
partai berjalan baik, proses demokrasi dan pemerintahan di daerah dan nasional
akan makin dipercaya karena sejalan dengan aspirasi dan kepentingan riil
rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar