Visi
Ijtima Ulama
Asep
Salahudin ; Wakil Rektor IAILM Pesantren
Suryalaya Tasikmalaya
REPUBLIKA, 29 Juni 2012
Pada
29 Juni1 Juli 2012, MUI kembali menyelenggarakan perhelatan nasional ijtima
ulama yang rencananya akan dibuka Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono. Acara
yang akan melibatkan 750 peserta perwakilan ulama dari seluruh nusantara ini
salah satu agendanya adalah membicarakan ihwal kebangsaan (masail asasiyyah wathaniyyah). Di samping, masalah sosial keagamaan
kontemporer atau masail fiqhiyah
mu'ashirah dan masalah hukum serta perundang-undangan atau masail qanuniyyah.
Persoalan
kebangsaan yang akan dicarikan fatwanya berbicara seputar prinsip pemerintahan
yang baik, kriteria ketaatan kepada pemerintah dan batasannya, subsidi untuk
rakyat, ihwal demonstrasi dan kebebasan berekspresi, perampasan aset koruptor,
dan pemilukada langsung. Tentu saja menjadi harapan bersama bahwa fatwa atau
rekomendasi yang dihasilkan ijtima
ulama yang berkaitan dengan kebangsaan ini dapat memberikan konstribusi positif
terhadap arah perjalanan bangsa.
Agenda
ijtima ulama seperti ini justru
memiliki relevansi yang sangat erat di tengah suasana berbangsa dan bernegara
yang sedang galau. Dalam konteks ini, ulama yang notabene merupakan rujukan
moral masyarakat dengan segala kelebihannya diharapkan memberikan `arahan' yang
nyata dengan menawarkan tafsir keagamaan yang emansipatoris dalam seluruh
konstruksi fatwa yang dikeluarkannya. Produk ijtima ulama yang dihasilkannya, terutama yang berkaitan dengan
kebangsaan, menjadi pintu masuk bagi upaya membangun kesadaran berbangsa yang
berkeadaban, birokrasi yang tertib, hubungan antaretnik, antaragama, dan
antarsuku yang humanis.
Komitmen Kebangsaan
Interaksi
simbolis ulama dengan kebangsaan sesungguhnya sudah sangat tidak disangsikan
lagi walaupun dalam praktiknya sering mengalami pasang surut. Sejarah
perjalanan bangsa sesungguhnya adalah hikayat ihwal heroisme ulama ini.
Bagaimana ulama masa ko lional dengan kecakapan mobilisasi massa dan karismanya
memainkan peranan penting dalam perang melawan kaum penjajah.
Dengan
mengagumkan ulama-ulama itu, bukan hanya mengajarkan tentang fikih ibadah,
melainkan juga menginjeksikan kesadaran berbangsa, menanamkan sikap kritis
kepada santri dan masyarakatnya. Bagaimana ulama sejak 1875 menggunakan
lembaga-lembaga spiritual (tarekat) mengibarakan semangat jihad antikolonial?
Sartono Kartodirjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1988 (1984) mencatat:
“Dalam pertemuan-pertemuan itulah gerakan tersebut mempersatukan para kiai
sebagai pemimpin-pemimpin komplotan di daerahnya masing-masing....
Dalam
banyak kasus, ideologi jihad memainkan peranan penting dalam perlawanan
antikolonialisme. Banyak gerakan sosial selama abad ke-19 dan abad ke-20
memiliki nada keagamaan dalam arti kepercayaan-kepercayaan transendental yang
sangat kuat. Di samping itu, unsur magis juga memainkan peranan yang penting.
Seruan jihad fi sabilillah yang terdengar timbul tenggelam memberikan bukti
bahwa semangat jihad sangatlah laten di antara penduduk Muslim.“
Fenomena
perlawanan kelompok santri terhadap kaum kolonial juga pernah ditunjukkan
peneliti asal Jepang Hiroko Horikoshi (1987) dengan munculnya Laskar Hizbullah
dan Sabilillah pada masa perang kemerdekaan (19451949), Gerakan Darul Islam
(1948-1962), pemberontakan di luar Jawa (19581962), dan berbagai pemberontakan
lainnya pada masa penjajahan. Semuanya ini adalah peristiwa sejarah yang tidak
bisa dielakkan dari peranan ulama (kiai/ajengan) dalam menggerakkan umatnya
untuk melawan penjajah.
Peranan
ulama dalam dinamika bangsa Indonesia mempunyai pengaruh yang kuat pada
masyarakat. Mereka ikut menentukan proses perkembangan keagamaan, sosial,
kultural, dan bahkan politik. Realitas ini tidak hanya dalam sejarah masa
lalunya seperti pada saat pembentukan negara Republik Indonesia, penumpasan
G-30-S/PKI, pembentukan Orde Baru, dan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya
asas tunggal dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini semakin meneguhkan bagaimana
dunia ulama dengan dunia sosial-politik kebangsaan adalah sesuatu yang tidak
bisa dipisahkan secara ekstrem (Umar Sadat Hasibun, 2005).
Hari Ini
Sudah
barang tentu ketika itjima ulama membahas persoalan bangsa ini menunjukkan
fakta yang bukan hanya menggambarkan kesinambungan peran ulama dengan negara,
melainkan juga sebagai satu bentuk peneguhan bagaimana ulama tidak bisa
dipisahkan dengan gerak bernegara. Hari ini, permasalahan bangsa yang dihadapi
tidak kalah besarnya dengan persoalan-persoalan yang dihadapi masa kolonial.
Mungkin
kolonialisme fisik sudah tidak lagi mendapatkan panggung pada era modern,
tetapi kolonialisme simbolis, tirani kognitif, dan kekerasan psikologis tidak
kalah mengerikannya dengan kolonialisasi abad ke-19. Penjajahan tidak lagi
menggunakan jalur represif, tapi melalui perang budaya, perebutan sumber-sumber
ekonomi, penguasaan jalur politik, penggiringan opini. Termasuk, di dalamnya
adalah pergeseran gaya hidup yang kian berkiblat ke arah pemujaan terhadap
daulat benda.
Bisa juga tantangan itu adalah hibrida
pemahaman keagamaan yang ekstrem dan yang nyaris dikembangkan adalah nalar
eksklusif yang menganggap mereka yang berbeda haluan tafsir dan keyakinannya
sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Pemahaman yang hakikatnya tidak hanya
bertentangan dengan fitrah keagamaan dan teladan kenabian, tapi juga berbanding
terbalik dengan elan vital spirit kebangsaan dan fakta sosial yang heterogen
dan multikultural. Dalam kompleksitas inilah, ijtima ulama ditantang untuk
menampilkan fatwa dan rekomendasi yang dijangkarkan pada akar nilai-nilai keagamaan
dan kearifan lokal yang dapat mempercepat terwujudnya keindonesiaan yang penuh muruah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar