Sabtu, 30 Juni 2012

Meningkatkan Pendidikan Kaum Difabel

Meningkatkan Pendidikan Kaum Difabel
Siti Muyassarotul Hafidzoh ; Peneliti pada Program Pasca Sarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
SUARA KARYA, 29 Juni 2012


Selama ini, pendidikan nasional kita masih belum banyak memberikan perhatian serius kepada kaum difabel. Kaum difabel adalah mereka yang mempunyai kemampuan berbeda, tidak seperti biasa. Sekali lagi, mereka bukanlah orang cacat, melainkan berkemampuan berbeda. Sayang sekali, kemampuan mereka yang berbeda ini kerap dianggap keganjilan, sehingga negara juga memberikan pelayanan pendidikan yang masih ganjil.

Lihat saja berbagai fasilitas pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi kita. Kaum difabel belum banyak mendapatkan tempat dan fasilitas yang layak. Belum banyak perguruan tinggi yang mau menerima kaum difabel. Ini jelas mencederai UUD 1945 yang memberikan amanat kepada negara untuk memberikan pelayanan pendidikan yang layak dan setara kepada semua warga negara. Diskriminasi dalam pendidikan kaum difabel merupakan pelanggaran kepada konstitusi kita.

Inilah yang mesti diluruskan bersama. Karena kalau dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, dari 1.884.557 tuna netra di Indonesia, yang belum bisa baca tulis braille diperkirakan mencapai 97 persen atau 1.828.220 jiwa. Jauh lebih besar dibanding tunanetra yang bisa baca-tulis braille. Lembaga yang menerbitkan buku braile di Indonesia adalah Balai Penerbitan Braile Indonesia (BPBI).

Di bawah naungan Departemen Sosial, BPBI mencetak dan mendistribusikan buku ke seluruh wilayah di Indonesia. Namun hingga 2006, BPBI baru mencetak 35 judul buku baru. Plus 25 edisi kaset/talking book. Hasil terbitan BPBI antara lain adalah majalah, buku sekolah untuk ebtanas, buku umum, keterampilan, dan komputer. Sedangkan kaset-kaset rekaman adalah tentang psikologi dan cerita. Buku-buku dan kaset itu didistribusikan ke 19 panti, 80 sekolah luar biasa (SLB), 132 sekolah dasar luar biasa (SDLB), 85 yayasan/organisasi tunanetra, 636 perorangan, dan tiga perpustakaan.

Untuk itu, persoalan mendasar yang harus kita selesaikan bersama adalah menyediakan ruang publik yang mampu mengembangkan kemampuan intelektual dan profesionalitas mereka. Tak lain dalam hal ini adalah perpustakaan dan buku. Hampir seluruh perpustakaan umum di Indonesia belum menyediakan fasilitas yang memadai bagi penyandang cacat, karena memang tidak ada anggaran khusus yang diperuntukkan untuk pengadaannya. Distribusi buku dari BPBI belum memenuhi standar publik.

Dalam konteks tersebut, ada beberapa catatan yang perlu refleksikan. Pertama, membangun image publik bahwa penyandang cacat adalah manusia sempurna, seorang manusia yang terlihat dari luarnya tidak sempurna (cacat) bisa jadi sangat sempurna sebagai pribadi. Dengan image seperti ini, mereka akan merasa dimanusiakan, sehingga timbul spirit dan optimisme baru mengarungi samudra kehidupan. Karena apapun yang dilakukan pemerintah atau masyarakat tanpa spirit dan mentalitas diffable yang kuat, maka akan percuma, sebagaimana dikatakan Tandon (1995), the force of change is inside oneself; outsiders can only provide 'enabling conditions'. No more. Artinya, penyandang cacat sendirilah yang harus bangkit dan mempunyai keinginan kuat untuk berkembang; tidak hanya berdiam diri menunggu bantuan. Di tengah keterbatasan fisik, ia bisa mencapai taraf hidup lebih baik.

Kedua, setelah membangun mentalitas diffable, maka sudah saatnya masyarakat, khususnya yang bergerak dalam bidang pendidikan untuk berkomitmen menyediakan buku dan fasilitas perpustakaan yang layak dan memadai bagi diffable. Dalam kontesk ini, menarik apa yang dilakukan Yayasan Mitra Netra Jakarta yang meluncurkan program "1.000 buku untuk tuna netra". Program yang resmi diluncurkan pada akhir Januari 2006 itu telah menarik minat masyarakat untuk berpartisipasi. Program ini bertujuan untuk menyediakan alternatif buku bacaan bagi para tuna netra dalam bentuk buku elektronik atau e-book. Saat ini buku bacaan untuk mereka sangat masih minim karena hanya seputar buku pelajaran saja, bukan buku-buku populer. Dengan program ini, Yayasan Mitra Netra berupaya untuk menambah buku bacaan dengan cara melibatkan peran serta masyarakat.

Program "1000 buku untuk tuna netra" merupakan langkah yang dilakukan untuk melakukan diversifikasi buku bacaan bagi penyandang cacat khususnya tuna netra. Hingga kini, buku bacaan tersebut hanya tersedia dalam bentuk buku braile, kaset hingga CD. Karena keterbatasan sistem, e-Book hanya dapat dibaca di perpustakaan digital Mitra Netra yaitu Intranet. Namun perpustakaan ini sudah terdapat di empat kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Makasar.

Kini, di belahan bumi Nusantara, penyandang cacat (diffable) telah menunggu kerja sosial dalam memberdayakan potensi mereka. Peran perpustakaan daerah (Perpusda) ditingkat lokal sangat besar.

Untuk itu, Perpusda perlu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak dalam usaha menyediakan fasilitas buku bagi penyandang cacat (diffable). Kalau Yayasan Mitra Netra mampu menggalang program "1000 buku untuk tuna netra", maka sangat mungkin Perpusda bersama pemerintah daerah terkait menyelengarakan program "2000 buku atau bahkan 10.000 buku untuk tuna netra." Dari pada uang kas negara menjadi rebutan korupsi elite politik, alangkah lebih baik kalau dana itu dialokasikan untuk penyediakan buku penyandang cacat (diffable).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar